Hari ini adalah jadwal siska kembali cuci darah, neysa sudah berada di rumah sakit menemani sejak tadi. Yang membuatnya sedikit terharu di tengah kesibukannya kuliah, itsa yang tidak banyak bicara padanya hari ini menyempatkan diri untuk ikut ke rumah sakit.
"Lo gak kuliah"? Neysa bertanya, sudah hampir pukul dua belas siang. Proses cuci darah siska juga sepertinya sebentar lagi selesai.
"Gue udah bimbingan tadi" itsa menjawab singkat, ia agak sedikit stress melihat skripsinya masih harus revisi di beberapa bagian.
"Abis ini lo boleh ikut ke rumah gak? Ada yang mau gue kasih" itsa menoleh bingung berharap neysa memberitahukannya saja daripada membuatnya penasaran.
"Harusnya, lo tau dari lama sa. Tapi emang gue aja yang jahat" neysa ingin menangis mengingat betapa menyebalkannya dia dulu.
Itsa di buat penasaran, maka tanpa membantah ia ikut kerumah neysa dan siska tinggal. Setelah siska masuk ke kamar dan tertidur, neysa membawa itsa memasuki kamar kecilnya. Membuka lemari bajunya mengeluarkan sebuah surat dari bawah lipatan bajunya.
Kertas usang dan kotor itu neysa berikan pada itsa yang menatap dirinya dan suratnya bergantian. Surat yang seharusnya sudah di buang ibunya sewaktu tanpa sengaja menemukannya di tumpukan barang milik ayahnya. Hari dimana darma ketahuan selingkuh. Neysa mengambil surat itu dan membacanya. Membuat rasa sedihnya menyeruak bersamaan dengan rasa bersalahnya. Dan neysa berfikir, itsa harus tau isinya.
"Ini apa"? Itsa meraih kertas kusam itu, membolak-balikkan nya dengan bingung.
"Itu..surat yang di tulis tante Jasmine" itsa terdiam, tubuhnya seolah kaku dan tidak bisa bergerak kecuali kedua bola matanya yang menyorot neysa seolah tidak percaya.
Surat ini adalah surat yang di baca om darma malam itu, yang tidak pernah itsa tau ataupun pahami isinya. Hari itu ia sibuk menangisi dan menunggu kedatangan ibunya yang nyatanya tak pernah kembali hingga detik ini.
"Maafin gue itsa, maaf" neysa menangis, dan itsa seharusnya tidak bisa menyalahkan neysa. Dia tidak terlibat. Om darma atau tante siska juga harusnya tidak di salahkan karena mereka pun kaget mendapati itsa di depan pagar mereka kedinginan kelaparan dan sendirian hari itu.
Itsa menelan ludahnya susah payah, detak jantungnya berdetak terlalu kencang dan itsa rasa ia butuh sendiri.
"Gue pulang dulu" karena neysa tidak perlu melihat bagaimana rasanya itsa ingin menangis meraung hingga air matanya habis bila perlu jika itu dapat meredakan sedihnya atau menghapus amarahnya pada ibunya yang dengan tega meninggalkannya begitu saja.
________
Di kamarnya itsa menyalakan lampunya segera, melempar tasnya diatas kasur begitu saja lalu mengambil duduk di lantai berhadapan dengan jendela kamarnya yang terbuka menampilkan langit yang ikut mendung seperti suasana hatinya sore ini.
Itsa membuka lipatan kertas itu dengan perasaan sedih yang sudah lebih dulu mendatanginya sejak neysa menyebutkan nama ibunya.
Kak ini aku jasmine, maaf karena tiba-tiba datang dengan cara seperti ini. Tapi maaf sekali lagi kak, aku gak punya pilihan lain.
Kak, dia ghaitsa karunasankara. Anak ku. Umurnya sebelas tahun. Dia anak baik dan pintar, satu-satunya harta bahkan nyawa ku juga kak
Berat sekali bagi aku untuk melakukan ini, tapi maaf kak aku gak punya pilihan. Sekali ini saja aku minta tolong ke kakak, aku titip itsa ya kak. Tolong jaga dia sampai aku kembali. Aku janji gak akan terlalu lama meskipun aku sendiri gak tau akan bagaimana. Tolong kak, aku tau aku sangat gak tau diri dengan masih berani menyusahkan kakak. Tapi sekali lagi, aku gak punya pilihan lain. Aku harus memastikan satu hal kak, aku mohon jaga itsa sampai aku kembali. Aku janji kak, aku janji akan kembali buat itsa.
Nyatanya, hingga itsa berusia dewasa, hingga bertahun-tahun terlewati. Janji itu memang tidak pernah di tepati. Jasmine tidak pernah kembali seperti apa yang ia katakan di surat itu. Surat yang kini itsa remas dengan sekuat tenaga dan nyaris saja merobek kertas itu. Itsa membuang tulisan tangan jasmine menjauh darinya, menangis membungkukkan badannya hingga menyentuh lantai kamarnya yang dingin, hujan diluar seolah sama derasnya dengan tangisan itsa yang bagai anak kecil.
Sakit hati kehilangan dan kerinduan itu seolah menggerogoti itsa sampai habis.
Apa yang terjadi, hingga Jasmine perlu meninggalkannya dan tak pernah kembali? Apa yang salah dari dirinya?
Itsa tertidur di lantai hingga malam tiba, menangis membuatnya lelah hingga tidak peduli pada dingin yang menusuk kulitnya. Ia tau nafasnya sesak dan dadanya terasa terhimpit membuatnya sulit bernafas, itsa juga sadar wajahnya berkeringat padahal cuaca sedang dingin. Namun, seolah itu tidak sebanding dengan rasa sakitnya, itsa tidak peduli dan tidak beranjak. Ia ingin mati saja jika bisa, agar ia tidak perlu merasa sakit hati dan terus menerus memikirkan hidupnya yang tidak beruntung.
Ponselnya berdering, dan itsa tidak memiliki tenaga untuk sekedar membuka matanya.
Mungkin sagara menelponnya. Itsa mengucapkannya dalam hati, semoga saja ketika itsa pergi untuk selamanya gara tetap bahagia. Meskipun bukan dengannya itsa tetap berdoa semoga pria itu bahagia selalu. Mengingat pria yang amat ia cintai itu, itsa kembali menangis hingga akhirnya kesadarannya menghilang.
_______
Menemukan itsa tidak sadarkan diri di lantai kamarnya membuat gara nyaris gila. Andai ia tidak mengikuti kata hatinya yang entah kenapa sangat ingin melihat itsa padahal sudah pamit seperti biasa-ia tidak akan menemukan itsa disana dan ia akan terlambat.
Dokter mengatakan itsa mengalami dehidrasi dan kelelahan. Dokter menyarankan itsa harus istirahat selama beberapa hari ke depan. Dan gara janji ia akan mengawasi itsa secara penuh.
"Kamu pulang dulu kalya, biar saya disini" kalya yang tangisnya juga sudah reda menolehkan kepalanya pada sagara yang duduk di kursi seberang.
"Kabarin saya kalau ada apa-apa ya pak"? Gara mengangguk pelan, ketakutan yang tadi membelit dirinya hingga hampir mati seolah tidak pernah terjadi dan hatinya menjadi lega ketika kini itsa sudah di nyatakan sedang tertidur.
"Besok pagi kita kesini lagi" dewangga ikut menyahut. Gara mengangkat panggilan telpon kalya pada itsa tadi dan mengabarkan soal kondisi itsa dan ternyata gadis itu turut mengabari dewangga.
"Ok" gara membalas singkat, kembali masuk keruang rawat itsa yang kini damai dalam tidurnya. Ia duduk di sofa yang tidak jauh dari itsa berada. Mengambil secarik kertas dari saku celananya yang ia temukan tidak jauh dari itsa berada tadi
Surat yang seakan merampas semua kesadaran gara betapa rasa bersalah itu membuat gara tidak mampu menahan tangisnya. Ia menangis membaca baris demi baris dari surat itu membiarkan hatinya kembali menuduh dirinya sendiri.
Baru membaca surat ini saja sudah sampai membuat itsa seperti ini, bagaimana jika ia tau gara juga turut andil, keluarganya merahasiakan ini. Apa yang terjadi jika semuanya terbongkar?
Gara menghapus air matanya dengan cepat, menyimpan surat itu kembali ke saku celananya. Menghampiri itsa yang sudah terbangun dari lelapnya.
"Sayang, gimana? Udah membaik"? Itsa mengangguk pelan, sayang sekali ia tidak mati. Tersadar membuatnya kembali mengingat isi surat itu dan terus mempertanyakan penyebabnya.
"Jangan kaya gini lagi yah kara, saya mohon" gara berucap pelan, mengecup kening itsa yang memejamkan matanya menikmati
"Kamu kenapa nangis"? Tanya itsa mendapati mata gara yang sembab
"Saya gak akan kenapa-kenapa selama kamu baik-baik aja"