Itsa lupa sejak kapan, mungkin tepatnya ketika ia harus menerobos hujan untuk meninggalkan tempat tinggalnya, Itsa jadi tidak suka hujan.
Dari luar, ia mungkin terlihat biasa saja. Tapi jujur saja dalam hati Itsa berdoa ribuan kali agar hujan segera pergi. Tiap-tiap menemui hujan, Itsa selalu merasa hatinya sedih. Namun pagi ini, di sofa apartment nya yang sempit karena diisi oleh dua orang-, Itsa tidak merasa apapun. Ia tidak berdoa agar hujan cepat pergi, ia hanya menikmati momennya kini.
Menatap wajah Gara yang terlelap, membiarkan nafas pria itu menerpa wajahnya pelan-pelan, membiarkan tubuhnya terperangkap dalam rengkuhannya yang hangat demi agar kenyamanan ini tidak pergi. Itsa merasa menjadi gadis paling bodoh sedunia, kemarin ia menghindari pria ini matian-matian tapi kenapa sekarang ia menikmati rasa aman yang pria itu berikan?
Itsa sudah berjuang untuk melepaskan, kenapa semesta tidak juga mengerti dan terus mempertemukan mereka?
Apakah bagi si semesta, Gara bukan masalah untuknya? Itsa sudah sering di remehkan, tapi dengan keluarga Gara? Ia akan kalah dari berbagai sisi. Kenapa ia tidak bisa yakin dengan perjuangan Sagara yang bahkan menentang aturan keluarganya sendiri demi dirinya? Kenapa sulit? Kenapa Itsa ragu?
Itsa melepaskan pelan tangan Gara yang melilit di tubuhnya, bangun dari posisi tidurnya lalu segera ke kamar mandi. Anehnya meski tidur berdua berdempetan di sofa yang sempit Itsa tidak merasa badannya pegal.
Gadis itu membasuh wajahnya dengan air dingin, menggosok giginya sambil menggerutu dalam hati betapa tidak menyenangkannya menatap kedua matanya yang bengkak.
Itsa juga sempat menyisir dan mengikat rambutnya agar terlihat lebih rapi, meski ia heran sendiri kenapa tiba-tiba ia ingin lebih rapih di depan Gara
Itsa sebenarnya merasa ini tidak benar, tapi mengingat pria itu mau meluangkan waktunya untuk menemaninya menumpahkan air mata tanpa mendesaknya cukup membuat Itsa terlena. Pelukannya yang tak lepas itu terasa menyakinkan Itsa bahwa dia tidak pernah sendirian.
Itsa melirik pada sofanya, Gara masih terlelap disana mengingat memang Gara menahan untuk tidak tidur kecuali Itsa tidur lebih dulu. Itsa memutuskan membuat kopi, mengingat pria itu sering memesan kopi di Jouska, Itsa pagi ini membuat dua gelas. Juga empat lembar roti panggang yang ia isi dengan alpukat telur mata sapi serta lada dan garam. Sarapan simple Itsa seperti pagi biasanya, Itsa tidak tau Gara akan suka atau tidak.
Itsa sedang mencuci buah stroberi saat Gara mendekat dan mencium sisi kepalanya berkali-kali. Pria itu memang tidak bisa dibiarkan, ia melingkarkan tangannya pada perut Itsa, menenggelamkan kepalanya di bahu gadis itu meski Itsa mendorongnya.
"Minggir saya lagi sibuk" Itsa mengusir halus, suaranya masih agak serak.
"Jangan pake saya kalau ngomong" teguran Gara yang sebenarnya membuat Itsa mengernyit, Gara juga selalu bicara pakai kata "saya"
"Stop!" Itsa menegur keras saat dengan sengaja Gara menciumi pipinya sampai basah.
"Jorok! Kamu belum sikat gigi tau, bau!" Tidak juga, Gara wangi dan tetap tampan meski baru bangun tidur. Hidup memang tidak adil, Itsa yang kalau bangun rambutnya bagai rambut singa agak tidak terima dengan rambut Gara yang berantakan tapi tetap terlihat bagus.
"Jadi kalau udah sikat gigi boleh?" Itsa menggeleng pelan, Gara masih tidak mau melepaskan pelukannya
"Mending kamu cuci muka, makan terus pulang" Gara diam. Setelah semalam, apakah dirinya tidak bodoh jika meninggalkan Itsa? Tidak dalam keadaan gadis itu sedang rapuh.
"Lepasin" Gara menurut kali ini, ia melepaskan pelukannya lalu duduk di salah satu kursi meja makan Itsa
Ia mengambil kedua tangan Itsa untuk di genggam, mereka duduk berhadapan dengan Itsa yang merasa jantungnya mulai tidak normal.
"I'm bad with word Kara , i hope you're good in reading eyes" Itsa diam, fokus membalas tatapan mata Gara yang berkaca.
"Kamu mungkin akan bosan dengan kata cinta dari saya, tapi saya bisa apa lagi untuk menyakinkan kamu?" Gara berucap pelan, meski Itsa mulai menangis di depannya ia tetap teguh untuk tidak memeluknya sekarang. Itsa masih dalam kondisi sedih dan Gara dengan tanpa aba-aba apalagi persetujuannya malah menambah itu.
"Ini pertama dan terakhir kalinya kara, apapun jawaban kamu saya akan terima" butuh pikiran yang matang dan kesiapan diri bagi Gara pula untuk melakukan ini. Ia tidak mau terus di posisi yang sama, mengejar apa yang tidak mau di kejar, menunggu apa yang tidak akan pernah datang, memohon membuang harga dirinya begitu saja. Gara berjuang, ia sudah sangat berjuang. Tapi mau sampai kapan?
"Kamu mau saya pergi? Atau tetap disini? Di hidup kamu? Sama kamu?"
Pertanyaan yang sulit. Itsa sudah menghindari pria itu mati-matian. Memutuskan komunikasi bahkan pergi tanpa pamit. Apa selama ini ia egois? Pada dirinya sendiri terutama.
Setelah Itsa berfikir, selama ini ia tidak jauh lebih bahagia tanpa Gara. Mungkin ia memang hidup, dengan impian-impiannya yang satu persatu berusaha di wujudkan tapi kenapa terasa hambar? Itsa selalu merasa kurang.
Itsa bertanya pada dirinya sendiri, apa ia bahagia? Apa ia yakin bisa dengan bahagia melanjutkan hidup tanpa Gara kendati hari-hari tanpa Gara nyatanya juga sangat berat? Apa ia damai? Apa ia akan siap melihat Gara hidup bahagia dengan perempuan lain yang tentu saja bukan dirinya?
Jawabannya ternyata tidak. Meski Itsa berulang kali bertanya jawabannya tetap sama. Itsa tidak mau Gara pergi, ia hanya takut, tapi tidak juga mau melepaskan Gara.
Itsa mencoba menghentikan tangisnya, balas menggenggam tangan Gara yang masih fokus menatapnya
"Mas...aku takut kita gak berhasil. Aku gak siap di tinggalkan. Gak akan pernah siap" Itsa benci sekali menjelaskan dirinya pada orang lain, Itsa benci jika orang lain tau betapa sedihnya dia.
"Aku lahir dari perempuan yang juga di tolak oleh keluarga ayah ku" Itsa sudah tau ini dari lama, dari Siska yang waktu itu marah padanya karena tidak menurut. Perempuan itu menjabarkan pada Itsa dengan marah bagaimana ibunya di kucilkan keluarganya sendiri karena kesalahannya yang fatal dan tak termaafkan.
"Ibu, menikah dengan orang kaya. Ibu gak di terima lagi di keluarganya karena sejak memilih ayah, bagi mereka ibu udah gak ada" inilah kenapa Itsa menolak bercerita pada Kalya, karena rasanya sesakit itu. Sesak di dadanya seolah ingin membunuhnya pelan-pelan namun dengan cara paling tragis.
Ibu Itsa-Jasmine, adalah anak yang terlahir dari keluarga cukup meski tidak sebanding dengan Mahawira-ayahnya.
Mereka menikah diatas pertentangan kedua keluarga yang tak saling menerima, yang dimana berakhir dengan si pria yang menyerah padahal dirinya lah yang teguh berjuang dulunya.
Itsa hidup bersandingan dengan kemiskinan dan caci maki orang karena hidup tanpa ayah. Lalu seolah belum cukup, dirinya yang tak tau apa-apa harus rela di tinggalkan begitu saja karena Jasmine ikut menyerah. Lalu Itsa, apakah dia juga harus menyerah?
"Kalau di masa depan kamu akan ninggalin aku, mending lakukan dari sekarang" supaya Itsa tidak harus lebih sedih dan air matanya tidak kering karena menangis terus.
Gara melepas genggam tangannya, berpindah pada kedua pipi Itsa yang basah, menghapus air matanya yang sudah membuat mata Itsa bengkak.
"Jauh sebelum ada kamu, saya mama dan papa memang gak se-harmonis itu Itsa. Ada atau tidak adanya kamu, kita memang sudah asing. Itu gak memengaruhi apapun" Itsa diam mendengarkan, rasanya sudah kehabisan tenaga untuk mengucapkan apapun meski banyak hal yang ingin ia luapkan.
"Saya gak ngerti Ghaitsa, saya juga gak ngerti kenapa saya cuma mau kamu. Saya gak butuh harta dan kedudukan karena apa artinya itu kalau saya gak bahagia. Dan entah apa yang sudah kamu lakukan, karena bahagia yang saya cari cuma ada di kamu. Saya gak akan berjanji kalau kamu gak akan percaya, tapi saya juga gak akan pernah pergi setelah hari ini, setelah saya anggap kamu setuju. Tidak akan pernah, meskipun kamu berlutut di bawah kaki saya, saya gak akan kemana pun. Tidak kalau bukan dengan kamu"