4 bulan kemudian...
Empat bulan sejak kepindahan Kalya, ini adalah kali pertama Itsa berkunjung ke tempat tinggal gadis itu. Bukan karena ia lupa, bukan juga karena tidak peduli. Mungkin terdengar klise tapi nyatanya memang Itsa tidak bisa karena ia cukup sibuk.
Menjadi karyawan sembari tetap fokus dalam merintis usaha nyatanya tidak semudah itu. Itsa terlalu menyombongkan diri dengan mengambil semua kesempatan yang ada.
Dua bulan yang lalu ia di terima di salah satu perusahaan setelah iseng mengirim surat lamaran. Namun takdir memang kadang menyebalkan. Apa-apa yang di usahakan serius tidak di dapat, namun yang di kerjakan dengan main-main dan modal penasaran malah terwujud.
Sabtu dan minggu besok adalah hari liburnya, Kalya yang marah dan memang mengetahui itu meminta-tidak lebih tepatnya ia memaksa-untuk Itsa datang ke apartemennya.
Itsa mewujudkan itu. Ini sudah pukul delapan malam saat Itsa harus debat dulu dengan Kalya yang memintanya menginap disini, sementara Itsa ingin ke hotel. Kalya pasti memang bersedia menampungnya apalagi hanya sampai besok, tapi Itsa yang tidak enak.
"Mas Arik enggak keberatan kok, dia tau lo sahabat gue. Coba aja dia marah, gue getok palanya!" Ucap Kalya menggebu, memerhatikan Itsa yang sedang membereskan barangnya bersiap pergi.
"Disini nyaman Kalya, tapi gue lebih leluasa kalo di hotel" Itsa hanya tidak terbiasa berada di sekitar Kalya dan suaminya bahkan sejak mereka masih berpacaran.
"Tapi besok lo kesini lagi kan? Enggak langsung pulang kan?" Itsa mengangguk, memeluk Kalya erat yang mengantarnya sampai di depan pintu.
"Hati-hati"
_______
Itsa menyetir lambat meski jalanan lenggang, ia tidak tau mau menjelaskan bagaimana perasaannya. Kembali kesini setelah banyak hal yang terlewati ternyata tidak membuatnya mampu terbiasa meski sudah beberapa waktu pula ia gunakan untuk memulihkan diri.
Bukankah di kota ini semuanya berawal? Dan Itsa benci pikirannya yang tak kunjung lupa.
Itsa memarkirkan mobilnya di halaman remang gerbang pemakaman. Mungkin orang lain bisa menganggapnya gila karena mengunjungi makan di malam hari. Namun apa yang bisa ia lakukan ketika rindu lagi-lagi menusuknya begitu dalam?
Itsa turun, berjalan diatas tanah merah yang lembab membiarkan sepatu putihnya kotor. Berjongkok menyentuh batu nisan yang dingin, ada bunga disana dan Itsa bukan pertama kali melihatnya, dan ia tau siapa pemiliknya. Bunga itu nampak masih segar, seperti baru di letakkan disana. Dan Itsa tidak bisa mencegah ketika jantungnya tiba-tiba berdebar. Ia memejamkan matanya sejenak, mencoba kembali menguatkan hati untuk tidak terlena dengan apapun yang berhubungan dengan masa lalu, tangannya mengambil bunga itu, melemparnya jauh dari makan sang ibu.
Itsa tidak pernah tidak menangis ketika kemari. Tentu, siapa yang akan bahagia mengunjungi makan orang tuanya, satu-satunya yang bisa ia temui karena makam sang ayah berada jauh di negeri orang. Ia mendongak menatap langit yang cerah, di hiasi banyak bintang dan bulan yang indah. Ini sudah beberapa tahun terlewat, susah ternyata berusaha melupakan saat ternyata sebagian hati tidak menginginkan, sangat sulit.
Beberapa menit melamun dan tanpa mengeluarkan sedikit pun suara meski banyak sekali hal yang ingin ia ceritakan, Itsa beranjak dari sana setelah menghela nafas panjang dan menghapus air matanya.
Ia berfikir, setelah memintanya melupakan apapun yang pernah terjadi diantara mereka, dan mengikuti kata hatinya untuk tidak menuntut apapun karena masih ada perasaan sayang, Itsa kira ia tidak akan pernah lagi melihatnya untuk sisa umurnya yang tersisa. Sampai nanti ia mati. Tapi tidak.