sepanjang minggu yang hari-harinya banyak itsa habiskan lebih banyak di kampus agaknya butuh rehat sejenak.
Itsa memutuskan mendatangi salah satu kafe di sekitar kampus untuk mengerjakan skripsinya yang beberapa hari lalu baru sukses di terima. Bersyukur nya itsa punya pembimbing yang tidak menuntut banyak dan tidak punya permintaan macam-macam meskipun agak susah di temui.
Dengan secangkir hot latte karena itsa lupa memesan esnya sekalian, laptopnya sudah menampilkan draft skripsi yang jujur saja sulit.
Fokus yang sebenarnya juga di bangun susah payah itu terpecah ketika seseorang tiba-tiba berdiri di depannya. Itsa mendongak, sempat terkejut namun cepat terkontrol.
"Hai"? Sapaan kaku yang tidak mengubah eskpresi itsa menjadi lebih ramah.
"Tau dari mana gue disini"? Itsa bahkan tidak repot-repot mempersilahkannya untuk duduk
"Gue tadi gak sengaja liat lo" neysa membutuhkan waktu dua puluh menit lebih berfikir hingga akhirnya ia memutuskan mendatangi itsa.
"Terus"? Neysa merasa jantungnya kian cepat berdetak, jari-jari tangannya yang saling meremas satu sama lain sudah cukup membuktikan kegugupannya.
"Gue boleh duduk"? Berat baginya mendekat pada itsa mengingat betapa buruknya dia di masa lalu.
"Silahkan, gue udah mau pergi kok" jawaban itsa membuat niat neysa kian menipis.
"Tapi gue mau ngomong sama lo, plis sebentar aja sa. Gue mau ngomong" itsa memandang neysa dengan bingung. Tinggal bersama gadis itu sejak umur enam tahun, ini adalah kali pertama ia terdengar memohon.
Meski itsa berusaha, meski ada keinginan di hatinya untuk mengabaikannya saja. Nyatanya itsa tidak beranjak dari duduknya hingga neysa duduk pula di hadapannya.
Banyak orang bilang ikuti kata hati, tapi itsa rasanya terhitung jari berapa kali ia mengikuti mau hatinya.
"Gue sibuk, cepet mau ngomong apa"? Tak ada senyum sama sekali, tatapan mata itsa yang begitu memancarkan ketidak pedulian itu membuat neysa makin ragu. Itsa memang tidak pernah bersikap hangat dan ramah di hadapannya, namun ekspresi dingin dan datarnya itsa kali ini seakan ingin merampas seluruh keberaniannya.
"Mama sakit" itsa mengepalkan tangannya tanpa sadar. Ia terkejut mendengar itu. Namun rasa benci yang tanpa sadar sudah ia pelihara sejak lama sekali itu membuatnya tidak bereaksi lebih.
"Ok. Gue turut prihatin" itsa berucap singkat setelah terdiam beberapa lama.
Sakitnya siska mungkin adalah penyebab mengapa neysa sekarang tidak berkuliah dan justru bekerja.
"Kami pindah kesini, tinggal di rumah peninggalan nenek. Karena rumah di jakarta udah di sita bank. Papa gak sanggup bayar utangnya" lanjut neysa lagi, menjabarkan roda hidupnya sedang berada di titik paling bawah. Dia yang taunya hanya minta uang dan senang-senang sudah merasakan kepahitan hidup. Ia jadi merasa menjadi manusia paling tidak tau diri. Dulu ia meremehkan itsa dan menyiksanya walaupun tidak secara fisik, namun kini ia lupakan itu serta rasa malunya untuk memohon bantuan.
"Gue gak mau tau itu neysa, sorry. Tapi itu bukan urusan gue" jawaban menohok itsa membuat neysa menunduk, membiarkan air matanya jatuh membasahi pahanya.
"Papa di PHK karena perusahaan bangkrut, mama harus cuci darah tiap minggu, gue sendirian sa" neysa terbata, berlomba dengan tangisnya untuk berbicara. Tidak ada lagi harapannya selain itsa. Ia bersumpah.
Melihat neysa menangis tersedu di depannya membuat itsa bergeming. Sudah benarkah tindakannya ini? Ia tidak jahat kah dengan mengabaikan neysa?
"Gaji gue gak cukup, gue mohon sa, untuk minggu ini aja maka cuci darah. Gue khawatir mama kenapa-kenapa" itsa masih diam, menatap neysa dengan tangisnya yang seakan menusuk hatinya kian keras.