My Cold Step Sister

30.9K 2.2K 72
                                    

Tidak ada yang mau orangtuanya berpisah dan menikah lagi dengan orang lain. Tidak ada yang mau keluarganya tak utuh. Dan tidak ada yang mau menjadi anak yang bimbang harus memilih antara ibu dan ayah.

"Dhis, jadi balik gak?"

Adhisti, wanita 22 tahun yang berusaha untuk menghabiskan makanan di piringnya seketika mendongak. Ia menatap seorang pria 27 tahun yang berdiri di depannya. Kepalanya hanya mengangguk saja tanpa mengeluarkan sepatah kata.

Natan nama pria itu. Ia kakak tiri Adhisti hampir 1 tahun ini. Ayah Adhisti menikah dengan ibu Natan tepat sebulan setelah bercerai dari ibu kandung Adhisti. Salah satu alasan kenapa Adhisti tidak ingin bersusah payah untuk mengeluarkan suaranya berbicara pada Natan serta ibu pria itu ketika di rumah.

"Nat, ayo," ujar seorang wanita dengan suara lembut. Tanpa melihat pun, Adhisti sudah tahu siapa pria itu. Tunangan Natan.

"Sebentar, Adhis belum siap makan," balas Natan.

Adhisti tetap menatap makanan di piringnya dan sesekali melirik layar ponsel yang menampilkan drama korea kesukaannya. Kursi di depan Adhisti bergeser, lalu ponselnya dirampas begitu saja.

"Makannya jangan sambil nonton, Adhisti. Gimana mau selesai kamu makannya. Kita harus balik dan ini udah sore."

Adhisti menyudahi makannya, lalu merampas kembali ponsel di tangan wanita kurang ajar itu. Adhisti berlalu begitu saja tanpa menghiraukan panggilan Natan.

"Kamu gak seharusnya gitu, Sal."

"Adik tiri kamu itu nyebelin, Natan! Jangan dibiasain apa-apa diturutin. Manja banget. Kalau kita nikah dia masih kamu perhatiin begitu, aku gak sudi ya."

Salma, wanita 30 tahun yang menjadi tunangan Natan 1 tahun itu ikut berdiri dan melangkah pergi. Natan menggeleng pelan sebelum meraih tas Adhisti yang tertinggal di kursi. Adik tirinya memang berubah menjadi pendiam dan tidak banyak bicara, tapi Natan tahu kalau wanita muda itu memiliki alasan. Dan ia sedang berusaha untuk hal itu.

Natan mempercepat langkahnya saat melihat Salma sedang mengomeli Adhisti di dekat mobilnya. Wanita itu tidak akan membiarkan dirinya direndahkan begitu saja. Apalagi ini Adhisti. Calon adik iparnya. Salma menjunjung tinggi rasa hormat pada orang yang lebih tua. Bahkan Natan juga dituntut seperti itu.

Alasan Natan belum siap menikahi Salma juga karena hal tersebut. Bagaimana nasibnya nanti kalau berumah tangga dengan Salma di mana ia harus selalu menghormati Salma karena lebih tua sementara ia kepala keluarganya? Natan memang menghormati semua wanita, tapi jika sudah menikah, Natan juga ingin dihormati sebagai suami dan Salma tidak menunjukkan akan melakukan hal itu.

"Aku pesan taksi buat Adhisti. Kita bisa langsung ke apartemenku. Gak perlu mutar-mutar dulu antar dia."

Salma menarik lengan Adhisti cukup kasar sampai adik Natan itu meringis pelan. "Buruan, Adhisti! Kamu jangan nyebelin begini! Saya sudah berbaik hati mau mesanin kamu taksi ya!"

Adhisti mendengkus. Ia keluar dari mobil Natan, lalu menatap Salma dengan tatapan menantang. Senyum sinis Adhisti seketika terbit bersamaan dengan lengannya yang diraih Natan.

"Jangan gitu, Salma. Kamu tahu Adhis gak pernah naik taksi sendirian. Aku disuruh Mama buat jagain Adhis. Apa gunanya aku sebagai kakak kalau Adhis pulang naik taksi?"

"Aku gak peduli sama perintah Mama kamu. Kalian terlalu manjain anak ini sampai dia gak tahu cara menghormati. Kamu sadar gak? Kamu gak akan bisa jadi pemimpin perusahaan besar kalau bukan karena aku! Dia gak ada kontribusi apa pun dalam karir dan hidup kamu. Jangan bodoh, Natan!"

Natan seketika mengeraskan rahangnya. Ia membuka pintu mobil di kursi penumpang depan, tempat Salma selalu duduk, lalu memaksa Adhisti untuk masuk ke sana.

"Kamu udah pesan taksi, kan? Aku duluan," pamit Natan yang membuat Adhisti seketika tersenyum lebar menatap Salma. Jelas saja Salma membelalak karena tidak menyangka akan diperlakukan seperti ini oleh Natan.

***

"Tas kamu," kata Natan.

Adhisti mengambil tas yang Natan sodorkan, lalu ia hendak turun dari mobil tapi Natan menahan lengannya. Adhisti menatap Natan dengan dingin. Pria itu seketika melepaskan tangannya dan membiarkan Adhisti keluar.

Di dalam mobil, Natan meremas rambutnya dengan kesal. Adhisti sudah masuk ke dalam rumah mewah milik ayahnya. Ingin sekali Natan menanyakan langsung kenapa Adhisti yang ia kenal ceria dulunya malah menjadi wanita berbeda saat ini.

Di dalam rumah, Adhisti berpapasan dengan ibu Natan. Wanita 40 tahun itu tersenyum padanya dan hendak memeluk sayang. Tapi Adhisti mundur beberapa langkah untuk menghindar. Sehingga senyum ibu Natan pudar perlahan.

"Papi Adhis ke Jepang beberapa minggu. Kalau Adhis mau apa-apa bisa bilang ke Mama ya," pintanya.

Adhisti diam saja. Ia berlalu menuju tangga dan naik ke lantai 2 di mana kamarnya berada. Di lantai 2 Adhisti juga berpapasan dengan Mega, adik Natan yang seusia dengannya.

"Udah balik lo. Kirain gak bakal balik-balik lagi biar aman ini rumah," ujar Mega dengan sinis.

Adhisti menatap Mega dengan menantang, lalu berbisik pelan di telinga wanita itu.

"Lo mau kehilangan Natan?"

Mega mendorong tubuh Adhisti dengan kesal. "Gak jelas lo," katanya dan berlalu menuju tangga meninggalkan Adhisti yang menatap punggungnya dengan sebelah alis terangkat.

Adhisti tidak bodoh. Ia tahu kalau Natan menaruh hati padanya. Kalau dalihnya selalu memanjakan Adhisti karena ia adiknya sekarang, semua orang tidak akan percaya. Mengingat Natan tidak begitu terhadap Mega, adik kandungnya.

"Kalian semua bakal nyesal karena abai sama perasaan gue," gumam Adhisti sebelum masuk kamar dan mengunci pintunya.

"Ma, aku pergi dulu ya."

"Mau ke mana lagi, Mega? Mama udah masak banyak. Kita makan sama-sama. Mumpung Adhis juga di rumah."

"Aku udah ada janji sama teman-temanku. Gak bisa dibatalin."

Mega pergi begitu saja dan berpapasan dengan Natan di depan rumah. Pria itu menatap Mega dari atas sampai bawah, lalu berdecak dan tidak berkomentar apa-apa. Mega tersenyum karena akhirnya Natan pasrah akan keras kepalanya. Pria itu tidak berhak mengatur-ngaturnya. Mega sudah besar dan bisa mengurus hidupnya sendiri.

"Pinjam mobil," kata Mega.

Natan melempar kunci mobilnya. Ia masuk ke dalam rumah meninggalkan Mega yang berseru senang. Wanita itu baru kali ini merasa bebas dan bisa seenaknya. Dulu Natan terlalu cerewet dan banyak larangan. Mega tidak suka.

Di dalam mobil, Mega duduk dengan nyaman sebelum menyetir kendaraan milik sang kakak. Tepat di perempatan lampu merah, Mega tidak sengaja menatap benda yang jatuh di dekat kakinya. Ia mengambilnya dan mengernyit.

"Test pack?"

Mega tidak sempat berpikir itu punya siapa karena lampu merah sudah berganti hijau saat ini. Ia melajukan mobil Natan dan menaruh benda kecil itu ke dalam tasnya.

***






Sakit bgt jempol Mami😭
Bangun tidur udah ngilu dan nyut-nyut. Kalo gak update lagi nanti, berarti besok yaps!

Tapi doain aja nanti udah membaik🥺

Day 12!

PO masih berlangsung sampai tanggal 15 Mei.

Pengiriman 5 hari setelahnya. Aku gak bisa janjiin lebih cepat karena banyak kejadian tak terduga juga akhir-akhir ini. Beberapa hari lalu sepupu dari pihak ibuku meninggal dunia tiba-tiba. Bisa dibilang masih muda. Anaknya baru 1 masih kecil.

Pdhl lebaran kumpul2 dan baik-baik aja. Gak ada demam dll. Paginya batuk2 terus dibawa ke RS dan pergi gitu aja.

Terus di rumah sering kedatangan tamu dari pihak ayah. Kirain bertamu lebaran kan ya. Tahunya ngadu masalah rumah tangga ke ibuku. Dikira dia doang yang nikah dan punya masalah ya🙄

Pokoknya aku nulis ada aja gangguannya. Entah cucu tetangga yang masih bayi nangis kejer mulu siang malam. Mana dinding kamarnya jarak semeter pula dengan dinding kamarku. Agak nyebelin sih, tapi ya gimana🤣

Berharap itu cucunya cepetan dibawa ortunya balik biar adem lagi💆🏻‍♀ #plak!

SHORT STORY 2021 - 2022 (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang