Kezia menoleh saat merasa seseorang tengah memperhatikannya. Wajahnya masam seketika. Kakinya yang sakit membuat suasana hatinya memburuk. Ditambah lagi ponsel baru yang ia beli beberapa jam lalu ikut pecah mengikuti nasib ponsel lamanya.
"Kayaknya kalau ketemu lo bawaan gue sial mulu," keluh Kezia menatap kesal pada kolega bisnis Dana.
"Kayaknya kalau ketemu lo bawaan gue emosi mulu." Angga meniru gaya bicara Kezia. Matanya menatap wanita yang sudah selesai diperiksa oleh dokter itu dengan seksama. Memastikan tidak ada lagi cedera akibat bertabrakan dengannya.
"Lagian lo kebiasaan banget main hape sambil jalan. Nunduk mulu sampai nabrak orang. Untung yang lo tabrak orang baik kayak gue. Coba kalau bapak-bapak atau ibu-ibu yang emosian? Kena gampar lo," omel Angga.
Kezia ingin sekali menyumpal mulut berisik pria itu. Seolah mengingat sesuatu, Kezia kembali menatap tajam pada Angga yang kini berdiri ketika nama Kezia dipanggil oleh suster. Angga kembali ke hadapan Kezia, lalu mengulurkan kantong berisi obat.
"Diminum sampai habis. Jangan lo buang. Ini belinya pakai duit."
Ingin sekali Kezia melempar obat-obatan itu ke wajah menyebalkan Angga. "Lo sama Brindha kenal dari mana?" tanyanya berusaha mengalihkan kekesalan yang menumpuk.
Angga mendorong kursi roda yang Kezia duduki keluar dari rumah sakit. Dokter mengharuskan wanita itu untuk memakai kursi roda sementara waktu sampai kakinya membaik.
"Mbak Brindha kan Kakak ipar gue," jawab Angga santai.
Kezia membelalak mendengarnya. "Maksud lo apaan? Lo adeknya Pak Dana?"
"Adik sepupu. Gue baru balik dari London. Dipaksa gantiin posisi bokap karena dia udah tua. Tahu-tahu jadi kolega Mas Dana."
'Si kampret. Gue kira Dana gak kenal sama nih bocah,' batin Kezia.
"Lo kenapa manggil Brindha 'Mbak' sedangkan ke gue enggak? Harusnya kan sama. Gue sahabat Brindha."
"Males. Lo nyebelin."
Kezia mendongak dan menatap tajam pada Angga yang kini menyengir lebar. "Anterin gue pulang. Lo harus tanggung jawab ngomong ke orangtua gue soal ini," katanya sembari mengangkat kakinya sedikit.
"Gak sekalian lo minta gue kawinin?"
"Amit-amit," Kezia mendengkus.
Angga terkekeh. Ia tiba di samping mobilnya dan sopir langsung membukakan pintu. Angga membantu Kezia masuk dengan hati-hati, lalu pria itu ikut menyusul masuk dan duduk di samping Kezia.
"Ke mana, Pak Bos?" tanya sopir Angga.
"Alamat lo?" Angga malah menoleh pada Kezia.
"Belok kiri dari perumahan Pak Dana."
"Pelita?"
"Hm."
"Jangan-jangan kita tetanggaan," kekeh Angga.
Kezia memutar bola mata jengah. Mustahil sekali. Mengingat tetangga Kezia sudah lama menetap di sana dan tidak ada kabar yang akan pindah.
Sisa perjalanan menuju ke rumah Kezia hanya di isi oleh suara radio dari mobil. Kezia diam. Angga pun sama. Sopir apalagi.
Tak lama kemudian mobil Angga memasuki perumahan Pelita. Kezia menunjuk rumah putih gading yang berdiri sombong di sebelah kanan jalan. Mobil Angga berhenti tepat di depan pagar, sopir menekan klakson dan Kezia menurunkan jendela di sebelahnya sehingga satpam rumah segera membukakan gerbang.
"Kaya raya, kenapa masih mau kerja?" tanya Angga tiba-tiba.
"Kebutuhan gue banyak. Modal minta-minta doang gak enak," jawab Kezia.
KAMU SEDANG MEMBACA
SHORT STORY 2021 - 2022 (END)
Romance[MATURE 21+] Semua cerita hanyalah karangan penulis saja. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat atau kejadian, itu hanyalah ketidaksengajaan. Harap bijak dalam memilih bacaan sesuai usia. Follow dulu jika ingin mendapatkan notifikasi update. Start, 2...