Jam dua siang di Jouska selalu padat pengunjung. Seperti siang-siang biasanya, lokasi strategis Jouska yang terletak dekat perkantoran membuat pelanggan rata-rata berasal dari sana.
Maka tidak heran pula jika Itsa dan Kalya mengenal beberapa dari mereka. Salah satunya Belinda. Karyawan kantor seberang berusia dua puluh lima tahun yang sangat menyukai matcha latte buatan barista milik Jouska.
Seperti tiap kali dia datang, Kalya dan Itsa selalu menjadi sasaran empuk untuk gadis berambut kecoklatan itu untuk mendengarkan ceritanya.
"Dia jarang sih ke kantor, hampir gak pernah malah. Tapi belakangan ini dia beberapa kali mampir karena bakal gantiin CEO sebelumnya" seperti yang telah Kalya dan Itsa ketahui, Belinda dan jatuh cinta rahasianya pada salah satu pria di kantornya. Calon bos yang di gadang-gadang akan segera menjabat.
"Dia emang seganteng itu ya?" Kalya yang sudah hampir jengah mendengar Belinda dan ceritanya yang sama sejak setahun belakangan ini memang juga penasaran akan paras si pria yang kalau kata Belinda sangat tampan.
"Kalo dia gak ganteng, gue kayaknya gak bakalan suka sampai hampir dua tahun ini. Mana liatnya juga cuma sesekali" kata Belinda mengaduk asal matcha latte nya yang sisa sedikit.
"Berarti ngomong langsung juga gak pernah?" Tanya Itsa kali ini. Ia menopang dagu mendengarkan dengan seksama curhatan Belinda yang katanya akhir-akhir ini pujaan hatinya sedang sering berkunjung.
"Ya elah sa! Gue cuma kacung disana, gak ada pekerjaan yang berhubungan langsung sama doi" Itsa dan Kalya menganggukkan kepalanya.
"Siapa tau dia dari luar ganteng banget ternyata pas ngomong mulutnya bau lo masih doyan?" Pertanyaan kalya itu membuat Itsa terbahak, Belinda sendiri malah mendelik tajam pada Kalya yang duduk di depannya.
"Ya gak mungkin lah!" Sanggahnya cepat, meski kemudian dia tertawa
"Atau jangan-jangan dia udah punya istri lagi" Itsa mengangguk semangat mendengar Kalya. Pria seusianya harusnya sudah punya rumah tangga setau Itsa.
"Gak ada cincin tuh di jarinya" jawab Belinda lagi, ia kemudian mengangkat tangannya bermaksud meminta Kalya untuk berhenti melanjutkan kalimatnya.
"Lo berdua gak usah sembarangan deh, kalo ketemu juga kalian pasti suka!" Belinda menggebu, apalagi ia tau pesona pria ini sulit untuk diabaikan.
"Sorry deh, pacar gue juga ok" Kalya mengangkat bahunya cuek, Itsa sendiri yang mulai bosan hanya menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi.
Menoleh menatap pintu masuk yang terbuka, segerombolan pria dengan jasnya yang mengkilap dan rapi masuk. Itsa sudah mengalihkan pandangannya saat pekikan tertahan dari Belinda membuatnya penasaran.
"Kenapa lo?!" Kalya lebih dulu menegur, untungnya Jouska sudah tidak terlalu ramai. Hanya beberapa meja saja yang terisi
"Lo penasaran kan dia seganteng apa, itu dia disana?!" Belinda begitu antusias menunjuk salah satu pria di segerombolan pria tadi. Itsa ikut menoleh, matanya menjelajah memandangi mereka satu persatu saat kemudian netranya membulat begitu bertemu pandang dengan seseorang yang sangat ia kenal dan mungkin tidak akan pernah Itsa lupakan.
"Sa?" Kalya yang juga menyadari keberadaan Gara disana secara refleks memegang lengan Itsa.
Menghiraukan tatapan Kalya yang mulai khawatir, Itsa beralih pada Belinda yang kini tersenyum menatap kearah sana.
"Cowok yang lo suka, Sagara Janardana?" Suara Itsa memelan, hati dan otaknya seolah mempersiapkan diri untuk apapun yang akan terjadi.
"Dia siapa? Lo lupa ya gue kan pernah bilang namanya pak kaisar!" Entah mengapa Itsa tidak suka perasaan lega yang menghampirinya. Iya benar? Kenapa ia lupa? Dan kenapa juga takdir kembali membawa Gara padanya? Boleh tidak Itsa marah?
Itsa tidak menanggapi lagi, tidak juga penasaran atau menoleh mencari siapa sosok Kaisar yang di maksud Belinda, yang sudah gadis itu sukai dua tahun belakangan. Yang ada dipikiran Itsa sekarang hanya pergi, pergi sejauh mungkin dimana Gara harusnya tidak menemukannya.
"Gue sama Itsa duluan ya, ada urusan" sementara Itsa membereskan barang-barangnya, Kalya terdengar mengambil alih acara pamitnya pada Belinda yang merengek kemudian.
"Ya kok gitu sih! Lo katanya penasaran!" Itsa dengan nafasnya yang mulai memburu, dengan rasa takut yang mulai menyebalkan, serta rasa khawatir yang berusaha ia cegah agar tidak menguasai pikirannya-,menatap pada Belinda
"Lain kali ya kak, kita harus pergi" meski Belinda sedikit curiga dan tidak rela di tinggalkan sendiri, ia tetap mengangguk membiarkan Kalya dan Itsa pergi dari sana.
Entahlah, Itsa tidak tau mau menjelaskan perasaannya bagaimana. Ada rasa takut mendapati Gara berada disini, terlebih menginjakkan kaki di Jouska.
"Lo gak papa?" Kalya yang sedang menyetir menatap sekilas Itsa yang terdiam.
"Agak kaget" sebenarnya Itsa juga belum menceritakan pada Kalya soal pertemuan pertama dengan Gara waktu itu. Ia kira, itu benar-benar pertemuan terakhir pula. Di luasnya bandung, kenapa harus ada Gara juga? Kenapa Itsa merasa usahanya menjauh dari pria itu malah sia-sia?
Gara tidak mungkin mencarinya kan? Dia orang kaya dengan perusahaan sana-sini termasuk mungkin juga bandung. Pria itu boleh kemari kapan saja karena memang tidak ada larangan. Namun, kenapa Itsa harus tau dan bertemu?
"Dia ngapain sih disini, emang gak ada kota lain apa?!" Kalya ikutan sebal, ia saksi bagaimana Itsa malam itu meminta bantuannya sambil menangis dan putus asa. Itsa bahkan tidak menangis sekencang itu sesulit apapun hidupnya. tapi pada Gara, Itsa seolah membiarkan dirinya merasakan sakit yang hebat.
Lalu semudah ini Gara berada di antara mereka?
"Tenang sa, seperti dugaan lo selama ini, harusnya pak Gara benci lo dan seharusnya dia udah bahagia sama keluarganya" Itsa memejamkan matanya, kepalanya mengangguk mengiyakan ucapan Kalya. Terus mengulang dalam hati dan pikirannya bahwa Gara sudah punya hidupnya sendiri
"Udah deh Kal, semoga ini yang terakhir" Kalya mengangguk setuju, kembali fokus pada jalanan di depannya.
__________
"Permisi pak, ini dokumen yang bapak minta" Gara menerimanya tanpa kata, memberi isyarat agar asisten pribadi nya itu boleh pergi dari ruangannya
Ia membuka map berwarna biru itu, membaca isinya dengan teliti.
Itsa disini.
Dengan senyum tipisnya, Gara menyimpan setiap informasi itu dalam memorinya. Tempat tinggal serta alamat kampus Itsa sudah ada di tangannya.
Percayalah, satu-satunya hal yang menahannya untuk tidak segera menarik Itsa bersamanya adalah karena orang-orang di sekitarnya. Orang-orang yang bisa jadi mata dan telinga untuk keluarganya. Gara tidak ingin mengulang kesalahan yang sama dengan membiarkan keluarganya ikut campur.
Harusnya dari awal ia tidak perlu membawa Itsa ke tengah keluarganya terutama pastinya Karenina. Andai waktu itu Gara lekas membereskan masalah pertunangan sialan itu, Itsa pasti masih berada di sampingnya sekarang.
Tapi penderitaan dan hari-hari suramnya itu akan segera berakhir dan Gara pastikan itu. Tentunya Gara sudah tidak perlu mengonsumsi alkohol sampai tidak sadar atau puluhan batang rokok untuk membuat pikirannya lupa pada Itsa.
Gadis itu, miliknya. Sebentar lagi akan kembali padanya.