THE DEEPEST SADNESS UNSAID

1.4K 97 1
                                    

Siang itu rumah sedang sangat sepi. dari subuh hari hingga kini pukul sepuluh pagi, jasmine menolak keluar kamar dan terus menangis. Itsa sudah menanyainya berkali-kali tapi tidak di jawab sama sekali. Karena melihat ibunya seolah tidak bertenaga, itsa berinisiatif untuk membuat sarapan. Dia menggoreng telur dan meletakkannya di meja bersama nasi. Pagi ini, seperti biasa sarapan mereka memang sangat sederhana. Mungkin saja ayahnya akan pulang setelah semalam entah kemana setelah berdebat dengan ibunya dia tak pulang kembali ke rumah.

Dan benar, pria tinggi dengan kulit putih itu datang tidak lama kemudian

"Ayah dari mana"? Itsa tidak mendapatkan jawabannya, mahawira bergegas pergi melewati itsa begitu saja

Bersandar pada tembok di samping pintu kamar orang tuanya, itsa tidak tau mereka membicarakan apa. Namun, tangisan kencang ibunya kembali terdengar.

Mahawira kembali keluar, ekspresi nya tak dapat itsa baca, matanya memerah entah marah atau bersedih. Itsa belum dapat mencerna situasi saat ibunya kemudian keluar dengan masih menangis.

"Kamu tega ninggalin itsa"? Usianya sudah sebelas tahun, itsa merasa dia sudah besar. Namun tiap orang tuanya bertengkar dia tidak mampu melakukan apapun.

"Aku pergi, jaga diri baik-baik" yang tidak itsa sangka, itu adalah kalimat terakhir ayahnya. Untuk selamanya. Itsa tidak mengerti dan tidak pernah diberitahu masalah apa hingga ayahnya menyerah dan meninggalkannya dengan ibu yang kemudian berusaha itsa peluk berharap ibunya tidak ikut pergi.

"Ayah jahat" itsa terisak, merasakan tangan ringkih ibunya memeluk punggungnya yang kecil.

________

Bunyi suara alarm itu membuat itsa tersentak dan langsung terbangun dari tidurnya. Akhirnya setelah satu minggu, ia bisa merasakan lagi yang namanya tidur.

Tidur yang tidak menyenangkan karena meski matanya terpejam otaknya tidak berhenti untuk berfikir. Kilasan masa lalu sewaktu ayahnya memutuskan pergi tanpa pamit menjadi mimpinya hari ini. Mungkin efek terlalu sedih dan nyaris mati karenanya tiap-tiap memejamkan mata itsa selalu memimpikan kejadian di masa lalu. Sewaktu ibunya sakit, sewaktu ibunya bahagia, sewaktu mereka bahagia, sewaktu mereka kesusahan, sewaktu mereka kelaparan, semua menjadi ingatan yang kekal di ingatan. Itsa memilih membiarkan dirinya tetap terjaga karena enggan mengungkit soal itu.

Ini sudah seminggu sejak pertemuannya dengan javier janardana. Pertemuan yang turut menghancurkan dirinya sekaligus membuka luka lama yang ia tutup serapat mungkin.

Takdir ternyata memang sekejam itu, itsa sudah berfikir mungkin ibunya telah lupa padanya dan sedang berbahagia dengan kehidupan barunya, begitu juga ayahnya, namun ternyata tidak sama sekali. Mereka justru pergi. Benar-benar pergi, dan tidak akan pernah bisa kembali.

Itsa kembali menangis, tangis yang tidak bisa itsa tahan meski ingin, tangis yang turut mengantar luka pada hatinya yang terluka, tangis yang isaknya dapat membuat pilu siapapun. Itsa lebih memilih biarkan ibunya lupa padanya, bukan malah meninggalkan nya tanpa kata dan tanpa ia tau sebabnya seperti ini.

Kenapa begitu tega?

"Sa"? Kalya terbangun mendengar lagi-lagi itsa menangis, bahkan selama seminggu berada di rumahnya yang itsa lakukan hanya menangis. Matanya sudah membengkak, itsa bahkan baru makan sekali sejak mendatanginya malam itu.

Tangisannya makin kencang dan kalya sungguh tidak tega mendengarnya

"Gue disini sa, lo gak sendiri" kalya memeluk itsa erat meski itsa sendiri hanya menangis dan tidak membalas pelukannya.

"Kita tunggu sampai lo siap dulu ya? Abis itu kita cari sabria sampai dapat" kalya sudah tau, itsa tentu menceritakan penyebab sedihnya. Ia katakan semua apa yang javier katakan padanya. Sama seperti itsa, kalya juga berfikir bahwa keluarga janardana sepertinya memang terlibat dengan kedua orang tua itsa yang sudah tiada. Termasuk juga sagara, karena pria yang terus menelpon itsa sampai itsa jengah dan menghancurkan ponselnya sendiri-- juga menghubungi kalya, memohon meminta memberitahukan keberadaan itsa. Kalya tau ia tidak boleh kasihan, namun mendengar permohonan gara yang bahkan nyaris berlutut di bawah kakinya, di bantu dewangga, kalya meminta pria itu untuk bersabar. Beberapa kali kalya membalas pesan gara dengan tidak menyembunyikan apapun. Itsa begitu rapuh dan ia jamin tidak ingin bertemu dengan siapapun. Bahkan untuk mengeluarkan suara selain isaknya saja itsa sudah tidak.

WABI-SABI✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang