Seperti pagi-pagi biasanya, Itsa akan bangun dengan kebisingan yang berasal dari alarm ponselnya sendiri. Sejak tinggal sendiri, entah kenapa Itsa menjadi lebih sulit bangun pagi. Apalagi ketika jadwal kelasnya di pagi hari.
Setelah merenggangkan ototnya sebentar, Itsa berjalan ke kamar mandinya. Membasuh wajahnya dengan air dingin lalu menatap pada cermin.
Tampak menyedihkan seperti biasa
Itsa berucap dalam hati. Jujur saja, Itsa tidak tau apakah selama ini ia sudah bahagia atau belum. Harusnya sudah, dia punya Kalya yang tidak akan meninggalkannya dalam kondisi apapun, dia punya Jouska yang selama ini sudah membuatnya tetap hidup meski baru berdiri selama setahun, dia punya Dewangga yang akan selalu membantunya tanpa Itsa minta. Hidupnya sudah berubah drastis, jangan lupakan Tyas yang membuat hidupnya sedikit berwarna dan Itsa harusnya bahagia. Meski tiap harinya, di apartmentnya di kala matahari telah pergi, kesepian dan sedih itu ada.
Itsa sudah pernah bertanya pada dirinya sendiri, apakah dia menyesal? Dan Itsa menjawab tidak sepenuhnya. Ada penyesalan dan Itsa bingung bagaimana menjabarkannya.
Itsa melamun, pikirannya melayang pada insiden kecil kemarin dimana ia kembali bertemu dengan Sagara Janardana. Begitu dekat dengan jangkauannya. Dan Itsa merasa khawatir.
Mengapa takdir masih saja membuat mereka harus bertemu?
Merasa dirinya mulai jengah dengan pikirannya sendiri, Itsa bergegas bersiap. Memakai baju setelan simple seperti biasa, memoles riasan tipis ke wajahnya menyemprotkan beberapa bulir parfum hadiah dari Tyas, Itsa siap untuk berangkat kuliah.
Sarapan?
Tidak, bahkan sejak kemarin nafsu makannya hilang entah kemana.
Setelah memastikan pintu apartment nya terkunci dengan baik, Itsa memasuki lift yang kosong di pagi ini. Tadinya, Itsa sudah merasa harinya akan baik-baik saja kali ini. Tapi benar. Beberapa bulan bahkan setahun belakangan ini, hidupnya teramat tentram sampai mungkin takdir mulai ingin bermain.
Itsa memejamkan matanya sejenak, jika ia berlari kearah halte bus sekarang akan memancing perhatian sekitaran apartmentnya yang ramai sekali di jam delapan pagi. Itsa melarikan diri hampir dua tahun, mungkin memang sekarang adalah waktunya.
"Kara?" Gara adalah satu-satunya yang memanggilnya dengan akhiran dari namanya. Itsa membiarkan debar jantungnya memberontak sesaat setelah netranya menemukan bola mata Gara menatapnya.
Itsa menghela nafasnya berat, dari mana pria yang paling ia hindari ini tau tempat tinggalnya?
Itsa melirik pada security yang berdiri tidak jauh dari posisinya, bersiap jika saja Gara memaksanya untuk mengikuti pria itu seperti lalu-lalu.
"Bapak tau dari mana alamat saya?" Gara bahkan merinding, suara yang paling ia rindukan sedunia. Hanya lewat suara bernada tajam dari Itsa bahkan mampu membuat jantungnya berdebar.
Gara lupa, kapan terakhir kali ia se-lega sekarang?
"Satu-satunya yang tidak saya tau adalah alasan kamu pergi dari saya" Gara nyaris berbisik, tapi ia tau Itsa dapat mendengarnya meski nada suaranya begitu rendah.
Tangan yang ia letakkan di dalam kedua saku celananya mengepal menahan dirinya sendiri agar tidak menarik Itsa untuk memuaskan rindunya yang tidak berkesudahan.
Ada banyak perempuan yang lebih dari Itsa di muka bumi ini, apa yang telah gadis itu lakukan padanya hingga dia harus susah payah membuat dirinya tidak gila menjalani hidupnya sendiri?
Itsa terdiam, Gara pria kaya dan segala koneksi nya memang akan sangat berguna. Tapi jujur, Itsa tidak pernah berfikir akan sejauh ini.
"Maaf, saya buru-buru. Permisi" sikap Itsa yang bagai tidak mengenalnya membuat Gara agak kesal. Tidak ia biarkan Itsa pergi dari hadapannya. Pria itu menahan kuat pergelangan tangan Itsa hingga gadis itu meringis pelan.
"Lepas, atau saya teriak" ancaman bernada tajam itu hanya Gara tanggapi dengan mengendurkan sedikit pegangannya.
"Silahkan" jawab Gara kemudian, balas menatap Itsa yang memandangnya begitu marah.
"Mau berapa lama lagi kamu lari dari saya? Kenapa kamu bertindak seolah kamu bisa lepas dari saya?" Dengan nafasnya yang mulai tidak teratur, jantungnya yang berubah menjadi debaran takut, Itsa mencoba melepas paksa tangannya. Melihat pada security di depan sana memberinya kode untuk segera menolongnya.
"Maaf, ini ada apa ya? Kenapa Itsa ?" Pria kisaran umur empat puluhan tahun itu melepas paksa genggaman tangan Gara dari lengan Itsa yang langsung merasa lega.
"Maaf pak, saya gak berniat membuat keributan." Gara dan tenangnya mencoba menguasai situasi.
"Tapi Itsa kayak takut sama bapak" pria bernama Rudy yang sudah lumayan mengenal Itsa itu menatap Gara dengan curiga.
"Kita cuma lagi ada sedikit masalah pak" dengan senyum tipisnya Gara berusaha bersabar. Andai mungkin pengendalian dirinya buruk, Gara pasti sudah memberi setidaknya satu saja pukulan untuk siapapun yang berani-beraninya menginterupsi dirinya dan Itsa.
Gara bisa, tapi tidak di depan Itsa.
"Gak papa kok pak, saya pergi dulu" Itsa mengambil kesempatan dengan segera pergi dari sana, menaiki taksi yang kebetulan baru saja menurunkan penumpang.
__________
Itsa terlambat, ia sampai kaget karena akhirnya dalam sejarah kuliahnya sepanjang semester ini adalah kali pertama ia terlambat.
Sebenarnya Itsa masih bisa masuk dan mengikuti kelasnya, tapi ketakutan serta kebingungan nya soal Gara tadi belum selesai.
Siapa orang yang telah membocorkan alamatnya pada Gara?
Kenapa begitu mudah? Ini tidak sebanding dengan susah payahnya ia bangkit berdiri untuk bisa sampai pada titik ini.
"Kayaknya lo patut dapat rekor, pertama kalinya seorang Ghaitsa terlambat dan bolos kelas?" Pria dengan hoodie itu mengambil duduk di samping Itsa, di salah satu kursi kafetaria yang masih berada di area kampus.
"Lo sendiri ngapain disini?" Gerald cengengesan ditanya begitu.
"Gue males ikut kelas pak Akbar, ngantuk" makanya, pria yang kebetulan teman SMA Itsa itu butuh kafein untuk membuat matanya tetap terbuka.
"Kenapa telat?" Itsa menghela nafas, ia ingat rasanya tidak pernah ia duduk di kafe ini tanpa membuka laptop di hadapannya. Mengerjakan apapun yang bisa di kerjakan sekalipun Kalya Tyas atau keduanya asik mengobrol di depannya.
"Telat aja judulnya" Itsa tidak akan menceritakan pada Gerald tentunya. Meski pria itu makin akrab dengannya sejak berada di satu universitas yang sama, bukan berarti Gerald tau tentangnya.
"Anak-anak angkatan kita ngadain reuni" Gerald membuka percakapan baru, mengamati eskpresi Itsa yang tidak berubah. Mengingat Itsa menghilang bak di telan bumi tidak genap sehari setelah kelulusan, sekolah pasti akan gempar mendapati Itsa hadir di reuni.
"Gue udah gak pernah datang reuni pertama dan kedua, kali ini pun sama Gerald. Gue lebih suka ngikutin peraturan yang ada" Gerald tertawa kecil mendengar jawaban Itsa. Yah memang benar bahwa gadis itu tidak sekalipun pernah mendatangi reuni.
"Aturan yang lo buat sendiri" Itsa mengangguk kecil, tidak ada yang ia rindukan di kota itu. Itsa tidak ingin kembali dan mengenang apapun.
"By the way Itsa, kemarin gue liat pak Gara disini"