Kafe siang itu sangat ramai, bahkan seingat Itsa selama ia bekerja disini belum pernah seramai ini. Antrian cukup panjang, beberapa pembeli yang tidak sabar juga lumayan menguji emosi, pekerjaan tentu jadi banyak. Bahkan Itsa dan karyawan yang lain belum sempat makan siang saking sibuknya.
"Emang seramai ini ya? Aku baru nemu" tanya Itsa pada una, salah satu karyawan senior yang lumayan akrab dengan Itsa.
"Iya, apalagi diluar emang panas banget kan?" Itsa mengangguk setuju, kembali fokus pada kerjaannya hingga jam delapan malam. Biasanya Itsa tidak pulang selarut ini, tapi hari ini kerjaan banyak yang sebenarnya membuat Itsa agak kaget, Itsa memilih lembur seperti teman-teman nya yang lain. Tenang saja, atasan Itsa yang juga sepupu Kalya selalu menghitung uang lembur karyawan.
Bicara soal Kalya, Itsa jadi merindukan sahabatnya itu. Di diatas kasur kostnya yang tidak terlalu nyaman karena kasur sudah harus di ganti, Itsa meraih ponselnya yang seharian ini tidak ia sentuh. Tidak banyak notifikasi karena Itsa juga tidak memiliki banyak teman
Hanya ada satu nama yang bahkan ketika dia pamit minggu lalu untuk menuntaskan kerjaannya di semarang, masih saja rutin mengiriminya pesan dengan rentang waktu yang sangat berdekatan, pesan-pesan yang tidak Itsa balas selain karena sibuk, Itsa juga memang sengaja.
Sagara Janardana bahkan menelpon nya sebanyak sembilan kali hanya dalam waktu satu jam.
Itsa pernah mengatakan pada dirinya sendiri untuk membiarkan Gara mendekat, Itsa optimis ia akan berhenti setelah bosan. Tapi makin kesini, yang Itsa temukan adalah Gara yang makin konsisten mendekat, tidak menyerah. Meski jauh, Gara tidak pernah lupa mengabari Itsa menceritakan kegiatannya yang sebenarnya Itsa tidak bertanya, bahkan meminta kurir untuk rutin mengantar makanan sehat nan bergizi untuk Itsa tiap harinya.
Perhatian-perhatian kecil Gara, seremeh mengganti keset di depan pintu kamar mandinya atau membeli sendal untuk Itsa pakai ke kamar mandi selalu membuat sudut hati Itsa menghangat. Ia tau ia akan luluh. Tapi seolah tersadar, Itsa kembali tertampar oleh realita betapa besar perbedaan dirinya jika disandingkan dengan seorang Gara.
Itsa belum lupa dan tak akan lupa dengan nasehat Karenina padanya beberapa minggu yang lalu. Gara butuh yang sepadan dan sepadan itu Itsa tentu kalah.
Itsa mengabaikan puluhan chat Gara lagi hari ini, ia masihlah berusaha menguatkan hatinya agar menyerah dan Itsa tidak perlu melakoni drama. Itsa tau betul, menjadi bagian dari keluarga Janardana yang kekayaannya tidak pernah habis dengan reputasi keluarga yang bersinar, semua anggota Janardana tidak ada yang gagal, mereka dokter mereka pengacara, mereka pebisnis handal, mereka memiliki ladang usaha yang luas, mereka tampan cantik nan bersahaja, berpendidikan semuanya lulusan luar negeri, Itsa tau ia tak akan diterima disana.
Itsa mencoba menelpon Kalya, seperti hari-hari sebelumnya dimana ia dan Kalya akan bertukar kabar melalui telepon hingga salah satu diantara mereka mengantuk.
Tapi kali berbeda, ponsel Kalya tidak aktif hingga Itsa mencobanya tiga kali. Libur sekolah sudah hampir selesai, kemarin Kalya juga bilang kalau ia sudah bersiap untuk pulang kembali ke jakarta. Mungkin sekarang Kalya sedang sibuk membereskan barang-barangnya
Ponselnya berdering, bukan Kalya yang menelponnya balik.
Itsa menatap layar ponselnya lama, menahan diri untuk mengabaikan Gara adalah hal yang sulit Itsa lakukan entah sejak kapan. Ada rasa takut, yang tidak bisa ia jelaskan. Itsa akan terus memaksakan diri untuk mencoba mengurangi intensitas pertemuan dan komunikasi nya dengan Gara agar ia terlindungi.
Atau, haruska ia meminta Gara mencari perempuan lain? Apa Itsa bisa? Atau bagaimana jika ia saja yang mencoba mendekat dengan pria lain?
Lamunan Itsa buyar saat lagi-lagi dering ponselnya berbunyi, kali ini nomor asing yang baru Itsa lihat. Di dorong rasa penasaran, Itsa mengangkat panggilan itu