Asha tidak tahu apa yang harus ia lakukan lagi saat ini. Tatapan Abib dan tatapan semua orang kini terarah kepadanya. Asha ingin segera pergi, tapi kakinya seolah terpaku dan tidak bisa digerakkan. Asha coba meyakinkan dirinya agar tetap tenang tanpa membuat kekacauan. Asha tidak mau mempermalukan dirinya lebih dari ini.
"Maaf terlambat, jalanan macet."
Kini semua mata tertuju pada seorang pria yang baru saja masuk ke ruang tamu dan langsung memeluk nenek Abib.
Kesempatan itu Asha gunakan untuk perlahan menyingkir dari keramaian. Asha ingin pergi dan tidak akan pernah mau mengenal Abib lagi. Ini sudah cukup menyakitinya.
"Sayang,"
Tubuh Asha membeku seketika. Jantung Asha kini jauh lebih menggila saat ia berbalik untuk melihat siapa orang yang kini menahan lengannya.
Asha mengenalnya. Asha sangat mengenalnya.
"Kamu marah? Maaf kalau Mas datangnya telat."
Kini pinggang Asha didekap oleh pria itu. Asha sampai menahan napas karena tubuhnya dan tubuh pria itu sangat dekat. Apalagi saat ini mereka menjadi objek mata semua orang.
"P—pak..."
Asha menahan dada pria di depannya. Ini gila. Mereka tidak pernah sedekat ini. Bahkan untuk saling bertegur sapa saja mereka jarang. Hanya ada kalimat formal setiap kali bertatap muka.
"Kara, kamu kenal?" tanya ibu Abib dengan keheranan.
"Ini calon istri saya, Tante. Saya yang menyuruh Abib untuk menjemputnya. Terima kasih, Bib," jelas pria bernama lengkap Akara Emir Hasad itu sambil tersenyum tipis pada Abib.
"Kamu serius, Kara? Tante kira kamu—"
"Serius, Tante. Saya di sini bersama Arisha ingin memberi tahu semua orang tentang rencana kami. Iya, kan, Sayang?"
Asha merasakan Kara mengelus pinggangnya dengan lembut dan entah kenapa hal itu malah membuat Asha merasa sedikit tenang. Mungkin Kara dikenal kejam dan tidak punya hati jika berurusan dengan pekerjaan. Tapi Asha tahu kalau pria itu berhati baik.
Ingatan Asha terlempar pada kejadian minggu lalu saat salah satu rekannya di divisi lain mendapatkan musibah dan harus mengganti rugi hingga puluhan juta untuk orang lain. Perusahaan membantunya dengan memberikan pinjaman. Asha juga yang turut mengurus hal itu. Bahkan di surat perjanjian sangat jelas tertulis kalau rekannya itu boleh membayar seberapa ia sanggup saja. Tidak menekan harus membayar lunas semuanya.
"Tolong bantu saya kali ini dan kamu boleh minta apa saja sebagai imbalan," bisik Kara penuh permohonan.
Asha tidak tahu kenapa Kara harus memohon seperti itu. Bukankah—
"Bapak ngajak saya berbohong?" balas Asha berbisik juga.
Mungkin bagi mereka ini terlihat mencurigakan. Tapi bagi semua orang yang melihatnya menyimpulkan kedua manusia itu sedang memamerkan kemesraan.
"Demi kebaikan bersama, Arisha. Saya bosan ditanya pasangan mulu dan kebetulan ada kamu di sini. Memangnya kamu mau jadi orang bodoh sendirian? Saatnya kamu balas dendam. Abib cuma mempermainkan kamu."
Entah kenapa kalimat jahat Kara malah membuat Asha tersenyum manis. Ia balas mengulurkan tangan, lalu ia daratkan telapak tangannya di perut keras milik Kara.
"Aku lapar," rengek Asha pada Kara dengan manja.
Kara tersenyum manis. Ia tahu Asha akan menerima permaianannya kali ini. Bukankah wanita itu juga harus menunjukkan pada Abib seberapa sakit perasaannya dipermainkan?
"Nek, acara makan-makannya boleh dimulai? Calon istriku lapar," kata Kara menatap wanita tua yang telah melahirkan ayahnya dan ibu Abib.
"Boleh, boleh. Ayo semuanya ke ruang makan. Nenek juga lapar," ajak wanita tua itu dengan semangat.
***
Asha menarik lengannya dengan kesal. Jelas sekali rasanya sakit pada cekalan kuat yang Abib berikan. Sialan. Asha membenci pria itu. Abib sungguh menyebalkan dan Asha baru mengetahuinya sekarang.
"Kamu dan Kara mengerjaiku?!" bentak Abib dengan mata yang tajam menatap Asha.
"Gila," desis Asha tak habis pikir.
Abib berperan menjadi tokoh yang tersakiti. Padahal pria itu sendiri yang memulai semuanya untuk menyakiti Asha. Andai saja Abib tidak memberikan kode-kode rasa ketertarikan padanya selama 2 bulan ini, Asha tidak akan mau dibawa ke acara keluarga pria itu.
"Asha, kamu jangan mempermainkan saya. Kamu kira saya bakalan diam saja? Kara sepupu saya, dan—"
"Dan kenapa? Masalahnya di mana? Kita hanya teman kerja. Sedangkan Pak Kara atasan sekaligus calon suami saya. Bapak keberatan dengan fakta itu?"
"Asha!" Abib mencekal lengan Asha dengan kuat dan mendesis penuh amarah.
"Sakit! Lepas!"
Asha mencoba untuk melepaskan diri tapi Abib tidak memberikan kesempatan sedikitpun. Asha ingin menangis saat ini. Abib bukan pria yang selama ini ia kenal. Pria itu sungguh berbanding terbalik dengan Abib yang bersamanya 2 bulan ini.
"Kamu kira kamu bisa mempermainkan saya?"
"Jadi cuma Bapak yang boleh mempermainkan saya?" Asha menantang Abib dengan mata yang mulai berair.
"Saya yang bodoh karena terlalu percaya kalau seorang Abib yang dikenal ramah, murah senyum dan baik hati tidak akan sejahat ini. Kalau saya hanya teman kerja, gak ada alasan Bapak bisa bawa saya ke sini dengan dalih ingin memperkenalkan saya. Saya yang bodoh karena percaya diri kalau Bapak tertarik pada saya," Asha tersenyum getir di akhir kalimatnya.
"Asha, saya—"
"Urusan kalian selesai," Kara datang sambil mencekal lengan Abib, lalu mendorong pria itu menjauh dari tempat Asha.
"Bangsat! Lo gak berhak ikut campur!" maki Abib kesal.
Asha terpekik dengan kedua telapak tangan membekap mulutnya. Matanya membelalak melihat Abib kini tergeletak di rumput akibat kepalan tangan Kara.
"Lo boleh menang atas masa lalu. Tapi untuk ke depannya, gue yang bakal mastiin lo akan tetap kalah dan terus di bawah gue," desis Kara di depan wajah Abib.
Kara mendekati Asha, lalu melepaskan jasnya untuk ia kenakan di tubuh Asha yang menggigil. Semua orang sedang berkumpul di dalam membicarakan banyak hal. Kara kehilangan Asha dan benar dugaannya kalau Abib membawa wanita it uke halaman belakang yang tidak terlalu bercahaya.
Kara menuntun Asha masuk ke dalam mobilnya, lalu menyuruh sopir untuk segera berlalu dari sana. Sesekali Kara mencuri lihat pada wajah pucat wanita di sampingnya.
Kara mengulurkan tangan hanya untuk memastikan kalau Asha baik-baik saja. Mata Asha terpejam saat telapak tangan dingin milik Kara mendarat di pipinya.
"Kamu demam," kata Kara dengan nada yang terdengar khawatir.
"Ke rumah sakit, Pak," suruh Kara lagi pada sopir.
"Gak usah. Saya cuma butuh istirahat. Antar saya pulang saja, Pak, tolong," mohon Asha.
"Ke rumah sakit, Pak," titah Kara tak terbantahkan.
Asha menghela napas panjang. Ia tidak akan menang melawan Kara. Apalagi pria itu bosnya dan lebih memiliki kuasa untuk memerintah.
Kara menarik Asha ke dalam dekapannya sambil merapatkan jas yang membalut tubuh Asha. Kara bisa merasakan tubuh wanita itu menggigil lebih kuat dan ringisan pelan dari bibirnya.
Kara mengumpati Abib karena ini.
***
Doain ya aku bisa up setiap hari💆🏻♀
Aku kalo gak nulis kadang bosan gak ada kegiatan selama puasa. Tapi juga ide-ide liar kadang bikin mager buat up. Merasa bersalah jadinya. Kemungkinan update vol.3 dan 4 bakal soft selama puasa. Kalau mau yg hard++ bisa ke PDF ya.
Paling sekadar kiss atau grepean doang yg di up💦
PO masih berlangsung sampai tanggal 12 yaaaaa!
KAMU SEDANG MEMBACA
SHORT STORY 2021 - 2022 (END)
Romance[MATURE 21+] Semua cerita hanyalah karangan penulis saja. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat atau kejadian, itu hanyalah ketidaksengajaan. Harap bijak dalam memilih bacaan sesuai usia. Follow dulu jika ingin mendapatkan notifikasi update. Start, 2...