Pukul sembilan malam, Itsa terbangun dari tidurnya setelah lelah sehabis latihan sedikit. Memanfaatkan waktu karena Gara pergi entah kemana. Setau Itsa hari jumat sekolah pulang cepat dan ini masih hari-hari persiapan pensi. Sebenarnya Itsa selalu ingin tanya apakah Gara punya kesibukan lain di luar selain menjadi guru? Tapi Itsa tidak berani. Apalagi sejak Gara mengakuinya sebagai pacar seminggu yang lalu, Itsa makin berusaha untuk menjauh sedikit dari Gara, meski agak susah karna Gara selalu punya cara untuk mendekatinya.
Itsa turun dari kasur, masih di kamar Gara-, pria itu menolak saat Itsa meminta untuk bertukar kamar. Itsa harusnya kesal karna Gara tidak mengijinkannya keluar. Pria itu juga benar-benar tidak mencarikannya tempat tinggal lain. Karna jujur Itsa merasa tidak baik kalau terus-terusan tinggal disini.
Itsa memandang wajahnya di cermin, mengikat rambutnya dengan karet nasi padang yang Gara beli kemarin lalu menaikkan celananya yang longgar. Lebih tepatnya celana Gara. Selama disini Itsa belum punya keberanian untuk kembali kerumah dan mengemasi atau paling tidak mengambil beberapa lembar bajunya. Jadinya, Itsa memakai baju Gara yang kebesaran di badannya, begitu juga celana pria itu yang longgar di pinggangnya.
Pria itu memang baik, sejak ada Itsa, Gara jadi mengisi kulkasnya dengan banyak makanan praktis. Gara sengaja karna tidak ingin Itsa memasak. Bukan karna takut dapurnya kenapa-kenapa, Gara memang tidak ingin membuat Itsa lelah karna mengerjakan banyak hal. Bahkan Gara meminta tukang bersih-bersih yang harusnya datang dua hari sekali kini datang hampir tiap hari saat apartment kosong.
Saking baiknya lagi, Itsa pernah hampir menangis di buatnya karna Gara membeli pakaian dalam untuknya bahkan tanpa tanya Itsa keberatan atau tidak. Itsa tentu malu, padahal Itsa sudah ada rencana untuk beli sendiri
Apartment ini besar, makanya rasa sepi dan hening cukup kental. Itsa penasaran bagaimana Gara bisa tinggal disini selama ini dalam keadaan sendiri. Apa-apa serba sendiri, jadi kalau Gara sakit bagaimana?
Itsa berdiri depan jendela besar, membukanya pelan membiarkan angin malam masuk dan membuat rambutnya yang terlepas dari ikatan beterbangan.
Itsa tidak pernah merasa setenang ini sebelumnya, sunyi sepi dan ia sendiri tanpa melakukan pekerjaan rumah atau mengerjakan tugas sekolah Nesya. Itsa merasa sangat damai dan mulai nyaman berada disini. Namun mau senyaman apapun, ia tidak bisa berada disini terus. Bagaimana kalau sampai ada yang tau? Guru di sekolah misalnya?
Itsa tersentak kecil saat merasakan Gara sudah berdiri di belakangnya, pria itu memeluk Itsa dari belakang. Sepertinya Itsa terlalu fokus melamun sampai tidak sadar Gara sudah pulang bahkan langkah kakinya tidak terdengar.
"Suka?" Itsa mengangguk dengan gugup, ia agak tidak percaya dengan dirinya yang sekarang. Rasanya baru kemarin Itsa membalas jutek gurunya ini. Kenapa sekarang Itsa malah takut bahkan untuk bergerak dan menyingkir agar Gara tidak memeluknya?
"Sejak ada kamu disini, saya jadi semangat buat pulang soalnya saya ngerasa kamu nungguin saya" iya memang benar, Itsa memang menunggunya pulang tiap hari. Tapi bukan untuk hal lain. Kecuali Itsa merasa tidak enak tidur duluan sementara pemilik kamar tempatnya tidur belum pulang
"Pak--kapan saya bisa keluar?" Gara mengeratkan pelukannya di perut Itsa, ia juga menyembunyikan wajahnya di bahu Itsa.
"Keluar gimana? Kamu mau kemana?" Suara pria itu agak teredam, Gara suka itsa. Semuanya, saat perempuan itu memakai bajunya kamarnya, bahkan sabun mandinya.
"Bau sabun saya jadi beda di kamu" Itsa sedikit menjauhkan kepalanya saat Gara malah mencium lehernya. Tidak kah Gara sadar bahwa Itsa hampir pingsan karna gugup?
Dengan nafas dan jantung yang sudah tidak bisa diajak kerja sama, Itsa melepaskan pelukan Gara lalu menjauh sedikit. Jika terus dalam posisi itu, Itsa tidak jamin dia akan tetap waras.