Acara yang sebenarnya Itsa tidak mengerti ini memang sepertinya hanya mengundang keluarga saja. Sejauh pengamatan Itsa, tidak ada orang lain di pesta ini kecuali keluarga Janardana sendiri.
Setelah makan malam yang tidak itsa nikmati sama sekali, Gara berpamitan sebentar entah kemana karena Itsa tidak sempat bertanya. Dan Itsa sungguhan menyesal kenapa ia tidak menahan Gara untuk tetap berada di sampingnya. Semua orang ramah, kecuali Karenina mungkin. Tapi tetap saja, Itsa paham bahwa keramahan serta senyuman mereka hanya sebuah bentuk sopan santun, sebagai mana tuan rumah menyapa tamunya. Hanya sekedar itu, untuk kemudian mereka meninggalkan Itsa sendiri setelah basa-basi yang mereka lakukan sebagai pencitraan di depan Gara beberapa menit lalu.
Perempuan dengan rambutnya yang di cat berwarna coklat, dress simple namun elegan yang ia pakai. Jujur saja, Itsa memerhatikan Sabria dari tadi. Bisa di bilang, hanya Sabria yang lumayan ramah pada Itsa untuk sampai makan malam tadi selesai. Ia terlihat begitu berusaha membangun komunikasi pada Itsa yang makan dengan tidak tenang. Bagaimana bisa tenang kalau tangan Gara terus saja mengusap punggungnya tanpa khawatir di tatap semua orang di meja.
"Kamu udah coba dessert yang aku buat belum?" Itsa membulatkan matanya saat tiba-tiba saja Sabria yang ia perhatikan dari kejauhan sudah berdiri di hadapannya.
Ia menggeleng pelan, kedua tangannya bertaut memperjelas kegugupannya.
"Kamu harus coba, Gara aja suka. Mau aku ambilin?" Itsa menggeleng lagi, memasang senyum tipis yang di paksa untuk terlihat natural.
"Nanti aja ya kak, soalnya saya udah mau pulang " Itsa tidak pernah menghadiri perayaan apapun sebelumnya, itu juga mungkin menjadi faktor bagaimana Itsa bingung ingin melakukan apa disini. Jika mungkin ada Gara, Itsa setidaknya bisa punya teman untuk mengobrol meski itu juga terdengar aneh baginya. Tapi sekarang Gara, pria yang membawanya kemari justru meninggalkannya di tengah-tengah keluarganya yang Itsa berani bilang bahwa ia tak akan cocok dengan mereka.
"Loh, ini baru jam sembilan" jam sembilan bagi orang kaya tentu berbeda dengan Itsa yang tidak punya apa-apa
"Tapi besok saya harus sekolah" Sabria seolah tersadar, ia tertawa kecil sembari dengan santai memukul pelan bahu Itsa.
"Aku sampe lupa, kamu kan masih anak sekolah ya?" Tawa Sabria makin keras, tawa yang sebenarnya tidak menular pada Itsa. Rendah sekali selera humor orang kaya.
Itsa harus bilang begitu meski sekolah sekarang sedang libur. Situasi dan suasana di sekitar keluarga Janardana jujur saja tidak membuatnya nyaman. Dan untungnya, Sabria tidak menyadari kebohongannya itu
"Kok bisa sih, kamu sama Gara pacaran? Dia gak maksa kamu kan?" Nada bercanda lumayan kental di kalimat Sabria, Itsa menangkap itu. Tapi dalam posisi ini Itsa bingung harus jawab apa.
"Sabria, tolong ambilkan kaca mata mama di kamar, bisa?" Itsa tidak sempat menjawab saat Karenina mendekat pada mereka berdua
Sabria yang tadinya tertawa kini memasang wajah cemberutnya menatap sang mama yang datar saja. Maklum lah, Karenina sudah berada di usia tuanya yang dimana untuk bisa membaca dengan jelas sekarang ia memerlukan kaca mata bacanya. Meski mendengus bagai anak kecil yang di suruh ibunya, Sabria tetap beranjak dari sana setelah tersenyum sebentar pada Itsa.
Tentu itu hanya alibi, seorang Sagara Janardana, anak lelaki yang paling tidak ingin di usik apalagi diatur itu membawa seorang gadis muda belia ke kerumah keluarga. Karenina ingin menolak fakta itu, namun sepanjang pengamatannya bagaimana Gara memperlakukan Itsa dan berusaha membuatnya nyaman dapat memperjelas bahwa anaknya yang keras kepala itu serius.
Selama ini ia tau Gara memiliki banyak wanita yang hanya ia mainkan sehari dua hari, ia juga tau Gara pernah berpacaran beberapa kali, tapi sekalipun dirinya tidak pernah melihat raut wajah serius atau bahkan keberanian Gara membawa perempuan manapun kerumah termasuk wanita yang ia pilihkan sendiri untuk Gara.