Setelah insiden yang cukup mengguncang mental Itsa tadi, gadis itu memutuskan langsung pulang ke kostnya. Ia menangis di kamarnya seharian. Itsa merasa kesal pada entah siapa yang membuat kertas itu bisa berada di sampingnya, Itsa juga malu pada seluruh orang di kelasnya yang menatapnya seolah perbuatannya adalah yang sangat hina, Itsa juga yakin berita mengenai dirinya yang mencontek-meski tidak benar- akan tersebar hingga ke seluruh sekolah dan guru-guru yang lain. Itsa bahkan tidak berfikir untuk mencontek se buntu apapun pikirannya.
Terlebih, Gara yang membentaknya dan tidak mempercayai ucapannya semakin membuat Itsa merasa sedih. Rasanya Itsa tidak ingin kembali ke sekolah, prestasi-prestasinya yang selama ini susah payah ia pertahankan harus tercoreng hanya karena satu insiden yang bahkan Itsa bingung bagaimana mulanya.
Pintu kamar Itsa terketuk, Itsa yang masih mengenakan seragamnya dengan wajah basah karena air mata jujur saja tidak ingin bertemu siapapun lagi untuk hari ini. Itsa masih diam diatas kasurnya tanpa berniat membuka pintu saat suara Kalya terdengar dari luar. Dan memang, Itsa butuh dia. Itsa butuh mencurahkan sedihnya agar merasa lega dan Kalya adalah satu-satunya.
"Itsa!" Kalya langsung memeluknya erat, raut wajah gadis berambut cokelat itu menampilkan ekspresi khawatir yang kentara.
"Lo gak papa?" Tanyanya setelah pelukannya terlepas, Itsa menggeleng pelan. Membuka pintunya lebar-lebar untuk mempersilahkan Kalya untuk masuk tapi gadis itu hanya diam saja
"Lo gak mau masuk?" Kalya menggaruk tekuknya yang tidak gatal.
"Pak Gara boleh masuk juga kan? Kita udah izin sama bu kost kok" Kalya berkata hati-hati. Wajah terkejut Itsa menjadi respon pertama gadis itu
Tepat setelah kalimat itu selesai Gara dengan pakaian yang sama seperti terakhir kali Itsa lihat dengan memegang kresek putih entah apa isinya-muncul disamping Kalya.
"Kok bisa kesini?" Kata Itsa agak terbata, sejauh ini Gara hanya pernah sampai pada gerbang kostnya yang selalu terbuka lebar kecuali di jam sepuluh malam. Meski kostnya terbilang bebas, Itsa adalah yang paling tertutup diantara penghuni yang lain. Itsa tidak mengenal para tetangga kostnya sama sekali karena tidak pernah keluar kecuali penting.
"Tadi pak Gara minta ikut kesini, gue khawatir sama lo. Lagian lo kan gak punya hp, jadi gue harus dateng kesini kalo mau tau lo baik-baik aja atau enggak" Itsa sedikit terenyuh, Kalya memang yang paling pengertian. Itsa memang tidak memiliki ponsel sejak ponselnya itu rusak. Di jaman sekarang, harga ponsel yang katanya sudah murah tidak pernah masuk dalam hitungan Itsa. Murah versi mereka masihlah mahal bagi Itsa. Makanya meski Itsa ingin dan sangat butuh ia tetap menahan diri untuk tidak membeli ponsel. Satu-persatu karena Itsa sekarang dalam tahap menabung untuk biaya kuliahnya.
Itsa mengangguk pelan, mempersilahkan Kalya dan Gara yang masih diam masuk ke kostnya yang tidaklah luas ini. Duduk diatas karpet tebal yang Itsa beli hasil dari gaji pertamanya.
"Lo baik kan sa? Tuduhan Tiara sama Chika gak usah lo pikirin. Kan gak bener lo nyontek, jadi gak usah pusing" andai dirinya bisa seperti Kalya yang tau mana yang pantas dipikirkan mana yang sebaiknya dilupakan, saja tapi sulit bagi Itsa yang overthingking.
"Kamu belum makan kan?" Bahkan Itsa belum mengganti seragamnya, setelah keluar dari ruangan dan membentak Itsa, Gara tidak menemukan gadis itu dimana pun dan sungguh, itu membuatnya hampir frustasi. Gara kelimpungan karena seperti kata Kalya pula, Itsa tidak punya ponsel. Itu juga berarti Gara tidak bisa menghubungi Itsa semaunya, sama saat dirinya pergi dadakan beberapa minggu belakangan, Itsa tidak bisa ia kabari karena tidak punya ponsel. Ini bukan jaman dahulu kala dimana surat menyurat masih bisa diandalkan.
Itsa tidak menjawab, dalam benaknya sekarang ia berfikir apa kiranya motivasi Gara repot-repot datang untuk menemuinya? Bukannya dia marah? Bukannya dia tidak percaya dengan apa yang Itsa bilang?