Selepas kepergian Disa beberapa detik lalu, Itsa masih di tempatnya. Itsa memang tau, cara Disa memperingatinya soal Gara sangatlah halus. Ia juga bahkan menjabarkan kalau mereka bersama selama di luar kota meski Itsa tidak tanya dan sebenarnya tidak ingin tau.
Mendekat pada Gara sama saja dengan melukai dirinya sendiri. Ada Karenina yang telah dengan tegas memberitahukan padanya bahwa ada yang lebih pantas untuk Gara di banding dirinya, terutama soal harta yang tak akan pernah ada habisnya untuk di bahas. Lalu Disa, gadis tinggi semampai itu juga sudah memperkenalkan diri secara sukarela kalau ia dan Gara telah bertunangan.
Siapa yang bisa di percaya?
Itsa bahkan mengumpati dirinya sendiri saat pikirannya yang kurang ajar itu justru mencari keberadaan Gara. Bukankah semalam ia sedih karena Gara bilang dia seenaknya? Bukannya Gara yang terus saja memaksakan diri untuk menembus hidupnya? Tetap saja bagi mereka Itsa yang bersalah?
Jam kerja Itsa habis beberapa jam kemudian, Una menawarkan diri untuk mengantarnya pulang tadinya. Tapi Itsa menolak karena harus singgah ke supermarket untuk membeli beberapa barang.
Sebenarnya Itsa lebih suka beli di pasar. Murah, kualitasnya juga tidak sembarang. Tapi jam delapan malam pasar sepertinya sudah tidak lengkap.
Itsa hanya berencana membeli mie instan, telur, dan mungkin beberapa camilan. Tapi tetap harus cek harga dulu.
Itsa baru akan memasukan beberapa bungkus mie instan ke keranjang belanjanya saat seseorang mencegah.
"Pak?" Gara berdiri di sampingnya, pakaian pria itu serba hitam. Kaus lengan pendek dan celana panjang. Rambutnya berantakan dan Itsa sungguh harus berhenti meneliti Gara.
"Jangan makan mie terus" katanya, mengembalikan mie itu kembali pada tempatnya.
Itsa terdiam beberapa saat, kalau tidak makan mie malam ini dia makan apa? Di kulkas kost-nya hanya tersisa air dingin dan daun seledri seingat Itsa.
"Saya mau pak, bapak kalau gak mau gak usah" kata Itsa sabar, maklumlah Gara kan orang kaya, mie instan tentu jadi pilihan terakhir jika ingin makan.
"Beli yang lain aja" Gara kemudian mengambil keranjang milik Itsa, menggantinya dengan troli menarik tangan Itsa untuk berjalan di sampingnya. Membiarkan troli di dorong oleh satu tangan.
"Gak usah pak" Itsa menghentikan Gara yang hendak memasukkan ayam ke troli.
"Kenapa? Kamu gak suka paha ayam? Mau dada ayam aja?" Pria itu menatap Itsa serius
"Saya gak mau beli apapun pak" Itsa melepaskan tangannya, menjauh dari Gara mengurungkan niatnya membeli mie instan dan telur. Ok, berarti malam ini Itsa bisa mampir ke warung nasi depan kost.
Jam segini masih buka atau tidak nanti Itsa lihat sendiri
"Belanja bahan makanan dan apapun yang kamu mau Kara, mie instan bukan makanan yang sehat buat di makan tiap hari" Gara tau-tau saja sudah menariknya memasuki area sayur dan buah
"Pak, saya tau mie instan gak sehat tapi saya mampunya cuma sampe situ" Gara mencengkram kuat trolinya, mendengar Itsa mengatakan itu dengan nada pelan seolah mencubit hatinya hingga berdarah.
"Kita beli makanan sehat dan enak buat kamu, saya juga mau makan di kost kamu besok-besok" ucap Gara ringan sembari memilah-milah brokoli
"Tapi saya_____
"Itu gunanya saya disini, kamu ikutin saya aja." Itsa memilih diam, mengikuti Gara memilah sayur dan buah, mengambil beberapa daging dan makanan siap saji seperti nugget dan sosis, bahkan membeli beberapa camilan yang kiranya Itsa suka. Gara mengambil kesimpulan itu berdasarkan apa yang Itsa pandangi. Kalau Itsa menatap sesuatu dengan lama berarti Itsa mau itu, maka dia akan memasukkannya ke troli hingga troli yang besar itu terisi penuh bahkan sangat penuh.
Gara menghabiskan hampir dua juta untuk sekali belanja, Itsa bahkan merinding menatap monitor komputer di supermarket tadi.
Itsa tadinya masih betah diam, Gara juga tidak mencoba mengajaknya bicara walaupun pria itu sesekali mengusap pipi dan dagunya, atau pria itu tiba-tiba mengusap kepalanya tanpa kata.
Itsa tau ia bodoh karena membiarkan Gara melakukan itu.
Itsa masih diam, tapi melihat Gara memutar mobilnya memasuki sebuah restoran jepang membuat Itsa mulai gelisah. Ini sudah jam sepuluh malam, walaupun besok Itsa libur, berada di luar rumah bersama Gara terlebih setelah Disa datang siang tadi membuat Itsa tidak tenang.
Tapi apa Itsa bisa melarang Gara untuk tidak turun dan makan? Pria itu pasti lapar setelah mengelilingi supermarket.
"Ayo" Gara membuka seat belt nya bersiap turun
"Saya disini aja pak" balasan Itsa itu membuat Gara menoleh cepat
"Kamu belum makan, ayo turun" Itsa menggeleng pelan, rasanya ia ingin menangis saja agar Gara kasihan dan membawanya pulang.
"Kamu gak suka makanan jepang? Ramen disini enak, sushi juga. Tetap mau cari yang lain?" Cara Gara yang membujuknya begitu halus, pria itu bicara hati-hati seolah kalimatnya dapat menyinggung Itsa.
"Saya mau pulang aja pak" Itsa menjawab pelan
"Enggak sebelum kita makan" dan Gara membalas tegas.
Menghela nafas, Itsa sedikit memiringkan badannya memberi Gara semua atensinya.
"Bapak udah habisin uang dua juta cuma buat belanja bahan makanan, makanan di dalam mahal kenapa gak______
Kalimat Itsa tidak selesai, gara sudah maju mengikis jarak diantara mereka tidak peduli Itsa berontak mendorong dadanya menjauh. Gara sekuat itu, hingga Itsa tidak mampu menggesernya seinci pun seperti sebelumnya nya. Itsa payah, ia akui itu .
"Pak___
Kalimatnya kembali terputus karena Gara hanya memberikannya jeda dua detik, tangan Gara yang berada di belakang kepalanya membuat Itsa kesulitan menjauh atau bergerak karena tangan Gara yang satunya lagi seolah mengunci badan Itsa agar tidak bergeser sedikit pun.
Pria itu rakus, meski tau Itsa begitu kaku meladeninya tapi Gara suka. Kelelahannya selama beberapa hari belakangan seolah tidak pernah terjadi. Gara ternyata hanya butuh Itsa untuk membayar seluruh lelahnya hingga tak tersisa
Gara menempelkan keningnya pada kening itsa setelah ia selesai, membiarkan itsa tetap pada posisinya dengan nafas yang memburu meraup oksigen dengan rakus.
Kedua matanya tidak lepas menatap itsa nyaris tanpa jarak, ini yang di sebut obat.
"Saya bisa kasih apapun, apapun. Uang gak lagi berharga kalau saya gagal menyakinkan kamu untuk jadi milik saya" deru nafas Gara tepat di wajah Itsa, nada suara pria itu nyaris seperti berbisik. Itsa tidak tau, apa yang salah dan apa yang menahannya sehingga ia tidak mendorong Gara menjauh?
Tapi, satu sisi Itsa ingin. Ia ingin mendengar Gara dan isi hatinya. Lupakan soal Karenina dan Disa. Apakah bisa? Apakah boleh? Boleh Itsa egois? Boleh Itsa membiarkan dirinya jatuh ke jurang bersama Gara? Apa boleh Itsa bahagia tanpa persetujuan Karenina atau Disa? Sekali saja? Itsa sudah menderita tanpa orang tuanya, apakah boleh ia menerima Gara? Karenina atau Disa tidak harus ia dengarkan bukan? Itsa mau egois, dan meski di masa depan Gara sudah bosan dan berhenti, Itsa janji akan siap dengan apapun konsekuensinya.
Itsa menangis, dan Gara dengan lembutnya menarik Itsa untuk menangis di dadanya. Tangisan Itsa seolah sebuah tanda betapa gadis itu menyimpan luka yang Gara sendiri bahkan tidak tau.
Kenapa, rasanya sulit sekali mencintai seorang Gara dengan banyaknya batasan yang ada? Itsa tau kesulitan itu. Sulit memiliki Gara, sulit mencintai pria itu. tapi Itsa sudah kalah.