Keesokan harinya, setelah insiden salah paham kemarin. Itsa memang merasa pandangan teman-temannya sedari tadi mengikutinya. Ia tau mereka semua butuh klarifikasi yang lebih jelas selain semalam di group kelas Sagara Janardana selaku pengawas di ujian kemarin sudah memberitahu bahwa kertas kemarin bukan contekan dan cctv juga menunjukkan bahwa bukan Itsa pemilik kertas tersebut. Masalah menjadi jelas, dua orang kemarin yang sempat menuduh Itsa pun telah meminta maaf atas suruhan Gara.
"Nanti libur, gue harus pulang kampung Sa" selepas ujian selesai, akan ada libur sebagai jeda untuk kemudian memasuki semester baru. Semester akhir
Mengingat sebentar lagi sekolahnya akan usai membuat perasaan Itsa menjadi tenang namun juga khawatir sekaligus.
Ia khawatir apa yang ia susun, apa yang ia rencanakan untuk masa depannya justru tidak berjalan sebagai mana mestinya. Bagaimana pun juga, sebaik apapun manusia dalam merancang tidak ada yang sempurna di muka bumi ini.
"Yaudah gak papa, biasanya juga gitu kan" tiap libur Kalya memang selalu menghabiskan masa liburnya di rumah orang tuanya. Itu pasti menyenangkan. Kadang kala Itsa iri, tapi apa yang bisa ia lakukan selain menenangkan diri?
"Lo mau ikut gak?" Itsa menggeleng, bukan satu dua kali Kalya mengajaknya. Tapi memang tidak ada kesiapan untuk Itsa melihat bagaimana menyenangkannya keluarga orang lain termasuk juga Kalya. Itsa tidak ingin iri berpadu menjadi sedih itu kembali dalam dirinya. Itsa ingin seperti Kalya dalam beberapa hal termasuk mengenai keluarga sempurna. Tapi sayang saja, Itsa tidak bisa dan Itsa tidak akan mampu.
"Apa lagi alasan lo kali ini?" kelas sedang riuh, guru pengawas belum memasuki kelas. Waktu itu digunakan para murid untuk kembali belajar termasuk Itsa dan Kalya.
"Kan gue kerja, lumayan lah gue kerja di hari libur" Kalya sebenarnya bisa saja membantu Itsa sebagai orang dalam. Tapi ia tau Itsa tidak akan suka, kalau sampai ketahuan bisa jadi Itsa akan sangat marah padanya.
"Yaudah, lo yang semangat deh nabungnya" Kalya tersenyum. Senyum yang paling tulus yang selama ini Itsa miliki dari seorang Kalya. Rencana mengenai menabung untuk kuliah memang sudah Itsa ceritakan pada Kalya.
Menit selanjutnya, guru pengawas yang mereka tunggu-tunggu masuk dengan map coklat tebal di tangannya. Ujian di mulai dengan hening dan menegangkan seperti biasanya.
___________
Pukul dua belas siang, ujian selesai dengan lancar. Itsa sedang berjalan keluar sekolah tanpa Kalya. Kalya sudah pulang lebih dulu karena di jemput kakak sepupunya yang kebetulan berkunjung. Tadinya Itsa diajak, tapi rutinitas Itsa kali ini sudah lain. Itsa sudah punya pekerjaan
"Kara" sepanjang jalan menuju halte berada memang sepi, hanya ada beberapa kendaraan yang lalu lalang
Itsa menoleh, hanya ada satu manusia seumur hidupnya yang memanggilnya dengan sebutan itu.
"Mau kemana?" Gara yang hari ini tidak terlihat sama sekali di sekolah, berdiri di hadapannya dengan penampilannya yang rapih seperti biasa.
"Pulang pak" masih ada beberapa jam sebelum ke kafe, tapi Itsa ingat ia belum membersihkan kost nya sama sekali sejak beberapa hari.
"Ayo sama saya" Itsa menahan langkahnya saat Gara mengambil lengannya untuk di genggam
Alis pria itu hampir bertaut, menatap Itsa dengan bingung
"Saya bisa naik bis pak" Itsa ingin melepaskan tangannya tapi tentu tidak semudah itu Gara membiarkan. Gara sudah bertekad akan mengganti hari-hari dimana dirinya sempat menghilang seperti kata Itsa. Ia akan menggantinya bahkan dengan yang lebih baik
"Sama saya aja Kara, gratis. Lagian saya juga mau ajak kamu makan dulu" kata Gara seolah tak ingin di bantah
"Pak___
"Kamu belum makan, saya tau" Gara memotong cepat, menarik Itsa untuk ikut dimana mobilnya berada sebelum sebuah sedan berhenti dan menghalangi jalan mereka.
"Gara?" Perempuan dengan rambut coklatnya yang ikal itu turun menghampiri Gara yang masih berusaha menahan lengan Itsa yang berusaha melepaskan diri
"Aku baru aja dari apartment kamu" Itsa merasa aneh, ia berada di tengah-tengah kedua orang dewasa dan jujur saja ia merasa tak nyaman. Bagaimana caranya ia kabur dari sini? Bis yang ia nantikan itu belum juga muncul. Lalu ia harus apa sekarang?
"Ngapain?" Nada suara Gara terdengar seperti tidak suka kalimat perempuan tadi
"Kamu lupa ya? hari ini kan kita mau fitting, makanya aku nyamperin kamu kesini" Gara menghela nafasnya berat, tadinya ia sudah lupa kenapa di ingatkan lagi?
"Kamu aja sendiri, saya sibuk" Gara kembali menarik Itsa pelan
"Kamu mau kemana? Dia siswa kamu?" Pertanyaan itu membuat Itsa menatap pada perempuan itu. Perempuan yang juga kini menatapnya penuh tanya
"Saya ada urusan" Gara kembali berhenti, ia lupa bahwa perempuan di hadapannya ini adalah orang yang keras kepala
"Apa lagi Disa?" nada jengah itu dapat Itsa tangkap juga, dan ia semakin merasa tidak nyaman.
"Pertunangan kita bakal dilakukan berdua, kamu sama aku. Masa yang sibuk persiapan cuma aku?" Disa terdengar merengek sekaligus jengkel. Dan Itsa? Apa yang baru saja ia dengar?
Pelan-pelan Itsa menatap pada Gara, menatap pria itu dengan kening mengernyit.
Gara tau Itsa sedang menatapnya, Gara juga tau rasa penasaran gadis itu pasti telah muncul. Tapi tidak sekarang, Gara akan menjelaskan tapi bukan sekarang waktu tepatnya. Tentu tidak di depan Disa
"Terserah" Gara kali ini berhasil lolos, meninggalkan Disa dan kejengkelan nya serta rasa penasarannya.
Gara membuka pintu penumpang mobilnya untuk Itsa bahkan memasangkan seat belt tanpa peduli Itsa bahkan menahan nafas karena jarak Gara terlalu dekat padanya. Hingga wangi parfum pria itu seolah hampir saja membiusnya
"Ini bukan arah kost saya pak" Itsa agak panik, dan gara di tempatnya hanya diam. Sibuk dengan kemudinya
"Pak saya harus ke kafe" Itsa mengatakannya pelan, seolah berusaha memberi Gara pengertian dengan sabar.
Itsa tau jalan ini, ia tau Gara akan membawanya ke apartment pria itu lagi.
"Harusnya saya bisa naik bis aja pak, biar bapak bisa pergi sama tunangannya bapak" ucapan Itsa membuat Gara menoleh sekilas, Gara akan benar-benar bodoh kalau sampai melakukan itu.
"Kamu cemburu?" Itsa menggeleng tegas, perempuan tadi harusnya adalah yang Gara kejar. Bukan dirinya. Ia dewasa, cantik dan terlihat berkelas. Lebih sepadan dengan Gara
"Saya gak mau ada drama disini pak, kalau sampai tunangan bapak salah paham saya gak mau tanggung jawab" Itsa sudah punya banyak masalah, menambah satu lagi sama saja dengan menambah kepusingan diri. Hidupnya sudah rumit.
"Dia bukan tunangan saya" Gara menjawab lugas, ia memang akan menegaskan soal ini tapi tidak dalam kondisi begini
"Gimana sih!?" Itsa tanpa sadar menaikan volume suaranya. Tidak kah Gara membingungkan? Satu mengaku tunangan satu lagi bilang bukan.
"Saya turun disini aja pak" tapi apapun itu, Gara dan kehidupannya adalah bukan urusannya. Pria itu sudah punya tunangan. Sebentar lagi menikah, lalu kenapa masih mendekatinya?
"Saya gak akan menikah dengan siapapun kecuali dengan kamu" kalimat Gara yang bahkan hampir tanpa nada dan tanpa menatapnya itu entah kenapa membuat Itsa berdesir. Ia tidak boleh terlena, Gara dan dirinya tidak bisa, mereka terlalu jauh dan Itsa tidaklah sepadan dengan orang seperti Gara. Itsa tau itu.