SOMEONE FROM THE PAST

1K 72 0
                                    

Lorong sepi dan sebenarnya minim cahaya, itsa sudah duduk di kursi panjang dekat warung yang sudah tutup ini selama lebih dari satu jam. Sendirian, diam, ada rasa sedih juga gugup yang membuat itsa bingung.

Pikirannya bertanya pada hatinya, kenapa dia harus kemari? Repot-repot membohongi sagara dengan susah untuk menemui seseorang yang sudah dan pernah membuat hatinya beberapa kali terluka.

Tapi itsa tidak tau, dia bingung. Hatinya melarang dengan keras untuk ia beranjak dari sini. Itsa menghela nafasnya panjang. Mengambil tas nya lalu mulai berjalan menuju salah satu rumah yang letaknya jauh dari jalan raya dan sedikit terpencil. Pintu tua yang catnya mulai mengelupas sejenak membuat itsa berfikir. Dulu, siska, istri dari adik ibunya hidup di rumah yang besar dan mewah dengan segala fasilitas yang ada. Sekarang, rumah kecil yang halamannya kecil dan agak kotor ini itsa perhatikan baik-baik sembari hatinya bertanya. Roda kehidupan seorang siska apakah sedang sangat di bawah?

Itsa mengetuknya pelan, menunggu sekitar sepuluh detik hingga pintu tua itu terbuka dan menampilkan siska dengan daster cokelat yang mulai usang. Itsa ingat wanita ini dulunya selalu memakai dress dan baju-baju mahal.

Mereka beradu pandang beberapa saat, itsa dapat menangkap kedua mata yang mulanya sayu itu berubah membola menatapnya.

"Itsa? Kamu tau dari mana tante tinggal disini"? Kemana nada tinggi dan bentakan itu? Kalimat-kalimat nya yang lebih sering menajam bahkan membuat itsa dapat menangis hanya karena sebuah kalimat

"Apa kabar tante"? Itsa tau suaranya terdengar serak. Ia benci siska dan kelakuannya dulu. Juga dendam pada neysa dan apa yang dia lakukan padanya di masa lalu. Namun, kenapa melihatnya kini secara langsung dengan perubahan yang ada membuat rasa iba itu muncul? Itsa ingin menghindar, tapi bagaimana? Dia juga masihlah manusia yang tidak punya kuasa mengatur kemauan hati.

"Baik, masuk" itsa menurut, ia duduk diatas lantai beralaskan tikar yang tipis. matanya tidak bisa ia tahan untuk tidak memandangi sekitarnya

Ruangan yang tidak seberapa luas ini kosong, tidak ada barang atau bahkan hiasan dinding apapun. Hanya ada tikar ini.

"Kamu mau minum? Tapi tante cuma ada air putih" itsa hampir meringis, mendengar siska berbicara lembut ternyata membuat hatinya merasa aneh.

"Gak usah tante, aku cuma sebentar kok" jika bukan karena kemanusiaan, mungkin itsa tidak akan berada disini.

"Aku denger, om darma di PHK dari kantornya" siska mengangguk lemah, mengingat kembali awal dari berubahnya nasibnya.

"Terus sekarang dia dimana"? Siska menggeleng kali ini, jari-jari tangannya saling bertautan diatas pangkuan

"Tante gak tau sa, om kamu pergi. mungkin sekarang udah bahagia sama selingkuhannya" itsa memejamkan sejenak matanya mendengar itu. Itsa pernah mendengar isu itu dan pernah terkena imbas pula.

"Kamu sendiri kok bisa disini? Selama ini kamu ternyata menetap disini"? Itsa mengangguk, mari kita percepat saja karena itsa juga enggan berlama-lama. Ia tidak datang untuk nostalgia. Ia tidak datang hendak mengenang masa-masa hidupnya yang berat di masa lampau.

"Tante, neysa bilang harusnya tante masih di rawat di rumah sakit. Harusnya tante gak pulang sebelum dokter suruh" ucapan itsa dalam satu tarikan nafas namun bernada pelan itu membuat siska terdiam beberapa sekon.

"Kamu ketemu neysa"? Dan itsa mengangguk menjawabnya

"Itsa, seperti yang kamu lihat. Sekarang tante gak punya apa-apa" ekspresi sedih dari siska membuat itsa mengerti.

"Bahkan untuk makan sehari-hari aja, harus tunggu neysa pulang dulu. Neysa sekarang kerja, gajinya kecil. Kalau tante tetap di rawat tante khawatir kita gak bisa bayar" oleh sebab itu, siska memilih tidak melanjutkan. Para dokter pun sudah mengingatkan padanya untuk sebaiknya tidak menetap jika biaya belum di lunasi. Tidak akan ada tindakan pengobatan apapun jika biaya belum di bayar. Siska yang sebenarnya sudah tidak tega dan merasa sangat menyulitkan neysa memilih mengalah. Meski anaknya itu mengaku mampu dan akan berusaha, bagaimana siska bisa percaya kalau kerjanya saja hanya cukup untuk bayar sewa kontrakan dan makan sehari-hari?

"Tapi tante sakit, harusnya tante masih di sana" siska mengangguk pelan, tapi dia harus bagaimana kalau memang tidak mampu? Dia juga mau sembuh, tapi juga tidak ingin memaksa neysa. Melihat itsa kini dengan rasa peduli bahkan mau mendatangi dan duduk dirumahnya yang kecil sebenarnya membuat siska tidak menyangka. Harusnya anak itu tertawa karena melihat karma sedang memberinya hukuman.

"Kalau gitu biar aku yang bayar, tante harus sembuh karena neysa gak punya siapa-siapa selain tante" melihat siska terdiam tak mampu menjawab atau memberi sanggahan membuat itsa gatal ingin to the point. Harusnya di awal basa-basi itu memang tidak usah.

Siska sudah amat terkejut membuka pintu dan mendapati itsa di baliknya, namun kali ini kejutan itu jauh lebih hebat dari yang tadi.

"Itsa___

"Aku ngelakuin ini karena kasihan, bukan karena aku peduli. Kalau tante lupa, aku dulu menderita juga karena tante" mata itsa berkaca mengucapkannya. Itu benar kan? Ia nikmati ekspresi terkejut siska di depannya dengan seksama.

"Kamu gak perlu____

"Tante dulu pernah suruh aku bayar biaya selama aku numpang sama tante. Anggap aja ini adalah bayaran yang tante maksud waktu itu" itsa kembali memotong, ia tidak akan berusaha lebih jika siska kembali menolaknya kali ini.

"Maafin tante itsa" dan yang itsa dapati, siska kini menangis keras dengan menumpukkan kepalanya pada pangkuan itsa.

Tangis yang agaknya semakin membuat itsa iba. Dulu, ia sering berfikir akan membalas perbuatan siska. Ia pernah berfikir akan memperlihatkan pada siska bagaimana kelak ia akan bangkit meski pikiran itu hanya ia simpan untuk dirinya sendiri. Lalu kenapa, kenapa sekarang ia malah tidak peduli soal itu?

________

Gara yang sudah di beritahu sandi apartment itsa kini bisa langsung masuk begitu saja tanpa perlu menunggu seperti dulu. Dimana waktu tunggu yang tidak seberapa itu tetap saja membuatnya tidak sabar ingin cepat-cepat melihat wajah cantik penguasa hatinya.

"Hai" ucap gara membuat itsa yang sedang menata meja makan membalasnya dengan senyum lebar. Pria itu mendekat, memeluk itsa sembari menciumi keningnya beberapa kali. Seolah mereka tidak bertemu di waktu yang sangat lama.

Itsa memasak sendiri untuk makan malamnya dan gara. Makan malam yang di isi dengan saling bertukar cerita, namun itsa memilih tidak menceritakan soal siska atau neysa.

Selepas makan, gara menarik pelan itsa untuk duduk di sofa seperti biasa. Tv menyala dengan volume kecil. Menampilkan tayangan yang itsa tidak tau judulnya.

"Besok kamu ikut saya mau kan"? Gara memang sudah memberitahunya soal rencana yang katanya ingin mengajaknya ke suatu tempat. Itsa mengangguk mengiyakan kepalanya ia rebahkan di dada gara yang kini sedang mengusap lembut rambutnya.

"Kalau butuh bantuan soal skripsi, kamu bisa tanya saya" itsa sempat berfikir kesana. Tapi sejauh ini ternyata ia bisa.

Itsa tidak menjawab, usapan tangan gara di kepalanya membuat matanya menjadi mengantuk. Jam dinding masih menunjuk pukul delapan kurang,tapi kantuknya sudah datang.

Belakangan memang sering terjadi karena gara membuatnya begitu nyaman.

Hening sejenak mengambil alih, gara mencium kepala itsa membuat gadis itu mendongak.

"Aku ngantuk" ucapnya, yang membuat gara tersenyum dan kembali mencium gadis itu. Gadis yang sudah membuatnya bersumpah untuk tidak kemana-mana.

"Saya mau minta satu hal, boleh"? Itsa menormalkan posisinya, mengangguk saja karena terlalu mengantuk untuk menjawab

"Jangan tinggalin saya Ghaitsa, apapun yang terjadi"

WABI-SABI✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang