YOU ARE MEDICINE

1.5K 117 0
                                    

Bertempur dengan pikiran sendiri nyatanya jauh lebih melelahkan, jauh lebih menguras tenaga. Andai saja Gara bisa melepas otaknya sejenak agar berhenti berfikir, ingin rasanya Gara menariknya keluar dari kepalanya sekarang juga.

Pria itu menunduk memijat pangkal hidungnya, matanya mulai sakit menatap laptop terlalu lama. Ia menghabiskan seharian penuh sejak beberapa hari lalu hanya di kantor saja. Sibuk dengan kisah cintanya tentu tidak membuat Gara lupa pada pekerjaannya.

Beberapa hari terlewati dengan ia yang tidak bisa melihat Itsa secara langsung dan membiarkan hatinya di landa rindu yang ia tahan sekuat tenaga. Ia juga mencoba mengerti dengan kesibukan gadis itu mengenai skripsinya. Gara turut bangga karena Itsa sekarang telah dalam tahap mengurusi skripsi nya.

Meski jaraknya jauh, komunikasi tetap selalu Gara usahakan begitu juga Itsa yang selalu membalas pesannya dan mau bercerita tentang keseharian nya.

Pintu ruangan Gara terbuka tiba-tiba, Sabria dengan gaya pakaiannya yang selalu mengikuti trend itu masuk begitu saja.

"Lo sibuk? Ada yang mau gue omongin" ucapnya yang jujur saja membuat Gara agak terkejut.

"Duduk Bia, ada apa?" Sabria menurut, ia duduk di sofa tengah ruangan kerja Gara berhadapan dengan pria itu.

"Gue gak sengaja denger papa cerita ke mama, Itsa itu____

"Iya, dia anak tante Jasmine" Gara membiarkan keheningan menyapa setelahnya. Pikirannya melayang mengingat batu nisan yang ukiran namanya Jasmine beserta tanggal lahir yang asal dan tanggal kematiannya.

"Gue mau ketemu dia kak, boleh kan?" Gara menggeleng. Gara saja belum berani berkata jujur di depan Itsa. Dimana menatap kedua mata indah gadis itu setelah fakta ini menjadikan hati Gara di penuhi rasa bersalah dan ketakutan.

"Gak sekarang Bia, Itsa belum tau kebenarannya" Gara sangat takut dengan segala kemungkinannya

"Papa ternyata tau kalau Itsa anak tante Jasmine, tapi kenapa dia baru bilang?" Pertanyaan Sabria yang juga menjadi pertanyaan Gara. Apa yang tidak bisa Eldie Janardana lakukan dengan akses dan koneksi nya yang terbentang luas?

"Mungkin karena dia pikir saya bakalan ninggalin Itsa, karena harus ikutin maunya kakek" masuk akal. Eldie sama seperti Karenina, yang berfikir Gara hanya menjadikan Itsa permainan dan akan segera di tinggalkan sebentar lagi. Tapi tidak. Gara bersyukur atas anugerah ini, di beri rasa cinta yang besar nan luas untuk Itsa adalah sebuah hal yang patut Gara syukuri.

"Lo udah ngomong sama kakek?" Gara menggeleng. Terakhir yang ia tau setelah pembicaraannya dengan Eldie beberapa waktu lalu, Javier meminta Gara menemuinya besok.

Gara cemas, ia takut tidak berhasil. Pria itu kemudian melirik Sabria yang juga menunduk ikut merasa sedih.

Beberapa tahun silam, meski pada akhirnya Sabria tidak di penjara dan kesalahannya tidak di ketahui siapapun, adiknya itu juga tidak langsung pulih dari depresi nya. Ia tetap menangis memohon dan meminta maaf pada entah siapa hingga berbulan-bulan lamanya. Gara menyaksikan bagaimana Sabria berusaha bangkit dan melawan trauma nya sendiri hingga sampai hari ini pun Sabria tidak pernah berani menyetir sendiri sejak kejadian itu. Ia selalu pakai supir kemana pun dia ingin pergi, Sabria juga jadi takut melihat darah hingga hari ini, karena masih terbayang wajah wanita yang ia tabrak bersimbah darah.

"Gue mau minta maaf sama Itsa, walaupun gue tau dia gak mungkin semudah itu maafin gue" Gara diam lagi. Gara juga pesimis ia akan di maafkan.

"Lo cinta banget sama dia ya?" Gara mengangguk tidak sampai dua detik pertanyaan itu selesai. Andai saja Gara bisa pilih, ia juga tidak mau menjalani percintaan serumit ini. Tapi dia bisa apa jika hatinya hanya menyerahkan tahta pada Ghaitsa?

"Kalau Itsa juga cinta sama lo, seharusnya dia bisa maafin lo" ucapan Sabria sedikit menyentil egonya. Tatapannya yang tadinya menunduk berubah menatap Sabria dengan tajam.

"Kalau lo di posisi Itsa, apa lo mau maafin gue? Gue adalah yang menutupi kasus itu Bia, gue yang urus pemakamannya, gue yang memalsukan semuanya sampe gak ada yang tersisa. Lo adalah Itsa yang di tinggal tanpa alasan jelas sejak kecil, lo hampir lupa rupa orang tua lo, ayah lo pergi ninggalin lo karena gak sanggup hidup miskin, di siksa dan di jadikan budak di rumah tante lo sendiri. Di remehkan tiap hari, sendirian, gak punya pegangan. lo mau maafin gue?" Paparan panjang sarkas serta bernada tajam dari Gara itu mampu membuat Sabria menangis. Bukan Gara yang punya rasa bersalah paling hebat, tapi dia.

Dia pengecut dan tidak bertanggung jawab.

"Maaf" suara Sabria nyaris tak terdengar, Gara yang emosinya tak sengaja muncul itu kemudian menghela nafas.

Ia tidak berkata apapun, hanya mendekat pada Sabria dan memeluknya hingga tangisnya reda.

__________

Itsa yang sedang begadang mengerjakan skripsinya melirik pada jam dinding di kamarnya. Pukul dua pagi, dan Itsa sampai heran siapa gerangan yang memencet bel nya?

Itsa baru akan beranjak saat dering ponselnya lebih dulu mengalihkan perhatiannya.

Sagara menelpon nya, dan Itsa yakin yang kini berdiri di hadapan pintu apartment nya adalah Gara. Mengabaikan panggilan itu, Itsa cepat-cepat keluar kamar. Ia tidak ingin membuat Gara menunggu lama

"Hai? Maaf ganggu waktu istirahat kamu" senyum Gara yang juga menampilkan raut lelah itu agak membuat Itsa iba. Gadis itu tersenyum, menyambut pelukan Gara yang perlahan membawa mereka berdua masuk ke apartment.

"Kamu kok bisa disini?" Itsa memang senang, tapi ia tau Gara bukan pria dengan pekerjaan yang ringan. Itsa khawatir Gara kelelahan.

"Rumah saya adalah kamu, saya mau kemana lagi kalo gak ke kamu?" Ucap Gara sembari membenarkan rambut Itsa yang agak berantakan

"Jauh mas, nanti kamu kecapean" Gara juga manusia, bagaimana nanti kalau dia sakit karena kelelahan bolak-balik?

"Makanya cepat lulus ya supaya kita bisa nikah dan tinggal bareng" Gara berucap ringan, tapi Itsa merasa dirinya merinding mendengar itu.

"Kamu udah janji gak akan ninggalin saya kan Kara?" Suara Gara menjadi berat, ia menatap kedua manik Itsa dan menguncinya disana, kedua tangannya masing-masing berada di pipi Itsa.

"Aku gak kemana-mana" jawaban yang memuaskan, Gara kembali memeluk Itsa di tengah ruang tamu.

"Saya sayang banget sama kamu, lebih dari apa yang bisa saya ucapkan. Kamu harus tau itu" Gara berucap tepat di telinga Itsa, mencium puncak kepala Itsa setelah kalimatnya selesai. Itsa merasa aneh. Mengapa rasanya Gara menjadi agak melankolis begini?

Tangan Itsa terangkat menyentuh wajah Gara yang kentara sekali sedang lelah, lingkar hitam di bawah mata pria itu tidak akan pernah bisa menipu.

"Kamu baik-baik aja?" Mata Gara berkaca, dan Itsa amat khawatir karenanya.

"Tidak, saya capek. Dan kamu adalah obatnya" Gara memajukan wajahnya, memangkas jarak sampai habis. Mencium Itsa pelan dan penuh perasaan.

Ia takut

Bagaimana jika Itsa pergi lagi? Karena faktanya Gara telah menyakiti gadis itu dengan cara paling sadis yang Itsa sendiri pasti tidak akan menyangka.

WABI-SABI✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang