To turn over a new leaf
Di apartment nya, yang lampunya sengaja di buat remang-, Itsa duduk di salah satu sofa di ruang tengah, dengan laptop yang terbuka di depannya. Itsa belum menyalakannya, masih mengumpulkan keberanian yang ternyata sangat membutuhkan waktu yang lama. Lama sekali
Itsa mendapatkan file cctv ini dari Sagara, yang ia paksa untuk tidak ikut meski Gara sangat susah di bujuk. Itsa hanya ingin sendiri, ia ingin melihat sendiri bagaimana Jasmine terakhir kali sebelum musibah itu menimpanya. Video itu belum ia putar, tapi Itsa rasanya sudah gemetar. Telapak tangannya berkeringat, Itsa tidak mau melihat ini. Tapi ia harus.
Maka dengan tekad yang susah payah ia kumpulkan, Itsa akhirnya menyalakan laptop dan memutar video itu.
Di sana, di jalan sepi di malam hari-, mungkin tengah malam. Jalanan aspal kasar itu masih basah sehabis di guyur hujan, lampu-lampu jalan yang sinarnya tidak seberapa, semakin dibuat sepi jalan itu karena kanan dan kirinya terdapat banyak pohon besar.
Jasmine memakai baju kaos lengan panjang juga celana panjang, berjalan terburu-buru dari sini kanan jalan, tidak memperhatikan jalan sebelum ia berlari kencang hendak menyebrang. Namun bukannya sampai pada sisi jalan. Tubuhnya terpental jauh ke depan, terseret beberapa meter diatas aspal kasar nan basah. Jasmine tidak lagi bergerak sama sekali setelah hantaman mobil itu mendorongnya begitu kencang. Beberapa detik kemudian, seorang perempuan dengan pakaiannya yang rapih turun dari mobilnya. Ia terdiam beberapa menit dengan kedua tangan menutupi mulutnya. Sabria pasti terkejut.
Ia berjongkok dan membalikan tubuh Jasmine, dengan tangis di wajahnya, ia terlihat mencoba membangunkan Jasmine. Tapi tentu, dia sudah tertidur untuk selamanya.
Itsa mematikan laptop segera, menjauhkannya dari jangkauannya. Video itu belum selesai, tapi ia sudah tidak sanggup. Dadanya sesak seiring air matanya yang tumpah ruah.
Ia memeluk lututnya sendiri menenggelamkan kepalanya, membiarkan dirinya sekali lagi tenggelam dalam tangisnya. Ia sudah bilang memaafkan. Ia sudah bertemu Sabria dan keluarga besar Janardana yang meminta maaf padanya. Javier Janardana bahkan entah angin dari mana tiba-tiba mengucapkan maaf di depan Itsa. Meski Itsa rasanya belum bisa tidak menangis mengingatnya, tuhan seolah mempermainkannya dengan membuatnya jatuh cinta pada salah satu bagian dari Janardana.
Berat, tapi Itsa sudah berusaha. Ia sudah mengalah. Ia sudah pernah menjauh berulang kali. Tapi nyatanya dia gagal. Sabria tidak benar-benar bersalah, di jalan itu Jasmine menyebrang jalan buru-buru tanpa melihat keadaan padahal mobil Sabria memang terlihat dari kejauhan melaju kencang.
Bel berbunyi, Itsa dapat menebak siapa diluar yang memencet bel nya seperti tidak sabar. Dengan menghapus air mata di wajahnya, merapikan bajunya sedikit, Itsa berjalan malas membuka pintu.
"Kamu enggak pulang ya?" Gara tidak menjawab, ia langsung masuk dan memeluk Itsa erat-erat.
Itsa tadi meminta Gara untuk pulang saja, berganti baju atau apapun. Karena Gara ternyata menyewa unit apartment di lantai atas sejak seminggu yang lalu. Sebenarnya dia ingin unit di lantai yang sama dengan Itsa, di sampingnya bila perlu. Tapi sayangnya tidak bisa karena sudah ada orang lain duluan. Yang meski jarang dirumah, ia menolak ketika Gara berniat membelinya dengan harga dua kali lipat lebih mahal.
"Saya khawatir, dan kamu terus aja suruh saya pergi." Ucap Gara, suaranya agak teredam karena tenggelam diantara bahu dan leher Itsa.
"Lepas, sesak." Ucap Itsa, Gara tidak pernah memeluknya dengan biasa. Selalu erat sekali membuat Itsa seakan hendak remuk.
Kedua tangan Gara membingkai wajah Itsa, memerhatikan dengan seksama kedua matanya yang sembab dan hidungnya yang agak memerah.
"Kamu udah nonton rekaman itu?" Itsa mengangguk, sengaja ia lakukan sendiri meski sebenarnya Gara menolak pergi. Pria itu berdiri dengan gelisah di luar apartment Itsa dengan alarm karena ia paksa Itsa untuk memberinya waktu. Hanya tiga jam, tidak boleh lebih atau Gara akan gila. Maka ketika hitungan itu selesai, Gara cepat-cepat memencet bel tadi. Itsa memintanya pulang dan menunggu di unitnya sendiri. Tapi mana mungkin itu terjadi jika sedihnya Itsa adalah sedihnya pula?