Itsa sudah merasa baik-baik saja. Setidaknya ia tidak lagi menangis seperti belakangan, ia juga sudah mulai makan kendati kemarin ia di paksa gara hanya untuk dua dan tiga suap makanan, itsa juga sudah kembali ke kampus dan kembali mengurusi skripsinya yang sempat ia tinggal selama empat hari. Namun, meski itsa merasa ia telah baik-baik saja dan air matanya sudah kering gara belum mau meninggalkannya. Pria itu sudah empat hari tidak pulang dari apartment nya, ia membeli banyak baju dan membawanya ke apartment itsa, dan melakukan segala pekerjaannya dari apartment itsa. Mengantar dan menjemput itsa kuliah atau kemana pun, memasak agar itsa makan dengan banyak, rutin mengirim pesan hingga itsa sendiri merasa gara mulai berlebihan.
"Aku udah gak papa, kamu boleh pulang" ucap itsa lembut, baru saja ia mendengar gara membentak-bentak karyawan nya melalui panggilan telepon. Itsa perhatikan, gara yang marah-marah di telpon sudah terjadi sejak kemarin.
Gara makin mendekatkan duduknya pada itsa, memeluknya menghirup rakus aroma rambut itsa yang seolah membuatnya dapat lupa bahwa dia punya masalah.
"Aku gak mau jadi penghalang kamu dalam hal apapun" gara mengangkat kepalanya dari bahu itsa, menatap gadis itu dengan tajam dan serius.
"Kamu bukan penghalang kara" ucapnya dengan nada pelan namun sarat akan keseriusan. Bahkan, jika bukan itsa adalah tujuannya gara tidak yakin ia baik-baik saja.
"Kalau gitu kamu pulang aja" balas itsa lembut, merapikan rambut gara yang mulai panjang menutupi keningnya.
"Kamu gak suka saya disini"? Gara nyaris berbisik, meletakkan keningnya di bahu itsa. Mengecupnya beberapa kali berpindah naik ke pipinya lalu sampai ke bibir itsa yang selalu membuatnya kehilangan kontrol diri.
"Bukan, tapi kamu juga harus urusin kerjaan kamu kan"? Itsa sengaja mendorong bahu gara menjauh dari wajahnya. Gara itu serakah, jika sudah menciumnya sekali dia tidak mau berhenti.
"Kamu ikut saya aja" usulan yang sebenarnya gara tidak terlalu membutuhkan persetujuan itsa. Dia bisa membawanya jika ingin.
"Gak bisa dong, aku kuliah gimana? Jouska gimana"? Gara menghela nafas, kembali meletakkan kepalanya di bahu itsa.
"Nanti setelah lulus, kita nikah. Kamu bisa urus jouska dari jakarta. Bahkan sebenarnya kamu gak usah kerja. Diam aja dirumah, cari uang urusan saya" mungkin terdengar bercanda dan terlalu santai di ucapkan. Namun faktanya, gara memang telah memikirkan itu sejak lama. Indah sekali di bayangannya ia pulang kerumah dan ada itsa yang menyambutnya, ia bisa memeluk gadis itu kapan saja selama yang ia inginkan. Mengingatnya membuat gara makin mengeratkan pelukannya pada itsa.
Itsa sendiri, ia tau gara memang berfikir kesana. Menjalin hubungan dengan pria jauh lebih dewasa memang kadang selalu punya tujuan.
Dan itsa merasa, dia memang telah cukup dengan gara. Apalagi yang ia cari jika segalanya telah ada padanya?
Itsa mengusap rambut gara tanpa kata, menjauhkan pelan kepala gara dari bahunya kemudian merangkum kedua pipinya
"Aku akan setuju sama apapun keputusan kamu, sekarang kamu pulang dulu urusin kerjaan kamu ya"? Itsa bagai membujuk anak-anak. Suaranya pelan dan sangat lembut. Dan bagaimana bisa gara tidak terlena? Pria itu mengangguk walau tak rela, memeluk itsa sekali lagi sebelum selanjutnya harus kembali. Dan memang benar, realitanya ia punya banyak hal lain yang perlu di selesaikan.
_______
Itsa merasa puas dengan perkembangan skripsinya, tidak lama lagi dia bisa mendaftar untuk melakukan wisuda dan semua urusannya disana selesai.
Sudah pukul sembilan malam, gara sudah pergi sejak dua jam yang lalu. Merasa bosan menatap layar laptop dan menonton tv itsa memutuskan untuk mendatangi jouska. Duduk disana melanjutkan ketikan skripsinya terdengar lebih baik. Di temani gara selama empat hari nyatanya membuatnya merasa sepi setelahnya, padahal itsa sendirian sebelumnya dan dia baik-baik saja dengan itu.