Perihal lomba nyanyi itu, ya seperti dugaan Kalya. Itsa menang. Itsa keluar sebagai pemenang dan Kalya amat sangat bahagia melihat itu. Meskipun tadi sempat ada kendala karena selepas bernyanyi Itsa pergi entah kemana.
"Lo jadi ngambil kost yang itu?" Setelah acara selesai, Itsa memilih langsung pulang dan membereskan barangnya dari tempat Kalya. Kost yang Itsa pilih sebenarnya agak membuat Kalya khawatir. Jaraknya tidak jauh dari sekolah atau tempat kerja Itsa nanti. Tapi mungkin karena harganya terbilang murah, kost itu di gabung. Lantai satu diisi pria lantai dua diisi wanita. Ada dapur umum, Kalya khawatir Itsa akan kesulitan makan dan masak karena Itsa orangnya pemalu. Kost itu agak lebih bebas dari kost Kalya yang ketat akan peraturan dan keamanan.
Melihat Kalya terdiam dengan menatap barang-barang yang sedang ia bereskan, Itsa tersenyum tipis. Ia tau berat bagi Kalya untuk melepasnya pergi.
"Gue bakal baik-baik aja kok Kalya" sebagai sahabat yang tau betul kisah hidup Itsa, Kalya ingin berguna. Ia ingin membantu, tapi mau bagaimana caranya kalau Itsa saja menolak karena merasa merepotkan?
"Lo tinggal disini aja kenapa sih, gak papa juga sama bu kos" Itsa memang mau dan mungkin akan lebih mudah jika seperti itu. Tapi rasanya, Itsa sudah terlalu banyak merepotkan. Kalya sudah terlalu sering ia mintai bantuan, meski Itsa tau kalya tidak keberatan. Tapi tetap saja, sebagai manusia pun Itsa harus tau diri.
"Biarin gue mandiri dong Kalya" Itsa berbicara dengan nada bercanda, kenapa situasi ini jadi terasa berat? Padahal Itsa yakin ia bisa, Itsa optimis ia bisa. Apalagi sebentar lagi ia akan bekerja, mulai mencari uang untuk dirinya sendiri dan itu tidak buruk.
"Selama ini lo kurang mandiri gimana?" Itsa tertawa kecil mendengarnya, kalau begitu anggap saja ini adalah babak baru dan hidup baru bagi Itsa.
"Kalo ada apa-apa lo jangan lupa kasih tau gue" mengingat Itsa terlampau sering sok kuat dan sok tegar menghadapi masalahnya sendiri, Kalya jadi harus selalu cerewet. Mengingatkan Itsa bahwa disini, di dunia ini masih ada dirinya yang akan selalu ada jika saja Itsa butuh.
"Iya"
-----------
Beberapa hari setelah acara pensi, sekolah sudah kembali normal. Belajar mengajar sudah berjalan seperti biasanya. Sejak dari apartment bahkan hingga sekarang Gara berjalan menuju kelas Itsa berada, senyum belum sirna dari wajahnya. Meski Gara sendiri tidak sadar kalau telah memikat beberapa muridnya yang ia lewati.
Gara sangat bersemangat untuk bertemu Itsa hari ini mengingat saat di rooftop hari itu Itsa membalas pelukannya. Membuat Gara berfikir bahwa Itsa sudah membaik. Ia sudah menerima Gara.
Dua hari juga, Gara sempat tidak datang ke sekolah karena urusan pekerjaannya yang lain, dimana itu sempat membuat Gara kesal karna tidak bisa di tunda.
Seperti biasanya saat memasuki kelas, Gara tidak pernah mengucapkan sapaan selamat pagi atau lainnya. Ia akan tiba-tiba saja membuka pintu dan membuat kelas yang tadinya riuh ramai bagai pasar ikan menjadi hening seperti kelas kosong.
Gara melirik pada bangku dimana Itsa duduk, ia tersenyum tipis meski Itsa hanya memandangnya sekilas.
Kelas di mulai dengan Gara yang tiba-tiba memberi ulangan dadakan bermodalkan materi minggu lalu yang meski Gara tau muridnya dongkol setengah mati karena ulahnya yang menyebalkan di pagi hari, dan meski ia tau Itsa pun sempat memandangnya jengkel, Gara tetap akan profesional. Ia tetap guru yang memang hobi memberi ulangan. Lagi pula mereka semua di bayar dengan nilai. Sekalian saja anggap ini sebagai olahraga otak.
"Itsa, tolong bantu saya" Itsa memandang ke depan kelas dimana Gara duduk disana, ia memang terlihat kesulitan membawa banyak barang. Laptop, buku tebal yang entah apa, kamus, dan sekarang ada buku tugasnya dan teman-temannya yang lain. Yang akan Gara periksa di ruang guru karena waktu mengajarnya sudah habis.
"Saya aja pak yang bantuin" Ani, murid perempuan yang sudah berulang kali dapat teguran karena warna lipstik yang ia pakai terlalu cerah dan mencolok-, peraturan sekolah, mereka boleh berdandan selama masih dalam batas wajar sekolah. Tapi Ani yang memang pemberani karena adalah anak ketua yayasan santai saja dengan peraturan itu.
Di tempatnya, Itsa bersyukur karena Ani dengan senang hati kini melangkah kearah Gara.
Gara memandang Ani dengan datar, seragamnya yang ketat itu membuatnya sedikit risih. Bukan terpesona apalagi jatuh cinta pada riasannya, Gara rasanya sakit kepala dan hampir jijik melihat siswi SMA berpenampilan begini.
Tapi Gara tidak punya kuasa dan sebenarnya malas ikut campur. Biarkan Ani dan penampilannya menjadi urusan guru BP. Mengenai bantuan tadi, Gara sebenarnya mau Itsa, ia belum menyapa Itsa sejak dua hari lalu. Tidak juga menghubungi Itsa karena gadis itu tidak punya ponsel
"Ini yang saya bawa pak?" Suara Ani menyadarkan Gara, ia mengangguk saja dan berjalan lebih dulu meninggalkan Ani dan buku tugas yang banyak itu. Gara pun harus memahami kondisi Itsa, jangan sampai Itsa merasa tidak nyaman atau murid-murid akan curiga mereka punya hubungan, meski sebenarnya Gara tidak menjadikan itu masalah.
-------------
Itsa sudah duduk manis di halte yang lumayan jauh dari sekolah, hari ini adalah hari pertamanya bekerja. Kata sepupu Kalya, ia hanya akan bekerja pada pukul lima sore hingga sebelas malam dimana itu berarti Itsa masih punya waktu setengah jam untuk siap-siap.
Tadinya Kalya ingin mengantar tapi Itsa mencegah karena hari ini Kalya kedatangan kakaknya. Daripada menemani itsa, Kalya lebih baik menemani kakaknya saja. Meski Kalya tadi sempat menolak
"Ah sial!" Itsa berkata pelan saat melihat mobil Gara mendekat dan berhenti tepat di hadapannya. Sekolah jauh dari sini, Itsa tidak perlu khawatir akan di lihat oleh murid lain. Tapi tetap saja ini tidak bagus.
"Ayo naik, saya antar pulang. Tapi sebelum itu kita makan dulu ya? Saya lapar" Itsa memandang Gara dengan kening mengernyit. Gara bersikap seolah mereka akrab sekali
"Makasih pak, saya mau pulang sendiri aja" senyum Gara luntur, jadi ternyata yang merasa hubungan mereka telah membaik hanya dia saja.
"Saya antar, saya perlu tau kamu tinggal dimana" suara Gara menegas, meminta hatinya untuk lebih bersabar lagi.
"Kenapa perlu?" Alis Itsa terangkat, bahkan wali kelasnya saja tidak se-kepo Gara soal tempat tinggalnya.
"Saya harus tau pacar saya tinggal dimana" Itsa terdiam, apa-apaan Gara ini? Pacar apa?
Itsa menghela nafas lalu berdiri, bis yang ia tunggu sudah tiba dan Itsa jadi lega karena akan segera pergi dari sini. Itsa naik kedalam bis tanpa pamit ataupun menoleh pada Gara sedikitpun. Gara hanyalah gurunya, ia tidak berhak tau mengenai kehidupan pribadi Itsa atau apa yang terjadi disana.
Itsa tidak ingin terlalu percaya diri menganggap bahwa Gara serius menyukainya. Maka itu pula yang membuat Itsa harus memberi jarak antara dirinya dan Gara.
Yang Itsa tidak tau, Gara mengikutinya. Dengan tangan yang mengepal dan sesekali memukul stir melampiaskan amarahnya, Gara mengikuti bis yang di tumpangi Itsa.
Gara tidak akan menyerah hanya karena penolakan kecil dari Itsa, hanya karena sikap acuh Itsa yang seperti tidak melihat keberadaannya. Mengingatnya membuat amarah Gara terasa bertambah. Ini adalah konsekuensi, menyukai remaja labil seperti Itsa memang harus dengan kesabaran ekstra.
Gara mengernyit saat Itsa turun lalu berjalan sedikit untuk memasuki sebuah kafe. Gara yakin Itsa tidak kesana untuk bersenang-senang karena itu bukan gayanya. Gara memarkirkan mobilnya lalu turun dan segera masuk kedalam kafe tempat Itsa berada.
Nuansa kafe ini bukan seperti kafe-kafe yang sering Gara datangi, ini lebih ramai dan lebih berisik. Pengunjung sejauh mata Gara memandang dominan pria yang mungkin masih kuliah, seumuran dengannya, dan bahkan lebih tua darinya.
Itsa sedang apa disini?
Pertanyaan itu terjawab saat Gara yang memilih duduk di salah satu kursi menangkap kehadiran Itsa yang telah mengganti seragamnya dengan baju yang sama seperti yang dikenakan pelayan di depannya yang kini sedang menunggu Gara memesan.
Apa-apaan ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
WABI-SABI✓
Literatura Femininamenemukan keindahan dalam ketidaksempurnaan hidup