Sebelumnya Gara tidak pernah melupakan sarapan sebelum memulai hari. Gara tipe pria yang harus sarapan untuk bisa lancar menjalani harinya yang panjang. Andai mungkin ia sedang di apartmentnya sekarang, sebuah roti dengan alpukat serta telur mata sapi yang diberi garam dan lada, jangan lupakan secangkir kopi yang lumayan sering Gara buat agar praktis dan tidak memakan waktu banyak.
Semalam, Karenina wanita empat puluh lima tahun yang juga merupakan ibunya itu meminta Gara untuk pulang. Anniversary pernikahan kedua orangtuanya memang juga menjadi ajang berkumpulnya semua keluarga Janardana dimana pun serta sesibuk apapun mereka.
Sagara anak ketiga dari empat bersaudara, yang bisa di bilang menjadi anak yang paling keras kepala sekaligus bebal. Semenjak tinggal di apartment yang bahkan masih satu kota, Gara masih lah menjadi anak yang jarang pulang kerumah orang tuanya melebihi saudaranya yang bahkan tinggal di kota yang berbeda. Dari kecil, hingga sekarang usianya sudah dewasa pun Gara memang menjadi anak yang paling jarang terlibat mengenai apapun yang di lakukan keluarganya. Tentu karena Gara pun menolak. Ia punya dunia dan cara pikirnya sendiri, bahkan menjadi satu-satunya anak Eldie Janardana dan Karenina Shilla yang menolak meneruskan perusahaan keluarga. Hanya satu yang tidak bisa Gara bantah, yaitu keinginan ayahnya yang meminta Gara untuk menjadi guru sementara.
Tapi setelah apa-apa yang terjadi belakangan ini, Gara rasanya ingin berterimakasih pada ayahnya itu.
"Gara, gak sarapan?" Gara menggeleng, sarapan dengan ibu dan ayahnya yang dari dulu tidak pernah cocok dengannya adalah hal yang sudah Gara hindari sejak beberapa tahun lalu. Bukannya Gara tidak menyayangi mereka, hanya saja ayahnya yang terus meremehkan dirinya itu atau ibunya dan segala pertanyaan nya juga sudah lumayan membuat Gara muak
"Sarapan dulu, sekalian papa mau ngomong" setelah mengatakan itu, Karenina kembali ke ruang makan dimana suaminya sudah duduk rapih disana. Gara menghela nafas, andai saja ancaman ayahnya hari itu tidak membuatnya takut, Gara pasti bisa langsung pergi saja dari sini dan ia pun tidak perlu menjadi guru dimana waktunya diambil lumayan banyak.
"Gimana rasanya jadi guru?" Eldie Janardana adalah pria yang tegas, caranya mendidik anak-anaknya memang bagaikan di militer. Tidak ada yang berani membantah ucapannya. Kecuali putra ketiganya, Sagara Janardana.
"Not bad" singkat Gara lalu meneguk sedikit kopi hitam pekat kesukaannya yang sudah Karenina siapkan.
"Tenang aja, kamu cuma sementara disana. Sampe om farhan sehat kamu bisa keluar" Gara mengangguk, farhan adalah om sekaligus adik dari ayahnya. Pemilik sekolah sekaligus guru disana. Kecintaanya dalam mengajar dan membagi ilmu memang patut Gara apreasiasi. Karena meski ia pemilik sekolah, om farhan tetap ingin mengajar disana sebagai guru.
Gara di minta menggantikan sebagai opsi kesekian karena saudaranya yang lain berada jauh di luar kota, tentu saja Gara menolak keras hari itu. Tapi melihat pamannya itu terkena serangan jantung dan sedang meminta tolong padanya membuat Gara juga tidak tega. Tapi bukan itu point nya, Gara masih bisa menolak namun ancamannya ayahnya yang akan mengirimnya ke Canada adalah ultimatum untuknya.
Gara berbeda dengan kedua kakaknya yang memilih menurut memegang masing-masing posisi di perusahaan yang ayahnya bangun dari segala bidang, Gara tidak. Ia ingin keluar dari zona itu. Ia membangun perusahaan nya sendiri. Tapi tentu itu tidak akan pernah mudah. Terlebih, ayahnya sendiri saja bahkan meragukan kemampuannya. Bagi Eldie, Sagara adalah anak keras kepala yang sejak duduk di bangku SMP saja sudah berani mempermalukan nya. Gara bukan murid paling berprestasi di sekolah, berbanding terbalik dengan saudara nya yang lain. Tapi Gara juga tidak bodoh, ia hanya mengikuti apa yang hatinya mau.
"Gimana kabar perusahaan mu itu?" Gara tau itu hanya basa-basi, dan Gara sebenarnya tidak suka basa-basi. Tapi demi menghargai ayahnya yang sedang berusaha mengajaknya mengobrol, akan Gara ladeni.