Itsa baru bangun saat jam menunjukkan pukul setengah satu siang, harusnya hari ini Itsa kerja, tapi karena kondisi badannya sedang tidak sehat, Itsa memutuskan untuk izin dan syukurnya langsung di setujui.
Itsa tidak tau, selepas pergi dari rumah Gara tanpa berpamitan menaiki angkot dengan gaun mahalnya, Itsa mengalami demam dan menggigil malam harinya. Kepalanya pusing dan ia merasa tidak punya tenaga. Karena sendirian, tentu Itsa hanya bisa mengurusi dirinya sendiri. Saat di rasa kepalanya sudah tidak terlalu berat, Itsa bangun sekitar jam tiga pagi untuk meminum obatnya dengan air hangat. Lalu hingga pukul satu siang ini, badannya sudah tidak panas, tapi kepala Itsa masih lumayan pusing dan rasanya ia juga lapar.
Mungkin karena terlalu lelah fisik mengikuti Gara seharian kemarin, dan kebetulan mentalnya di hantam habis oleh Karenina membuat tubuhnya jadi kehabisan tenaga. Atau entahlah Itsa tidak tau kenapa ia bisa sakit. Itsa mengambil ponsel mahal yang di berikan oleh Gara kemarin, layarnya menyala menampilkan empat belas panggilan tidak terjawab dari orang yang sama. Sagara
Kemarin sesampainya Itsa di kost ternyata bersamaan dengan menyusulnya Gara. Pria itu nampak marah namun dominan khawatir hingga tanpa basa-basi memeluk Itsa begitu erat cukup lama hingga Itsa jengah. Gara hanya meminta maaf berulang kali lalu meminta Itsa untuk segera masuk ke dalam kost. Dan Itsa tau, Gara tidak pergi dari sana sebelum Itsa menutup pintu kost nya.
Itsa tidak menjawab satu pun panggilan dari Gara atau bahkan pesan-pesan Gara karena terlalu nyenyak tidur setelah meminum obatnya.
Kamu masih tidur?
06.00Kamu hari ini ke kafe kan?
06.30Kenapa gak ke kafe? Teman kamu bilang kamu izin, kamu gak papa?
08.30Kara tolong angkat telpon saya
08.31Saya ada depan kost kamu
08.50Saya harus ke kantor, setelah urusan saya selesai saya balik lagi
11.00Itsa membuang pelan ponselnya ke kasur, mengusap wajahnya kasar sambil menghela nafas. Gara tadi disini dan menunggunya selama dua jam, tapi pasti Gara tidak akan bisa masuk ke kamarnya kecuali Itsa menjemputnya. Di kost ini para penghuni perempuan di beri peraturan untuk meminta ijin sebelum membawa tamu pria dan harus di jemput langsung di depan. Gara pasti tidak bisa masuk karena kebetulan juga ibu kostnya sedang tidak di tempat.
Itsa rasanya bertambah pusing karena di kepalanya yang terpikirkan hanya seputar Gara dan paparan Karenina semalam. Dan tentu saja, penjelasan Karenina itu patut ia pertimbangkan.
Itsa membasuh wajahnya menggosok giginya lalu mengambil hoodie yang ia gantung kemudian memakainya. Itsa tidak bisa minum obat kalau perutnya kosong, satu-satunya pilihan yang tersedia sekarang hanya warung nasi di depan kostnya. Semoga Itsa kuat untuk menyebrang jalan.
Namun seolah semesta memang hanya memusatkan Gara pada dunianya, pria itu selalu saja muncul di hadapannya. Seperti saat ini dengan kondisi belum mandi dan rambutnya yang hanya ia kuncir asal, Gara sudah di depan pagar kostnya dengan setelan kerja dan tangan yang menenteng plastik berlogo restoran yang Itsa tau adalah jenis restoran mahal.
"Hai, saya baru mau nelpon kamu" Gara tersenyum, memasukan ponselnya ke saku celana lalu mendekat pada Itsa, ia menggenggam tangan hangat Itsa sekalian untuk mencegah agar gadis itu tidak pergi.
"Hangat, kamu gak papa kan Kara?" Itsa menggeleng pelan, memerhatikan raut wajah Gara yang berubah panik
"Kalo gak papa, kenapa telpon atau pesan saya gak ada yang kamu gubris?" Gara sudah merasa khawatir saat pertama kali menelpon Itsa tadi pagi, mendatangi kafe dan tau Itsa izin semakin membuat asumsinya nyata bahwa Itsa sedang tidak baik-baik saja.
"Maaf, saya baru bangun pak" Gara menghela nafas, mengusap pipi Itsa dengan tatapan matanya yang tak putus menatap setiap inci wajahnya meski ia tau Itsa risih
"Bapak mau apa kesini?"
"Boleh bicara di dalam?" Itsa menggeleng, ibu kost sedang tidak ada berarti Itsa tidak punya tempat untuk izin
"Saya udah izin sama suami ibu kost kamu" Itsa melotot, dari mana pula Gara mengenal suami ibu kost nya? Itsa saja tidak terlalu berani berinteraksi dengan suami ibu kost nya yang galak sama seperti pendapat-pendapat penghuni kost lain disini.
"Bapak kok bisa kenal?"
"Ngobrol di dalam boleh? Saya udah lapar" wajah Gara memelas, sebenarnya Itsa tidak mau tapi ia juga tidak tega mengusir Gara yang kelaparan
Dan disini lah Gara dan Itsa duduk diatas karpet berbulu berharga murah di kamar kost Itsa, Gara mengeluarkan makanan yang ia bawa setelah Itsa memberi piring dan air untuk mereka. Itsa merasa agak aneh melihat Gara si pria kaya raya itu duduk diatas karpet kost nya
"Saya boleh numpang toilet kan?" Itsa mengangguk saja, membiarkan Gara melewati kasur serta dapurnya yang kecil untuk ke toilet. Itsa baru sadar ia belum mengambil sendok, Itsa berdiri mengambil sendok dari dapur dan kembali ke depan lalu di susul Gara kemudian.
Sebenarnya Itsa sudah sangat lapar, tapi tidak enak kalau makan duluan sementara makanan ini di bawa dan dibeli oleh Gara.
Itsa refleks menoleh pada Gara yang menempelkan telapak tangannya pada kening Itsa lalu berpindah ke pipi dan ke lehernya.
"Kamu sakit, dan gak bilang ke saya?" Suara Gara yang rendah namun terkesan dingin itu membawa efek tersendiri bagi Itsa
"Udah sembuh" jawaban singkat itu tidak membuat Gara puas apalagi menghilangkan ke khawatiran yang sekarang ia alami.
Gara mendekat, membawa Itsa kedalam pelukannya sembari menciumi sisi kepala Itsa berulang kali.
"Pak, saya udah laper" kata Itsa setelah dua menit Gara belum juga melepaskannya.
"Kara tolong, lain kali apapun yang terjadi apapun masalah kamu mau kecil atau besar mau penting atau tidak kasi tau saya. Bisa?"
Entah yang mana, kedua mata Gara yang menatapnya begitu dekat, nada rendah suara Gara yang seolah menghipnotis atau usapan lembut tangan Gara pada tangannya, Itsa mengangguk begitu saja.
Makan berlangsung dalam hening, Gara memilih diam sambil menatap Itsa sesekali, dan Itsa fokus pada makanan di piringnya. Hening itu berakhir saat ponsel Gara yang tergeletak begitu saja di sampingnya berbunyi nyaring.
Disa is calling...
Itsa tanpa sadar menatap layar ponsel Gara, dan ia yakin nama itu pernah ia dengar. Itsa menatap Gara, menunggu pria itu untuk menjawab panggilan Disa karena ia juga penasaran. Namun hingga nada dering ponsel itu berhenti Gara tidak juga beranjak
"Tunangan bapak nelpon" ucapan tiba-tiba Itsa membuat Gara hampir tersedak, bukan karena suaranya yang keras tapi kalimatnya yang terdengar sarkas.
"Dia bukan tunangan saya, kamu tunangan saya" Itsa mengernyit, kapan? Kapan mereka tunangan?
"Terus dia siapa?" Pancing Itsa dengan sengaja dan Gara tentu saja tidak keberatan menjawab.
"Dia Disa, teman saya dari kecil" pendek, Itsa tidak puas dengan jawaban itu tapi memaksa Gara juga bukan hal yang ingin ia lakukan
"Kamu jangan khawatir, gak ada perempuan lain selain kamu" pria itu berkata sembari mengusap lembut kepala Itsa. Dan Itsa? Ia bertanya pada jantungnya, kenapa detaknya begitu cepat?