Matahari yang hampir tenggelam sebelumnya tidak pernah benar-benar itsa perhatikan. Warna langit yang berubah sedikit orange, entah bagaimana caranya dapat sedikit memberi ketenangan.
Isakan tangisnya selama dua jam belakangan ini mereda memandangi langit dari pinggir jalan tempatnya kini. Gadis itu duduk di trotoar. Sendirian, sepi, lalu lalang kendaraan tidak banyak disini. Di sisi kiri bahkan lebih pantas di sebut hutan karena di penuhi pohon-pohon tinggi dan lebat. Itsa tidak takut pada hari yang sebentar lagi berganti malam. Di kepalanya saat ini hanya ada amarah serta rasa kecewa bercampur dengan rasa sedihnya yang tidak terhingga.
Disini, di tempat ini. Ibunya merenggang nyawa beberapa tahun silam. Meninggalkan itsa juga janjinya yang tidak akan pernah di tepati.
Sayangnya, itsa hanya bisa meratapi. Ia tidak bisa melakukan apapun. Itsa sempat memarahi dan memaki dirinya sendiri karena masih menyisakan rasa tidak tega juga mungkin rasa cintanya yang memang masih ada. Menghambat dirinya yang seharusnya melakukan cara apapun agar ibunya dapat keadilan.
Dia sagara, pria yang sangat dia cintai. Pria yang pernah ia tinggalkan namun tidak pernah meninggalkannya balik. Pria yang nyatanya membuatnya bahagia di sela peliknya hidup namun juga pria yang sama yang membuatnya menemukan peliknya yang lain.
Bagaimana bisa pikirannya masih membenarkan gara, yang dipaksa untuk melindungi adiknya dan di desak oleh keluarganya. Bagaimana bisa hatinya masih menginginkan pria itu bahkan ketika dia telah menyembunyikan rahasia sebesar ini?
Bagaimana bisa hati dan pikirannya masih memberi rasa iba pada sabria yang mengalami gangguan kecemasan karena masa lalu itu? Itsa tidak ingin, tapi ia tidak bisa.
Ketika hari mulai makin petang, ketika sang raja siang nyaris tak terlihat, sebuah mobil yang sangat itsa hafal berhenti di pinggir jalan tidak jauh dari itsa duduk. Dari sana, turun gara dengan penampilan nya agak berantakan. Rambutnya yang agak panjang acak-acakan, bajunya kusut, wajahnya juga nampak pucat.
Itsa tidak beranjak, ia hanya diam hingga gara mengambil duduk di sampingnya dengan diam yang sama.
Itsa hanya tidak pernah tau, bahwa mengunjungi jalan ini adalah rutinitas gara seolah datang kemari dapat menebus sedikit saja rasa bersalah nya. Entah kenapa gara merasa ia dua kali lipat lebih tersiksa dari sabria sendiri. Bukankah bisa di bilang, gadis itulah yang menyebabkan nyawa seseorang melayang? Meskipun dalam bukti rekaman cctv, jasmine juga bersalah.
Lima menit dalam hening, itsa memutuskan berdiri di susul oleh gara yang sedari tadi menahan diri untuk tak memeluk itsa erat-erat.
Mereka berdiri berhadapan, saling menatap dengan kedua netra yang basah menampilkan pancaran lelah serta sedih yang seperti tak berkesudahan.
"Maaf. Meskipun maaf dari saya gak mengembalikan apa-apa. Saya terima segala hukuman dari apa yang sudah saya lakukan" ucap gara lirih. seingatnya, gara rasa ia tidak pernah meneteskan air mata untuk seorang wanita bahkan karenina dan sabria sekalipun.
"Kirim ke kalya alamat pemakaman ibu ku. Aku mau kesana, enggak sama kamu dan engga dengan siapapun" itsa ingin menangis meraung sendirian memeluk batu nisan dan tanah dari makam ibunya. Untuk kemudian ia mempersiapkan diri memenuhi undangan javier janardana. Ia pun juga harus tau mengenai ayahnya kan?
"Iya" gara hanya bisa berpasrah sekarang, ia masih ingin berjuang bahkan hingga ia mati. Ia masih dengan sangat mencintai itsa dan akan terus seperti itu. Namun menilik dari betapa besar dan tak termaafkan nya kesalahan ini, gara memiliki rasa yakin bahwa itsa tidak lagi memandangnya dengan sama. Rasa cinta yang susah payah ia dapatkan dan dengan panjang ia tunggu itu pelan-pelan berubah menjadi rasa benci yang akan gara sesali seumur hidup.
Itsa bejalan satu langkah di samping gara, menahan hati dan menekan rindunya sendiri.
"Mulai sekarang, kita selesai. Saya gak akan muncul di hadapan kamu dan kamu pun jangan muncul di hadapan saya" air mata itsa semakin deras seiring rasa sakit yang menghantam jiwanya dengan kuat.
"Saya gak akan menuntut apapun, saya gak akan menempuh jalur hukum manapun, meski pun saya mau dan mungkin saya bisa, nyatanya saya gak mampu menjadi jahat seperti kamu dan keluargamu"
Ucap itsa, menancap pas di hati gara hingga sudut paling dalamnya. Ia kembali duduk menunduk menenggelamkan kepalanya menyembunyikan isak nya.
______
Mobil dewangga yang itsa kemudikan berhenti di halaman luas rumah bak istana di depannya. Alamat yang di berikan javier melalui asisten pribadinya membawa itsa kemari.
Gadis itu turun sembari melepas kaca mata hitam yang ia gunakan untuk menutupi sembabnya. Itsa memutuskan bertemu javier lebih dulu. Sebelum datang ke makam ibunya.
"Selamat malam mbak, pak javier sudah menunggu" itsa tidak menjawab, ia hanya melangkah mengikuti damian dalam diamnya hingga mereka tiba di taman belakang rumah yang tak kalah luas.
Di tengah hamparan rumput hijau yang nampak berkilau terkena cahaya lampu, ada meja bundar dimana javier duduk disana dengan kursi rodanya.
"Pak, mbak ghaitsa sudah sampai" javier mengangguk kecil, memberi isyarat tangan pada damian untuk meninggalkan mereka berdua.
"Silahkan duduk itsa" ucapnya tenang, itsa duduk berhadapan dengan javier. Di depannya terhidang secangkir teh yang sepertinya masih panas.
"Sagara mungkin gak sempat bilang ini ke kamu. Waktu itu, sebagai balasan atas gara yang mau membantu menutupi kasus ini dia saya ijinkan untuk membangun usahanya sendiri dan keluar dari jalur yang sudah saya buat" ucap javier menolak berbasa-basi. Itsa memejamkan matanya mendengar itu, pria itu mungkin saja bahagia telah mewujudkan mimpinya tanpa ia tahu ada itsa yang menanggung sedih.
Pria itu tidak tau. Pikirannya masih saja membela pria itu.
"Saya gak datang untuk membicarakan siapapun kecuali ayah saya" balas itsa dengan nada dan eskpresi nya yang dingin.
"Mahawira janardana anak bungsu saya, sudah saya kasih tau di awal untuk gak macam-macam dan buat kepala saya pusing. Ayah kamu sedari kecil memang keras kepala" pandangan javier lurus menatap bunga mawar yang di tanam tukang kebun suruhannya beberapa hari yang lalu.
"Dia yang bersedia melepas semua aset yang saya kasih demi jasmine" itsa kembali diam, untuk saat ini ia hanya ingin menjadi pendengar.
"Tapi nyatanya, dia sendiri yang kembali ke saya kan? Saya kasih kembali kehidupannya yang nyaman serta____
"Meninggalkan anak dan istrinya begitu aja"? Tapi sayang, itsa tidak bisa menahan diri untuk menjawab
"Itu pilihan dia, saya gak pernah menyuruh" bohong, ingatan pria berusia enam puluh tiga tahun itu terlempar pada masa dimana ia menawarkan pada mahawira untuk meninggalkan keluarganya demi kebaikan mereka sendiri. Pria itu setuju meskipun sempat bersikeras menolaknya. Nyatanya, mahawira kalah dengan javier yang jauh lebih berkuasa.
"Sekarang..dia sudah tenang di surga. Apapun yang terjadi di masa lalu hanya masa lalu ghaitsa" itsa mengepalkan tangannya di bawah meja. Ibunya pergi tidak menyisakan apapun, dan ayahnya melakukan hal yang sama. Apa yang lebih kejam dari fakta bahwa itsa benar-benar tidak punya orangtua di dunia ini?
"Apapun yang saya katakan hari ini, soal javier soal jasmine soal sabria ataupun gara tidak akan mengubah apapun itsa. Mereka memang sudah tidak ada, bukan murni kesalahan sabria. Kamu bisa lihat sendiri buktinya yang masih di simpan oleh sagara"
Padahal, itsa sudah berjanji tidak akan menemui pria itu. Tapi ia tidak mau melewatkan kesempatan ini.
"Setelah itu, kamu baru bisa mengambil keputusan" sambung javier lagi, pria angkuh di depannya ini tidak menunjukkan raut bersalah sama sekali. Jelas-jelas kata karenina, pria itulah alasan kuat mengapa mereka semua harus bungkam. Harusnya, javier lah yang paling bersalah disini. Hukuman apa yang tepat untuk pria tua ini?