Itsa sekali lagi mengecek kertas jawabannya, ia tidak yakin semuanya benar. Tapi setidaknya ia sudah berusaha semaksimal mungkin, jadi biarkan Itsa lihat sendiri hasilnya nanti.
Hari ini adalah hari kedua ujian akhir, Itsa yang kelasnya terpisah dari Kalya memilih menetap di kelas hingga ujian selanjutnya tiba.
Tangannya kembali mengeluarkan buku-buku pelajarannya, mencatat point-point penting agar Itsa bisa me-review apa-apa saja yang ia ingat. Kelas ramai karena jam istirahat yang tidak banyak membuat beberapa siswa dan siswi memilih tidak ke kantin.
Ponselnya bergetar, Itsa mengambilnya kemudian membaca nama Gara di layar.
"Iya?" Itsa mengangkatnya tidak lama kemudian.
Kenapa gak ke kantin? Entahlah, Gara selalu tau gerak-geriknya selama di sekolah. Termasuk saat ia tidak keluar kelas untuk makan siang.
"Gak laper, sekarang lagi belajar" Gara terdengar menghela nafasnya. Beberapa hari belakangan ia sangat sibuk hingga tidak sempat bertemu langsung dengan Itsa. Bahkan Gara sudah bersiap untuk keluar dari posisi guru ini sebentar lagi. Usahanya yang sedang berkembang pesat membuat Gara pusing. Ia harus melepaskan salah satu sebelum ia gila.
Nanti kamu sakit Kara
Nada suara Gara terdengar lelah, meski tidak bertemu secara langsung. Gara tidak pernah absen menghubungi Itsa di setiap waktu luangnya yang tidak banyak.
Intensitas pertemuan yang sedikit itulah yang membuat mereka sama-sama tidak tau.
Gara yang tidak tau apa-apa saja yang sedang Itsa rencanakan sementara Itsa juga tidak tau apa yang sedang Gara usahakan.
"Enggak kok, udah dulu ya guru aku udah dateng" Itsa langsung memutuskan sambungan, guru belum masuk. Itsa saja yang mulai malas kalau Gara sudah bawel soal menjaga kesehatan dan Gara tau itu tapi tidak peduli.
Itsa yang makin hari makin sadar soal betapa salahnya ia yang masih bersikap baik-baik saja dan terus berinteraksi dengan Gara-, yang merupakan tunangan orang lain, perlahan-lahan mulai menyusun ulang tatanan hidupnya yang tidak beraturan.
________________
Pukul satu siang, Itsa sudah berada di kafe dan sedang istirahat siang saat Gara datang menemuinya. Pria itu langsung memeluknya di tengah ruangan yang disisi beberapa orang yang nampak melirik kearah mereka.
"I miss you so bad" Gara nyaris berbisik, mencium kepala Itsa berulang kali yang membiarkan Gara. Setidaknya untuk sekarang.
"Kamu dari mana?" Mengingat Gara sudah tidak lagi mengajar di kelasnya turut membuat Itsa tidak tau keberadaan pria itu. Pria yang sibuknya luar biasa.
"Dari kantor" Gara menjawab singkat, mengambil tangan Itsa untuk di tuntun duduk di salah satu meja pojok dekat jendela.
"Kamu udah makan sayang?" Gara mengelus sekilas pipi Itsa. Kebiasaan baru pria itu yang makin membuat Itsa tidak bisa jauh
"Sudah, kamu gimana?" Gara mengangguk sambil tersenyum, tangannya tidak lepas menggenggam tangan Itsa sedari tadi
"Besok hari terakhir kamu ujian, habis itu kamu lulus ya?" Gara terkekeh diakhir kalimatnya, Itsa hanya mengangguk. Ia sadar, sikapnya mulai pasif di depan Gara yang harus cepat-cepat ia ubah sebelum pria itu menyadari.
"Tapi maaf, saya mungkin gak bisa nemenin kamu ngerayain kelulusan" Itsa sebenarnya tidak ada rencana untuk merayakan kelulusan seperti yang Gara maksud.
"Kenapa? Kamu mau kemana?" Tapi Itsa tetap meladeni Gara dengan sabar. Membiarkan waktu istirahatnya habis hanya untuk Gara.
"Saya harus ke Semarang, mungkin sekitar seminggu" pria itu menatap Itsa dengan sorot sedih. Gara yang tidak pernah lupa menceritakan kegiatannya, kesibukannya, bahkan soal perkembangan usahanya pada itsa. Membuat gadis itu lebih mudah mengerti. Dan itsa pun memang enggan untuk menuntut waktu pada Gara
"Ok, gak papa. kok kamu sedih gitu sih?" Itsa tersenyum lebar, mengacak pelan rambut Gara yang langsung mencium tangannya lama.
"Nanti malam saya jemput ya? Saya mau ngecas lama sama kamu sebelum ke semarang" Itsa mengangguk cepat, membuat kebahagiaan yang Gara rasakan menjadi makin membuncah.
_________
Malamnya seperti kata pria itu, Gara menjemput Itsa pukul tujuh malam. Kini Itsa sedang memandangi punggung Gara di depannya. Pria itu sedang fokus meracik pasta untuk dia hidangkan pada makan malamnya dengan Itsa.
"Kamu udah tau mau kuliah dimana?" Gara tiba-tiba menyeletuk masih dengan membelakangi Itsa
"Udah" sudah jauh-jauh hari Itsa memikirkan semuanya matang-matang
"Jangan lupa kasi tau ke saya, semua soal detailnya" kata pria itu yang terdengar tak ingin di bantah. Gara bahkan sudah memberitahu Itsa sejak beberapa hari lalu kalau pria itu yang akan menanggung semua biaya kuliahnya yang waktu itu hanya Itsa abaikan sama seperti kali ini.
Pasta yang menguarkan aroma begitu sedap dengan asap yang masih mengepul, yang Gara tata sedemikian cantik dengan piring yang takkala cantik-, sudah terhidang di depan Itsa. Gara juga sempat membuat steak agar bervariasi.
"Kamu bisa cium saya kalau mau bilang makasih" kata Gara yang sontak membuat Itsa agak terkejut karena pria itu juga memajukan wajahnya agar mudah bagi Itsa menjangkaunya.
Dan tanpa Gara duga, itsa benar-benar mencium pipinya. Membuat bola mata Gara membulat karena selama ini ialah yang selalu melakukannya lebih dulu.
"Makasih" Itsa tersenyum lebar, senyum yang mampu membuat dunia Gara berputar.
"Sama-sama sayang"
Mereka makan kemudian, ini bukan kali pertama Gara memasak untuknya dan Itsa selalu merasa puas dengan hasilnya. Sebenarnya apa yang tidak bisa Gara lakukan?
"Rencana kamu apa?" Gara bertanya di sela-sela makannya
"Kuliah dan hidup tenang" jawab Itsa serius. Bahkan Itsa ragu apakah ia pernah seserius ini dalam berucap.
Gara menganggukkan kepalanya, hidup tenang seperti yang Itsa katakan juga sudah tersusun rapi di kepalanya.
"Kamu gak mau tanya rencana saya apa?" Itsa menatap Gara, menatap pria itu dalam-dalam berharap otaknya tidak akan pernah lupa oleh rupanya, sehingga Itsa selalu mampu mengingat bagaimana bentuk wajah pria yang seolah memporak-porandakan hidupnya
"Rencana kamu apa?" Itsa bertanya lirih, rasanya berat sekali harinya kali ini dengan Gara.
"Hidup tenang bahagia bersama kamu" dan Itsa menangis mendengarnya, meski dirinya tertawa kecil membiarkan air matanya turun dengan deras.
"Hey, kok nangis?" Gara meninggalkan makanannya, mendekat pada Itsa dan memeluk gadis yang sangat ia cintai itu dari samping
"Kenapa?" Suara Gara yang pelan serta usapan tangannya pada pipi Itsa adalah dua hal yang pastinya akan sangat Itsa rindukan kelak.
"Enggak, cuma lagi stress aja" Gara tidak menjawab, ia kembali memeluk Itsa erat-erat. Menyalurkan semangat tanpa kata dan terus menciumi pucuk kepala Itsa berulang-ulang.
"Saya cinta sama kamu Kara, kamu tau itu kan?" Gara agak membungkuk, menyamakan tingginya dengan Itsa dan berhadapan langsung dengan wajah Itsa yang masih diisi titik-titik air matanya. Perempuan itu mengangguk, balas menatap Gara dengan lekat.
"Kamu gak akan sendiri, seberat apapun hari kamu, seberapa stress nya pun kamu, jangan lupa kalau ada saya yang selalu dukung kamu, ok?" Itsa mengangguk, merekam baik-baik kalimat Gara di otaknya agar kelak ia bisa mengingatnya sebagai tanda bahwa ia pernah bahagia di sela-sela hatinya yang juga terluka.
Beberapa menit menangis sambil di peluk oleh Gara, membiarkan pria itu menceritakan banyak hal yang Itsa simak baik-baik dalam diamnya. Pria itu mengantar Itsa pulang pukul sembilan malam. Tadinya Gara mau Itsa menginap andai saja ia tidak harus ke bandara jam enam pagi besok.
"Nanti sampe semarang saya telpon ya? Kamu semangat ujiannya" Itsa mengangguk, maju memeluk erat Gara yang langsung membalasnya dengan senyum
"Kamu kangen banget ya sama saya?" Anggukan Itsa membuat Gara justru terdiam, sebenarnya ia merasa aneh. Perasaannya tidak tenang untuk alasan yang tidak Gara mengerti. Ia menatap dengan senyum Itsa yang melambaikan tangan padanya sebelum menghilang di balik pagar kostnya yang sepi tanpa pernah Gara tau bahwa itu adalah terakhir kali baginya menatap Itsa sedekat itu.