Itsa tidak tau apa yang sedang Gara rencanakan, gadis itu tentu menolak saat Gara memintanya turun dan memasuki salon yang dari luar saja Itsa tau bahwa apa-apa yang ada di dalam sangatlah mahal.
Namun Gara tetaplah Gara, pria keras kepala dan selalu bisa membuat Itsa terpaksa menurut. Itsa sedang dirias oleh dua orang, satu mengurusi wajahnya satu lagi mengurusi rambutnya. Sementara Gara duduk santai di ruang tunggu yang nyaman dengan segelas latte dan tablet di tangannya.
"Kamu udah cantik, make up-nya natural aja ya?" Perempuan berambut cokelat gelap itu tersenyum padanya dan Itsa dengan kikuk ikut tersenyum.
"Ini..buat apa ya mbak?" Itsa tentu sudah bertanya pada Gara tapi pria itu hanya membalasnya dengan senyum sok misterius.
Itsa tidak merasa ada hari penting disini, ulang tahunnya masih lama dan Itsa tidak ada keinginan untuk merayakannya. Lalu ini semua apa?
"Memang calon suaminya gak ngasih tau dek?" Itsa menatap kaget atas pertanyaan perempuan berambut sebahu yang sedang menyisir rambutnya
"Dia bukan calon suami saya mbak" apa-apaan yang baru saja ia dengar? Apakah Gara yang mengatakan pada mereka berdua kalau mereka pasangan? Pasti seperti itu mengingat Gara memang pernah mengajaknya menikah. Tapi biarkan Itsa meluruskan karena ia tidak mau ada kesalahpahaman sedikitpun dan dimana pun.
"Gak usah malu-malu gitu kali dek" mereka berdua tertawa kecil, dan Itsa agaknya merasa tidak nyaman. Menjelaskan lebih jauh pada mereka berdua rasanya malas untuk Itsa lakukan, Itsa merasa seperti anak lima tahun berada diantara mereka berdua dan pemikirannya.
Hampir dua jam acara bersiap diri itu, Itsa kini memandang dirinya di depan cermin besar di ruang ganti salon yang ternyata juga memiliki butik ini. Itsa baru sadar setelah digiring ke lantai dua. Itsa tidak pernah bilang kalau dia cantik, meski teman-temannya terutama Kalya selalu menyakinkan Itsa soal kecantikan yang ia punya, Itsa tidak pernah merasa ia benar-benar cantik. Tapi hari ini, dengan make up yang dibuat setipis mungkin, dengan bibirnya yang di poles lipstik yang tidak berwarna terang, dengan rambutnya yang di buat bergelombang, terlebih gaun yang mencapai betis ini begitu membuat Itsa terpana. Gaun berwarna dasar putih dengan hiasan bunga berwarna pink di beberapa bagian yang Itsa tau setara dengan lima bulan gajinya berkerja di kafe. Pertanyaannya adalah, untuk apa ini semua?
"Cantik" Itsa menatap Gara melalui pantulan cermin di depannya, pria itu datang dengan pakaian casual yang tidak berlebihan. Dan Itsa semakin bingung karenanya.
Itsa menghindar saat Gara hendak merangkul bahunya yang tidak tertutupi kain, mempertontonkan bahunya yang putih dan mulus
"Ini apa sih pak?" Itsa tidak menyembunyikan nada jengkelnya yang semakin jengkel melihat Gara yang justru tersenyum di hadapannya
"Kamu cantik banget Kara" jawab Gara tidak nyambung.
"Ok, makasih. Kita mau kemana kalau saya boleh tau?" Gara mengambil tangan Itsa untuk di genggam untuk mengajaknya segara pergi karena akan terlambat.
"Makanya ayo, biar kamu bisa tau" Itsa berhenti di depan pintu penumpang mobil yang baru akan Gara buka, menatap Gara dengan penuh curiga yang kentara.
"Bapak gak akan aneh-aneh kan?" Gara terkekeh, membuka pintu untuk Itsa dan membantunya duduk bahkan memasangkan seat belt, lalu menatap Itsa lekat dengan jaraknya yang dekat.
"Apa termasuk hal yang aneh, kalau saya bawa kamu ke KUA sekarang?" Itsa melotot, mendorong wajah Gara menjauh demi kesehatan dirinya sendiri. Berbanding terbalik dengan Gara yang tertawa keras.
___________
Pukul delapan malam, mobil yang di kendarai Gara dan Itsa tiba di sebuah rumah yang sebenarnya bagi Itsa tidak pantas di sebut rumah. Terlalu luas dan terlalu besar. Itsa mendongak, memandangi rumah bertingkat itu dengan rasa kagum sekaligus penasaran, halamannya yang seluas lapangan di hiasi lampu-lampu kecil yang membuatnya semakin indah dengan rumput hijau lebat serta tanaman yang tidak sedikit.