I CAN FEEL THE PAIN

2.6K 151 3
                                    

Mendung, Itsa mendongak menatap langit kelabu yang meneteskan satu persatu-satu hujannya. Tidak deras, namun mampu membuat Itsa semakin sedih.

Tidak banyak kenangan indah, bahkan bisa dibilang Siska adalah satu-satunya orang yang paling membuat Itsa sering berfikir untuk mati. Dulu.

Dia. Wanita arogan yang tak segan memukul dan menghina Itsa telah berpulang. Itsa menatap Neysa yang bahkan tak mampu berdiri diatas kakinya sendiri. Menangis tersedu menatap proses pemakanan ibunya setelah sekian lama berjuang melawan penyakitnya.

Itsa masih punya hati, ia turut sedih meski ia sempat membenci. Air matanya turun walau tak sederas Neysa.

Sampai proses pemakaman itu tuntas, sampai satu persatu orang pergi, Neysa masih disana. Memeluk nisan ibunya dengan air mata yang tak kering.

"Nesya, sudah. Ayo pulang" om Darma kembali setelah lama menghilang, Itsa jujur saja menyimpan kesal untuk pamannya itu. Kemana dia saat-saat masa terpuruk Neysa dan Siska? Kenapa setelah semuanya selesai dengan tangis, perjuangan Siska selesai dan berakhir tidak sukses, ia baru datang. Dengan wajah tak menampakkan kesedihan dan dengan ucapan turut berduka yang seolah tak niat. Seserius itukah masalah diantara mereka? Sampai untuk meneteskan setetes air mata pun dia tidak sudi. Seolah dia lupa, separuh hidupnya ada Siska di dalamnya. Tidak adakah kenangan disana?

"Neysa ayo" Neysa menghempas kasar tangan Darma yang hendak membantunya berdiri.

"Gak usah sok peduli! Lo udah lama ninggalin kita! Kenapa sekarang lo balik lagi?!" Itsa sangat terkejut, mendengar bentakan dan cara Neysa berbicara pada ayahnya.

"Kamu tau sendiri Neysa! Papa sama mama itu udah lama enggak cocok!" Darma balas membentak, Itsa tentu tidak mengerti ada masalah apa. Ia juga tidak ingin tiba-tiba jadi sangat berbaik hati dengan ikut campur dan sok menengahi. Namun, melihat Neysa yang enggan meninggalkan makam dan mengotori bajunya dengan tanah, Itsa menjadi iba. Ia juga begitu sewaktu pertama kali mendatangi makam ibunya. Itsa bahkan berbaring disana sampai penjaga makam memaksanya pulang.

"Neysa, ayo pulang" Itsa menyahut, menatap Darma dengan tanpa minat. Tangannya terlipat di dada.

"Neysa untuk sementara tinggal sama saya" Itsa mungkin benci padanya. Mungkin hingga sampai hari ini. Namun hatinya yang memang lemah ini tidak mengijinkannya untuk tidak peduli meski dia ingin.

"Neysa biar tinggal sama saya dan___

"Gue enggak mau tinggal sama selingkuhan dan sodara tiri!" Neysa seperti ingin meraung, sudah di tinggal ibu setelah mengorbankan seluruh hartanya, ia mendapati fakta bahwa ayahnya telah hidup bahagia dan bahkan punya anak dengan selingkuhannya. Bahkan ketika dia tau dirinya menderita dan ibunya sakit parah, dia tak satu kali pun menunjukkan simpati.

"Jangan banyak omong, untuk sekarang kamu enggak ada pilihan". Memang benar, Nesya sudah tidak punya apa-apa lagi. Jika pun masih ada, apa artinya bila tanpa ibunya?

"Ayo Neysa" Itsa membungkuk, meraih tangan Neysa yang kotor karena tanah merah.

"Gue enggak mau ketemu sama lo lagi" ucap Nesya sembari menatap Darma dengan air matanya yang masih berlinang.

_________

Lo serius?

Itsa sudah di kamarnya sejak satu jam lalu, setelah mengantar Neysa istirahat. Ia membantu Neysa membersihkan dirinya, memakaikan Neysa piyamanya, dan tinggal disana hingga Neysa tertidur. Ia menolak makan kecuali segelas air.

Itsa memberitahukan itu pada Kalya melalui panggilan telepon

"Cuma untuk sementara, dia punya rumah dan sebenarnya juga punya kerjaan." Beberapa bulan lalu, Neysa di pecat dari posisinya sebagai waiters karena terlalu banyak izin dan pinjaman. Itsa tau alasannya tanpa perlu bertanya.

WABI-SABI✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang