I'M THE ONE TO BLAME

1.5K 106 0
                                    

Itsa lupa sudah berapa lama ia berkabung dan membiarkan pipinya tidak pernah kering. Ada banyak hal yang sudah ia tinggalkan, ia tidak ingin kembali, tapi dia harus. Ada banyak hal yang perlu di selesaikan.

Itsa akhirnya memutuskan memaksa dirinya untuk tegar. Apa yang bisa di salahkan dan di sesalkan dari ini? Itsa bahkan tidak punya kesempatan untuk sekedar melihat jasad kedua orangtuanya. Apa juga yang ia bisa selain menangis?

Ia juga tidak pernah menyangka bahwa sekejam ini takdirnya, entah akan di jadikan apa atau akan dibawa kemana atau kebahagian apa yang sedang ingin ia raih hingga itsa perlu sedemikian tersiksa dan sedihnya. Itsa tidak lapang menerima semuanya namun juga tidak punya jalan untuk menghindar.

______

Itsa baru saja selesai menemui dosen pembimbingnya, syukurnya ia memaklumi alasan yang itsa tidak tutupi sama sekali. Bukan bermaksud untuk di kasihani tapi agar itsa bisa punya sekali lagi kesempatan dan tidak akan ia sia-siakan.

Skripsinya sebentar lagi akan rampung dan ia akan selesai. Itsa masihlah sedih bahkan sangat sedih, tapi meninggalkan semuanya begitu saja apa-apa yang dulunya juga ia mulai dengan susah juga bukan hal yang di benarkan.

Gadis itu kembali ke apartment nya setelah sangat lama tinggal bersama kalya, tidak ada yang berubah sejak terakhir kali ia tinggalkan. Ia berjalan menuju dapur, berhenti dan terdiam menatap kulkasnya yang penuh dengan tempelan note-note yang dengan rasa penasaran itsa baca satu persatu.

Kalau sudah membaik, mari kita bicara kara

Saya tau dan saya mengerti saya gak lagi pantas untuk muncul di depan kamu. Tapi saya mohon kara, kasi saya kesempatan.

Kara, kamu janji gak akan pergi dari saya. Tepati janji kamu

Maaf, untuk apa-apa yang menimpa kamu karena saya dan keluarga saya.

Kara, saya berdosa. Tapi sekali lagi kara. Saya masih bisa berjuang sekali lagi saya masih ingin mencintai kamu berkali-kali.

Tangis yang itsa pikir sudah selesai, nyatanya air matanya kembali luruh. Itsa tidak sanggup membaca note-note lain yang masih tersisa, mencabutnya kasar dan membuangnya ke lantai.

Itsa bahkan bingung, untuk apa maaf gara? Dan seolah semuanya bersangkutan, itsa ingat gara memang berkali-kali memintanya untuk tidak meninggalkan pria itu.

Tapi bagaimana mungkin? Bagaimana bisa itsa akan hidup bahagia dengan orang yang berhubungan dengan kepergian orangtuanya?

Terlalu lama menangis membuat tenaganya terkuras lumayan cepat dari biasanya, itsa memungut kembali kertas-kertas berserakan itu dan membuangnya ke tempat sampah saat bel apartment nya berbunyi. Berfikir itu adalah kalya karena memang gadis itu akan menginap disini, nyatanya ketika membuka pintu dan mendapati sabria janardana berdiri di depannya membuat itsa membeku beberapa sekon.

"Maaf, aku datang tiba-tiba" karena rasanya, kesabarannya sudah habis. Sabria tidak lagi bisa menunggu seperti apa yang sagara minta.

Itsa ternyata tidak perlu repot-repot mencari keberadaannya,  ia muncul dan datang dengan sendirinya. Itsa tidak akan pura-pura. Memang ini yang ia inginkan meski tidak pernah siap.

"Masuk" kata itsa pelan membiarkan sabria mengikutinya dan duduk berhadapan di ruang tamunya.

Mereka saling diam untuk jangka waktu yang lumayan lama, itsa juga menyadari gugupnya sabria. Gadis itu mencengkram dan meremas roknya sedari tadi.

"Itsa, aku adalah yang paling bersalah dari semua yang terlibat" itsa mendengarkan, dan sabria amat kesusahan mengatur nafas dan memilah kalimatnya.

Depresi dan ketakutannya yang berlebihan sejak insiden itu belum benar-benar hilang darinya.

"Aku gak pernah tau kalau orang itu adalah istri om Wira dan kamu adalah anak dari mereka berdua" sabria mulai merasa telapak tangannya banjir keringat, sama seperti wajahnya. Namun biarkan, sabria membiarkan air matanya turun sangat deras meski kalimatnya bahkan belum selesai.

"Malam itu, sehabis pulang dari rumah teman..aku sadar aku terlalu sombong sama mobil ku yang baru.Jalan itu sepi, aku gak berfikir masih ada orang di jam itu" itsa merasa gemetar, degup jantungnya yang menggila rasanya makin memperjelas betapa takutnya ia pada faktanya.

"Dia..tante jasmine, lari. Aku gak tau dia dari mana tapi dia lari dan aku nabrak dia sampe terpental jauh" itsa menangis, ia mengepalkan tangannya menahan apapun yang ia rasakan.

"Aku yang salah itsa, lebih dari kak sagara. Kak sagara di paksa. Aku juga yang memohon ke dia" sabria melihat perubahan amat besar pada gara, ia mundur dan meminta karenina dan eldie menghapus namanya dari ahli waris untuk saham dan perusahaan apapun milik keluarga, hidup tidak teratur dan sangat tidak sehat, gara hanya kerja kerja dan kerja sampai ia sakit namun menolak di rawat. Kedua kakaknya bahkan sudah turun tangan menasehati gara, namun tidak ada yang berhasil. Gara makin tidak bisa di sentuh, bahkan makan saja gara sepertinya tidak. Sabria merasa bersalah, ia khawatir gara kenapa-kenapa.

"Itsa, kamu gak akan maafin aku dan aku gak pantas dapat maaf kamu, tapi tolong. kak sagara sangat mencintai kamu. Aku adalah satu-satunya yang patut di salahkan, dulu aku bisa menghindar, sekarang mungkin juga. Tapi aku gak akan lari, kamu boleh hukum aku sebagaimana mestinya, tapi tolong, tolong jangan ka sagara" sabria menangis kencang, itsa juga sedang sibuk menunduk menghentikan tangisannya. Ada amarah yang begitu besar namun seakan tertutupi oleh sedihnya hatinya kini. Sedikit sekali momen yang ia punya dengan kedua orang tuanya dan sekejam ini alasan dibaliknya. Itsa bisa apa selain tidak terima? Lapang dada? Terdengar sangat bijaksana, tapi itsa tidak mampu meski ia ingin.

"Pergi kamu dari sini" ucap itsa sembari berdiri dari duduknya. namun ia tidak mengerti kenapa  sabria sesak nafas, wajahnya berkeringat dan sekarang ia jatuh ke lantai. Itsa ingin tidak peduli, tapi melihat sabria begitu sulit sekedar untuk bernafas, itsa mengutuk dirinya yang iba. Ia mendekat pada sabria dan memegang bahunya.

"Kamu kenapa? Ada yang sakit"? Itsa bertanya pelan, menyingkirkan rambut sabria yang menghalangi wajah sabria yang menunduk memegang dadanya.

Itsa tidak tau harus melakukan apa, sabria makin sesak. Melihat tas miliknya tergeletak, itsa mengambilnya dan mencari ponsel sabria disana. Nomor darurat yang tertera disana adalah nomor milik sagara dan eldie janardana. Itsa tentu tidak mungkin berbicara dengan eldie dalam kondisi apapun, maka tidak ada pilihan lain. Itsa terpaksa mendial nomor telpon gara.

Dering panjang yang hampir selesai, butuh waktu lama untuk gara mengangkat telponnya dan itsa makin di landa panik.

Kenapa sabria saya sibuk

Itsa terdiam beberapa detik, sudah berapa lama ia tidak mendengar suaranya? Itsa melempar telponnya ke dinding hingga hancur beberapa hari lalu dan tentu karena sagara terus menghubunginya.

Kalo gak penting saya___

"Ini aku__tolong, sabria ada disini dia sesak nafas" hening beberapa lama, itsa sampai mengecek layar telponnya memastikan panggilan masih tersambung.

Kara, tolong telpon ambulance. Saya kesana sekarang.

WABI-SABI✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang