KILLED BY GUILT

1.7K 123 0
                                    

Itsa tidak mengerti pada situasinya, harusnya dia yang goyah. Kenapa malah sabria yang nampak sangat amat terluka?

Di salah satu ruang rawat setelah dokter memberi pertolongan pertama pada sabria yang sesak nafas dan terus menangis-itsa duduk di samping ranjang pasien dimana kini sabria tertidur setelah di beri obat penenang.

Obat penenang ? Dia sendiri bahkan tidak mengonsumsi itu meski keadaan hati dan pikirannya tak mau tenang.

Itsa hanya sibuk menatap sabria yang tertidur saat pintu ruang rawat sabria terbuka dengan buru-buru. Sagara disana, dengan keringat yang memenuhi keningnya balas menatap itsa dalam diam. Sudah berapa lama ia menjauh dari seorang gadis yang pergi membawa serta seluruh hidupnya? Sudah berapa lama ia tak melihat itsa dan membuat hidupnya porak-poranda?

Itsa itu, dia bagai heroin yang membuat gara tidak bisa lepas setelahnya. Seperti sebuah magnet yang mengambil seluruh atensi dan apapun yang gara miliki, dia seolah satu-satunya alasan yang paling masuk akal kenapa gara harus tetap hidup.

Ia mulai gila dan tak tertolong. Gara menyadari itu. Ia bahkan takjub pada dirinya sendiri mendapati tenggorokannya tercekat menahan tangis mendapati nyata itsa berdiri di hadapannya enggan menatapnya.

Pria itu berdehem singkat, pandangannya beralih pada sabria yang tak sadarkan diri diatas ranjang

"Gimana keadaannya"? Itsa tersentak kecil, mengumpati dirinya dalam hati yang hampir saja meloloskan rindu hanya karena sebuah suara.

"Tidur, tadi di kasih obat penenang" jawab itsa, tatapannya tidak ia biarkan mengarah pada gara. Ia rasa, tidak baik baginya berada lama di sekitar gara entah untuk sampai kapan. Itsa menelan ludahnya pelan, mengapa mengucapkan sebuah kalimat menjadi sulit di depan gara? Namun itsa tidak bisa bohongi dirinya sendiri kalau rasa amarah untuk pria itu memang ada.

"Kalau gitu aku permisi" itsa tidak menunggu gara menjawab, ia bergegas meninggalkan ruangan sabria dengan air matanya yang tiba-tiba turun. Hati dan pikirannya kembali bertanya, kenapa harus sagara yang terlibat? Namun seperti sebelumnya, itsa tidak menemukan jawabannya. Ia bahkan masih bingung bagaimana melanjutkan hidupnya setelah semua keadaan sialan ini.

Gadis itu terpaksa berhenti ketika tangannya di tarik agak keras dari belakang, itsa belum sempat mencerna situasi saat kemudian wajahnya menabrak bahu sagara yang kini memeluknya begitu erat. Kedua tangannya menahan punggung itsa agar tidak menjauh sejengkal pun. Pelukan yang nyaman, yang seharusnya sudah tidak boleh ia nikmati.

"Lepas" itsa berontak, mendorong gara menjauh walau cuma selangkah, itsa kesulitan menghindari kedua tangan gara yang kini membingkai wajahnya.

"Kita harus bicara kara, tolong. Kasih saya kesempatan, tolong."

Nada suara gara amat rendah, di pelantaran parkir rumah sakit yang tidak sepi. Itsa sudah lelah dan tentunya menjadi pusat perhatian bukan pilihan bagus.

"Nanti, aku masih capek" itsa tau ia pengecut, ia mengerti bahwa ia hanya sedang menunda. Tapi pada hatinya sendiri itsa ingin memohon. Fakta yang akan sangat menyakitinya itu untuk tidak datang bersamaan. Itsa butuh jeda, setelah mentalnya di hajar habis oleh fakta bahwa sabria adalah orang yang membunuh ibunya beserta harapan-harapannya.

"Berapa lama lagi"? Karena sepertinya, gara sudah tidak sanggup. Meski ia telah bersumpah akan menerima apapun reaksi itsa atau apapun hukumannya, gara tetap tidak lagi bisa menunda.

"Kalau kamu bisa bohong selama ini, kenapa menunggu aku siap kamu susah"? Gara tertohok, benar sekali. Ia sanggup menyembunyikan semuanya dari itsa demi memenuhi egonya sendiri. Mengapa menunggu itsa tenang ia kewalahan?

WABI-SABI✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang