SIMPATIK

3.1K 250 4
                                    

Sebenarnya, tadi Gara hanya ingin langsung pulang setelah makan malam bersama keluarga di rumah sang ibu yang agak jauh dari apartemen Gara berada. Itu termasuk hal yang langka dimana tidak akan terjadi sesering yang Gara mau. Makanya ia selalu menyempatkan diri walau ia agak lebih lelah karna harus menyiapkan materi untuk besok yang juga merupakan hari pertamanya dalam mengajar di kelas senior tempatnya mengajar kini.

Gara sempat menepis dan menyalahkan pandangannya sendiri ketika melihat gadis dengan celana kain dan baju kaos berjalan lambat-lambat di pinggir jalan, lalu merasa punggung itu sedikit familiar untuknya, dan benar saja, dia Ghaitsa Karinasankara si gadis jutek yang ia temui di sekolah dan parkiran angkot.

Melihat gadis seusia sepupunya ini menangis dengan kencang serta memegang uang pecahan lima puluh ribu, membuat Gara ikut panik. Apakah dia baru saja di rampok? atau hal buruk lainnya sedang menimpanya? Gara tidak tau karna sampai sekarang Itsa masih tidak mau buka suara. Gara merasa tidak tega membiarkan Itsa menangis memeluknya dalam keadaan berdiri, makanya Gara menuntunnya masuk ke mobilnya. Membiarkan gadis itu menangis sampai puas dan Gara dengan sabar menunggu juga sesekali mengulurkan tisu untuk Itsa.

"Sudah tenang?" Itsa mengangguk, ia malu menangis di depan guru barunya. Tapi kesedihan ini terlalu mendominasi sehingga memaksa Itsa untuk terus menangis agar hatinya juga merasa lega. Itsa bahkan tidak peduli dengan keadaannya yang mungkin berantakan dan pasti membuang waktu gurunya saja.

"Ada yang jahatin kamu sebelum saya datang?" Entah kenapa, suara Gara malam ini dan waktu di sekolah hari-hari kemarin terdengar berbeda.

Mengenai pertanyaan Gara, ingin rasanya Itsa menyebut nama tantenya dan Nesya sebagai orang jahat. Tapi tidak mungkin, Gara hanya orang asing yang belum tentu bisa membantunya atau mengerti keadaannya. Bisa saja ia justru menganggap dan berfikiran sama dengan tante Siska

"Gak, maaf saya merepotkan bapak. sekarang saya permisi" Gara menahan tangan Itsa yang sudah hampir membuka pintu

"Oke kalau kamu gak mau cerita, sekarang saya tanya, kamu mau kemana?" ini sudah pukul sembilan, mau kemana gadis ini sebenarnya?

"Saya mau cari sate" alis Gara bertaut, Itsa nangis bukan karna dia tidak menemukan penjual sate kan?

"Sate? kamu serius?" Itsa mengangguk, teringat ucapan tante Siska yang melarangnya pulang kecuali dengan sate.

"Kamu lapar? Kalau gitu kita cari sama-sama sekalian makan sama-sama" Gara baru akan menyalakan mobilnya sebelum kedua tangan dingin Itsa menyentuh kulit lengannya. Gara memang sudah menggulung lengan kemejanya sampai siku.

Sentuhan itu bagai sengatan listrik yang seketika merampas semua atensi Gara hanya untuk Itsa seorang

"Saya sendiri aja pak, saya buru-buru tante saya udah nunggu" Gara rasanya sedikit paham, ada seseorang yang menyuruh Itsa untuk membeli sate.

"Oke, saya bantu kamu cari sate terus saya antar pulang" karna sebagai laki-laki sejati yang juga kebetulan sudah melihat kerapuhan Itsa barusan, tidak etis rasanya kalau Gara lalu meninggalkannya begitu saja.

"Gak usah pak, saya____

"Saya gak mau di bantah, berani kamu bantah guru kamu?" Itsa terdiam, supaya lebih cepat mungkin memang sebaiknya Itsa menerima bantuan ini.

Merasa Itsa tidak lagi melayangkan protes, Gara menjalankan mobilnya menyusuri jalan malam hingga satu jam kemudian menemukan penjual sate pinggir jalan.

Itsa langsung turun, memesan dengan cepat dan kembali dengan cepat karna tidak mau Gara menunggu lama untuknya.

"Terimakasih pak, sekali lagi maaf saya merepotkan" Gara hanya mengangguk dengan deheman, ada rasa penasaran di hati Gara melihat wajah sendu dan mendapati Itsa menangis di pinggir jalan tadi. Dan seolah rasa penasaran itu belum cukup, Gara dibuat kebingungan karna Itsa meminta turun di depan komplek perumahan bukan di depan rumahnya saja. Kenapa? Gara tidak ada niat merampok rumahnya

WABI-SABI✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang