KARA

2.3K 175 1
                                    

Mungkin faktor lelah, Itsa bangun kesiangan. Saat sampai di sekolah, gerbang sudah di tutup dan Itsa terpaksa harus di hukum karena terlambat.

Tapi meski terlambat dan di hukum Itsa tetap merasa lega karena setidaknya ia masih bisa mengikuti kelasnya yang lain. Di hukum untuk hormat pada bendera yang di kibarkan diatas sana tentu Itsa tidak sendirian, ada anak langganan BK yang menemani Itsa di kali pertama dirinya di hukum

"Tumben telat, kalau mau nakal lo telat, kita udah kelas tiga ini" dia Erlangga. Murid populer karena meski dia sudah keluar masuk BK berkali-kali, dia tetap menjadi salah satu pengharum nama sekolah karena berpretasi dan menyumbang beberapa piala yang sekarang terpajang rapi di ruang guru.

Itsa bukan ingin sengaja terlambat, tapi kelelahan semalam lumayan berefek hingga rasanya badan Itsa hampir remuk, belum lagi kelakuan Gara yang tetap memaksanya untuk memberitahu alamatnya pun masih menjadi beban pikiran. Gara rupanya jauh lebih keras kepala dari apa yang pernah Itsa kira.

"Gue bukan sengaja telat" sahut Itsa, jujur saja lengan dan lehernya sudah lumayan pegal menatap bendera serta hormat pada bendera sejak hampir lima menit. Baru lima menit, tapi dalam posisi ini rasanya Itsa ingin pingsan saja. Di tambah dirinya yang belum sarapan karena mandi buru-buru dan berangkat buru-buru Itsa rasanya semakin tidak punya daya.

"Oh kirain, gue kaget lah temen gue hormat bendera anak cerdasnya sekolah" Itsa tidak begitu kenal Erlangga, ia tau Erlangga hanya dari beberapa cerita teman-temannya dan sekarang dia tau Erlangga cerewet sekali. Lima menit terlewati Itsa menyadari betapa Erlangga banyak bicara.

"Lo berisik banget sih, bisa diem gak?" Itsa mengatakannya dengan nada pelan. Selain lelah, Itsa juga sudah terlalu lapar untuk mengeluarkan suara.

"Ya dari pada hening kan, apa sekalian aja kita nyanyi Indonesia raya? Lu hafal gak?" Itsa menghela nafas. Lain kali Itsa janji tidak akan telat lagi, di hukum bersama Erlangga rasanya membuat Itsa risih.

Hukuman itu berakhir setelah Itsa dan Erlangga di beri peringatan untuk tidak terlambat lagi, guru-guru menerima alasan Itsa karena ini adalah kali pertama Itsa terlambat. Tapi tetap saja, tanpa membedakan Itsa dan murid lain meski ia berprestasi, Itsa harus tetap di hukum.

Dengan langkah yang berat meski Itsa tau kelasnya sudah berlangsung, entah mengapa rasanya Itsa tidak ingin ke kelasnya hari ini.

Gara ada di kelasnya dan sedang mengajar, setelah pembicaraan panjang kemarin, jujur Itsa rasanya tidak ingin bertemu dengan Gara. Itsa merasa agak malu karena akhirnya Gara sedikit demi sedikit mulai tau bagaimana tidak beruntungnya hidupnya. Tapi, mengingat sekarang ia sudah kelas dua belas, benar kata Erlangga bahwa terlambat baginya untuk main-main sekarang.

Itsa mengetuk pelan pintu kelasnya, berat sekali rasanya padahal mata pelajaran yang Gara ajar adalah favoritnya. Itsa membuka pintu pelan setelah mendengar suara Gara yang mengijinkannya masuk.

Mata mereka bertemu dan Itsa menjadi yang pertama memutuskan dengan menunduk menatap lantai kelasnya.

"Maaf pak, saya terlambat" Gara tau, sebenarnya Gara sudah melihat Itsa hormat pada bendera bersama laki-laki yang entah siapa. Gara juga sudah melihat Itsa memasuki ruang BK dan itu sebabnya mengapa Gara belum memulai kelasnya meski waktu tiga puluh menit telah terbuang

"Kenapa terlambat?" Pertanyaan yang dimana rasanya Gara telah tau jawabannya tapi tetap bertanya.

"Saya kesiangan pak" Itsa menjawab jujur, Itsa sebenarnya sudah malu berdiri di depan kelas begini dengan keadaan terlambat. Tapi Itsa tidak punya alasan lain dan tidak ada keinginan untuk berbohong

"Kesiangan kenapa? Memangnya di rumah kamu ngapain?" Itsa memejamkan matanya sejenak. Masih dalam keadaan menunduk. Entah kenapa Itsa merasa Gara sedang menyindirnya.

"Maaf pak, saya terlambat tidur jadi bangun kesiangan dan terlambat sekolah" memang benar, karena pertemuan dengan Gara yang dalam keadaan kurang baik, Itsa jadi tidak bisa tidur karena terus memikirkan Gara hingga lelahnya pun tidak bisa menghalau

"Kamu sudah kelas dua belas, sudah waktunya kamu fokus belajar, urusan lain bisa kamu urus nanti" Gara sebenarnya tidak tega melihat Itsa menunduk di depan semua teman kelasnya. Tapi maafkan Gara karena ia ingin Itsa mengerti bahwa sekolahnya sekarang adalah yang paling penting dan tentu bukan masalah sama sekali jika dia menerima uluran tangannya, yang sama sekali tidak berdasarkan rasa kasihan.

"Maaf pak" Itsa semakin menunduk, sudah kehilangan kata untuk membela diri meski kesal karena sebagian hatinya membenarkan ucapan Gara

"Silahkan duduk Kara" Itsa menurut dan langsung mengambil duduk di samping Kalya

"Lo gak papa?" Itsa menjawab dengan gelengan dan senyum agar Kalya tidak perlu khawatir.

"Minum dulu" Itsa menerima air mineral yang Kalya berikan

"Makasih Kalya"

________________________

Kelas selanjutnya di tiadakan karena guru berhalangan hadir, meski tidak ada proses belajar mengajar, tapi para siswa dan siswi tetap di beri tugas meski mereka bebas mau mengerjakan dimana. Itsa sedang di perpustakaan yang memang sepi di jam makan siang. Tanpa Kalya karena gadis itu sedang ke kantin membeli makanan untuknya dan juga Itsa.

Tugas itu tidak banyak, Itsa hanya perlu waktu sepuluh menit untuk mengerjakannya dan sekarang sembari menunggu Kalya, Itsa merebahkan kepalanya pada meja dengan kedua mata terpejam.

Belum sampai satu menit saat Itsa merebahkan kepala saat ia merasakan usapan di kepalanya, Itsa bangun karena mengira itu Kalya, tapi ternyata justru Gara yang sedang duduk di sampingnya sekarang. Aneh, kenapa Itsa tidak mendengar langkah kaki atau bahkan suara decitan  kursi?

"Bapak ngapain disini?" Itsa tau itu pertanyaan bodoh, memangnya Gara tidak boleh berada di perpustakaan?

"Karena pacar saya keliatan lagi capek banget" Itsa hampir tersedak, apa-apaan sebenarnya Gara ini?

"Maaf pak__

"Saya tadinya mau beli makanan buat kamu, tapi ternyata Kalya sudah jalan duluan " oke, Gara tau darimana soal itu?

"Saya__

"Mau sampai kamu jauhin saya?" Gara kembali memotong ucapan Itsa. karena sungguh, Gara tidak ingin lagi mendengar segala penolakan Itsa yang membuat hatinya berantakan

Itsa terdiam, menatap mata Gara yang juga sedang menatapnya. Ia harus menjawab Gara bagaimana?

"Kita cuma murid dan guru pak" suara memelan mungkin juga pengaruh karena ia sungguhan gugup di tatap sedemikian intens oleh Gara

"Ya. itu benar" jawab Gara dengan tenangnya

"Kalau gitu__

"Tapi selain itu, kamu juga pacar saya kalau kamu lupa" Itsa memalingkan wajahnya, menatap kearah lorong yang mengarah ke pintu masuk. Itsa takut kalau ada yang mendengar dan melihatnya dengan Gara disini

"Gak akan ada yang liat" Itsa menghindar saat tangan Gara terangkat untuk mengusap kepalanya

"Pak, tolong pergi dari sini. Saya gak mau ada yang liat. Dan tolong bapak ingat sekali lagi kalau saya gak pernah bilang setuju waktu bapak minta saya untuk jadi pacar bapak"















WABI-SABI✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang