JAVIER JANARDANA

1.1K 77 0
                                    

Dulu sewaktu masih sekolah menengah pertama, gara ingat dia dan brama yang kala itu sekolah menengah atas pernah di hukum tidak boleh main keluar rumah karena membantah javier yang meminta mereka ikut dengannya liburan ke Bali. Brama menolak karena sudah ada janji dengan pacarnya, dan gara menolak karena memang malas. Javier marah, karena tujuan kakeknya itu memang agar brama dan gara di kenalkan dengan salah satu koleganya yang juga membawa anaknya.

Mereka di marahi oleh javier dan di hukum tidak boleh keluar rumah. Hingga brama menggerutu di depannya menyebut javier sebagai king janardana yang kejamnya melebihi penjajah belanda dan gara ingat hari itu ia tertawa keras.

Gara memutar adegan itu di kepalanya, yang nyatanya kini tidak lagi mampu membuatnya sekedar tersenyum.

Gara menatap rumah bertingkat tiga di depannya, sangat asri karena di tumbuhi banyak tanaman, pekarangan nya bersih luas dan terawat. Tempat yang menggambarkan kehangatan namun gara tidak merasakannya.

Rumah ini sebenarnya kelam bagi gara. Ia tidak lagi pernah menginjakkan kakinya disini sejak lulus kuliah.

"Kakek dimana"? Setelah persiapan hati dan mentalnya yang terbilang ringkas, gara masuk di sambut oleh damian yang merupakan asisten pribadi kakeknya yang amat setia.

"Beliau sedang dirumah kaca mas" gara mengangguk sekilas, masuk menuju halaman belakang rumah.

Disana, ada rumah kaca yang sangat luas. Diisi oleh beragam tanaman berbagai jenis. Javier dan almarhum istrinya sama-sama menyukai tanaman maka javier membuat rumah kaca itu seluas mungkin.

"Saya pikir kamu lupa sama rumah ini" gara memejamkan matanya sejenak, tidak bisa di pungkiri bahwa setelah sekian tahun berlalu setelah dirinya beranjak dewasa, suara javier janardana ternyata masih mampu membuatnya berdebar kencang di sertai gugup.

"Apa kabar kek?" sapaan yang membuat javier berbalik, dengan kursi rodanya yang tidak mampu meluruhkan kesan tegasnya.

"Sehat dan masih hidup" gara mengangguk, kalimat itu terdengar sangat sarkas di pendengarannya.

"Kamu gimana? Bahagia? Dengan gadis dan pilihan mu"? Gara balas menatap javier yang tidak sedikit pun tersenyum. Dalam hati gara merapalkan bahwa ketika dirinya kecil hingga sekarang javier memang tidak menyukainya dan itu bukan masalah. Sama ketika dirinya tau ia sedang meminta untuk di hancurkan, ia janji ia tidak akan keberatan ia janji ia akan berhasil membuat itsa tetap berada di sampingnya. Jika hanya dengan melawan Javier.

"Sangat bahagia dari apa yang pernah kakek kira" javier terkekeh, cucunya yang paling keras kepala ini ternyata sudah besar.

"Eldie sudah sampaikan maksud kamu, tapi kalau kamu mau menjelaskan ulang, silahkan" selepas menangis di depan ayahnya kemarin,  gara sampai berlutut sembari memeluk ayahnya yang mau membantu dan membelanya di depan javier. Bahkan melarang karenina lagi untuk ikut campur pada urusannya.

"Saya langsung ke intinya kek, saya mencintai itsa dan itu bukan kesalahan. Saya siap keluar kalau memang itu hukumannya" javier menolak menatap gara, ia lebih memilih menatap pohon akasia yang tepat berdiri di samping gara.

Ingatannya terputar pada kejadian kemarin malam saat eldie, anaknya yang paling penurut itu. Berlutut memohon dengan suara rendahnya meminta kebebasan untuk gara. Meminta maaf atas apa yang terjadi, dan permohonan-permohonan lain yang terus eldie ucapkan agar javier tidak menghancurkan gara.

"Saya tau kamu gak pernah takut dengan hukumannya gara" javier yakin itu. Sejak kecil, gara memang sudah berbeda dengan tiga saudaranya yang lain.

Alih-alih langsung menerima kehidupan yang sudah terjamin, sagara justru bersikeras ingin berusaha sendiri.

WABI-SABI✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang