Sweet Orange

40.7K 3.1K 119
                                    

"Jingga!"

Perempuan bernama Jingga itu tidak menoleh sama sekali meski namanya sudah berulang kali dipanggil. Jingga memilih berlalu semakin cepat memasuki kamarnya dan berdiam diri di sana.

"Jingga! Mama gak pernah ngajarin kamu kurang ajar kayak gini, ya!" teriak seorang wanita yang sejak tadi memanggil Jingga.

"Ma, aku capek," keluh Jingga menatap malas pada ibunya.

"Kamu capek? Kamu capek?! Kamu kira Mama gak capek sama tingkah kamu ini, hah?!"

Tidak pernah seorang Latika marah sampai membentak anak-anaknya. Tapi kali ini, apa yang putri sulungnya lakukan sudah keterlaluan.

"Kamu tahu apa soal Papa?! Kamu tahu apa? Berani-beraninya kamu membentak Papa di depan kolega bisnisnya! Kamu udah merasa dewasa, hah?!"

"Papa emang salah!" balas Jingga berteriak juga. Ia muak selalu mengalah pada setiap keputusan orangtuanya yang menganggap semua sikapnya selalu salah semenjak kejadian itu.

"Aku cuma mau pacaran! Apa salahnya? Selalu aja aku dilarang ini itu. gak boleh ini gak boleh itu. Kalian kira aku boneka?! Aku—"

Jingga terdiam. Wajahnya menoleh ke samping dan rasa perih serta kebas menjalari kulit pipinya.

Latika mendekat. Matanya memerah menahan tangis. Di remasnya kedua lengan Jingga dengan kekesalan yang menumpuk.

"Asal kamu tahu, Opa meregang nyawa karena melindungi Mama. Kamu kira gimana perasaan Papa saat itu?"

Jingga tetap diam. Air matanya luruh membasahi pipi. Dadanya sesak. Cerita apa lagi kali ini?

"Bohong," gumam Jingga pelan.

"Selama ini Papa pernah nuntut macam-macam sama kamu? Papa cuma ngelarang kamu jangan pacaran dulu. Bukan gak boleh pacaran! Boleh! Tapi gak sekarang, Jingga."

"Aku udah besar, Ma!" Jingga menatap Latika dengan mata yang sama memerahnya dengan sang ibu.

Latika mengangguk. "Kamu udah besar. Benar. Tapi kamu masih gak bisa bedain mana orang yang benar-benar tulus sama kamu atau sekadar manfaatin kamu."

"Aku bisa. Aku—"

"Kalau kamu bisa, seharusnya kamu gak ikut pergi sama laki-laki itu, Jingga!" teriak Latika muak.

"Kamu tahu, karena kecerobohan kamu itu Papa hampir saja ditabrak! Papa hampir kecelakaan kalau Papa gak secepat mungkin menghindar. Kamu mencelakai Papa kamu sendiri!"

Jingga membeku. Matanya menatap Latika dengan seksama. Amarah, kecewa dan kekesalan menyatu di ekspresi wajah ibunya.

"Tapi Papa yang bunuh Robert!"

"IYA! PAPA YANG BUNUH ROBERT! PAPA LEBIH DULU TEMBAK ROBERT KARENA LAKI-LAKI ITU NGARAHIN PISTOLNYA KE KAMU!"

Deru napas Latika memberat. Entah harus seperti apa lagi ia menjelaskan kejadian yang sebenarnya. Latika tidak mau Dava dibenci oleh putrinya sendiri. Latika tidak mau ada dendam dan kebencian di keluarga mereka.

"Papa—"

"Papa melindungi kamu. Papa bahkan udah terima hukumannya. Papa rela mecoreng namanya sendiri demi melindungi putri yang tidak tahu diri kayak kamu."

Latika mengusap kasar wajahnya. Ia menegakkan kembali tubuhnya, lalu berujar dingin.

"Mama juga bakal lakuin hal yang sama jika ada di posisi Papa kamu. Bahkan Mama rela mati jika itu demi keselamatan Papa dan anak-anak Mama."

Latika menatap Jingga yang kini menatap kosong ke arahnya. Terlihat jelas putrinya itu masih mencerna apa yang ia katakan.

"Kemasi barang-barang kamu. Tante Brindha yang bakal ngurus kamu ke depannya. Mama capek. Kamu capek. Kita sama-sama capek."

SHORT STORY 2021 - 2022 (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang