Jam dinding di kamar gara sudah menunjuk pukul sembilan malam. Itsa sudah terlelap di sampingnya setelah mereka memasak bersama, makan sambil membicarakan banyak hal, menonton dua judul film selepas makan. Gara tidak bisa menjabarkan bagaimana bahagianya ia hari ini. Itsa disini, disampingnya, diatas kasurnya dan sedang ia peluk lembut agar tidak menganggu lelapnya.
Gara belum dan tak akan pernah puas menatap wajah cantik itsa hingga detik ini, yang gara lakukan setelah itsa tertidur hanya menatap wajahnya yang tenang.
Gara tau, membuat itsa untuk tetap berada di hidupnya juga berarti menentang segala aturan tak tertulis oleh keluarganya yang bagi gara begitu rumit
Itsa dan statusnya memang akan mempersulit gara. Tapi demi apapun, akan gara lakukan, akan gara hadapi apapun siapapun dalam keadaan apapun jika itu untuk itsa. Gara tau, memiliki itsa tidak akan mudah terutama jika di kaitan dengan keluarganya yang memiliki standar dan aturan yang tinggi dimana itsa tidak memenuhi apa yang keluarganya cari atau apa yang keluarganya miliki sebelumnya tapi itu menjadi tidak penting karena gara sudah jatuh terlalu dalam. Hingga dari mana pun itsa berasal tidak akan pernah menjadi masalah untuk gara.
Aktifitas gara menatap wajah itsa berhenti saat getar ponselnya terdengar dari atas nakas. Gara meraihnya dengan malas apalagi si penelpon adalah Karenina
"Ya"? Gara tau nada suaranya kentara sekali tidak ikhlas menjawab
Kamu dimana sih! Bukannya mama udah bilang kita makan malam sama disa hari ini?!
Karenina tidak berbicara dengan nada tinggi, tapi kalimatnya yang setajam silet itu sudah menjelaskan bagaimana karenina begitu jengkel. Sepertinya dia lupa kalau gara paling tidak suka di suruh-suruh terlebih untuk urusan disa atau usaha ibunya untuk menjodohkan mereka berdua. Gara cukup paham bahwa menikah dengan disa juga berarti memperluas kekayaan dan memang itu tujuan Karenina. Gara tidak se-penurut saudaranya yang lain, harusnya karenina hafal dirinya.
"Saya sibuk ma" harusnya memang ia sibuk, banyak pekerjaan yang gara tinggal agar tidak menganggu waktunya dengan itsa. karena tidak akan ia temui tiap hari sikap itsa yang seperti ini
Kamu mau bikin mama malu apa?! Disa udah masak buat kita
Gara memijat pangkal hidungnya dengan lelah serta bosan karena lagi-lagi Karenina terus saja menyusun rencana bagaimana ia dan disa bisa terus bersama. Dan gara lumayan muak dengan sikap disa yang juga mengikuti permainan Karenina. Disa gadis baik, setidaknya dulu saat mereka sama-sama masih kanak-kanak.
Kamu dimana sekarang?!
Memang tidak ada yang tau apartment gara terutama Karenina. Karena gara sungguh butuh satu saja wilayah dimana tidak akan ada yang bisa mengganggunya
"Lagi sibuk ma, lain kali aja yah. saya tutup" gara menutup panggilannya saat merasakan pergerakan itsa, ia letakkan ponselnya kembali keatas nakas lalu mendekat pada itsa
"Hei, saya ngomongnya terlalu berisik yah"? Nada suara gara begitu pelan, mengusap pipi itsa yang terbangun dan menatapnya dalam diam
"Tidur lagi" itsa tidak tau kenapa ia menjadi tidak begitu khawatir berada bahkan menginap di tempat gara sekarang. Mengingat besok ia sekolah harusnya itsa panik kan? Sekarang itsa sedang mengenakan baju yang dulunya gara belikan untuknya waktu pertama kali kesini
"Kamu mau pergi"? Gara mengernyit, apa itsa dengar pembicaraannya tadi?
"Saya gak____
"Kamu ada janji makan malam sama disa kan"? Gara agak terkejut, ia tidak menyebut nama disa sama sekali tadi kan?
"Saya gak akan kemana-mana" tatapan gara yang tak pernah putus dari matanya itu agak membuat itsa gugup
"Tadi aku sengaja baca chat disa di hp kamu, gak aku balas kok. Maaf kalau aku lancang" itsa memilih jujur, namun melihat gara justru tersenyum lalu mendekat untuk mencium ujung hidungnya membuat dirinya yakin gara tidak akan marah.
"Gak apa-apa, jadi itu sebabnya kamu gak mau saya kemana-mana"? Gara makin bahagia saat itsa mengangguk, ekspresi gadis itu terlihat lucu dimatanya. Itsa tidak tau, betapa keras usahanya untuk tidak bertindak lebih apalagi itsa begitu dekat di sisinya
Gara kembali memeluk itsa, membawa tangan itsa untuk balas memeluknya dalam posisi berbaring dan saling berhadapan. Gara yang mencium kepalanya berulang kali memberi efek tersendiri bagi itsa. Ia tidak tau bagaimana menjabarkan sensasinya. Mungkin karena itsa tidak pernah memiliki seseorang yang bisa ia peluk tiap lelah, sendirian dan menderita hingga itsa begitu mudah terlena.
"Pak"? Gara berdehem, mungkin kapan-kapan ia harus meminta itsa untuk berhenti memanggilnya dengan sebutan itu.
"Mama kamu gak suka aku" kata itsa tanpa basa-basi. Untuk mungkin sekali saja dalam hidupnya itsa ingin egois. Ia begitu egois dengan tetap menginginkan gara, mari kita lihat apakah dirinya akan sanggup lalu menang di kemudian hari. Meski dirinya pun telah bersiap untuk segala kemungkinan. Keluarga gara adalah orang-orang yang tidak akan pernah sebanding dengan dirinya. Mereka jauh berbeda dan pastinya tak akan sudi menerima dirinya yang bukan siapa-siapa dan tak memiliki apa-apa ini.
Iya, itsa tidak memiliki apapun bahkan orang tua sekali pun.
"Dan saya janji dia gak akan bisa menyentuh kamu" itu adalah janji gara, bahkan seingatnya ia tidak pernah seserius ini dalam berjanji
"Saya cinta sama kamu kara,kamu tau kan? Saya sayang kamu melebihi apapun, kamu mengerti itu kan"? Gara menatap tepat di mata itsa. dan itsa, ia bagai terhipnotis mengangguk pelan membiarkan wajah gara semakin dekat menatap matanya lalu bibirnya secara bergantian. Itsa mengerti, tapi perasaan takut dalam dirinya juga tidak mudah untuk ia abaikan. Lalu pikirannya mulai bertanya, dalam hati ia berucap berkali-kali apakah ia sudah benar-benar kalah? Jawabannya iya. Sangat iya, itsa juga menginginkan gara untuk hidupnya
Itsa masih dengan diamnya saat gara mengecup bibirnya sekali,dua kali hingga berkali-kali. Pria itu seolah sedang menuntaskan hausnya yang berkepanjangan mengecap bibirnya terburu-buru dan begitu rakus seolah tidak akan ada hari esok, satu tangan gara memeluk itsa agar tidak bergeser seinci pun darinya bahkan itsa menyadari posisi gara yang perlahan berpindah hampir berada diatasnya
Namun sebelum akal sehatnya menghilang,itsa lebih dulu menepuk lalu mendorong pelan dada gara memberi kode untuk pria itu berhenti sebelum dirinya juga hilang waras.
Nafas keduanya memburu, gara menenggelamkan wajahnya di ceruk leher itsa. Bernafas disana sembari menenangkan dirinya yang hampir lepas kendali
"Saya gak mau tau kara, pokoknya kita harus nikah" meski suara gara agak teredam tapi itsa masih mendengarnya dengan jelas. Itsa mungkin sudah mengakui bahwa dirinya juga menyukai gara, tapi untuk menikah itsa tidak tau, ia tidak berani membayangkan.