Sesuai yang sudah itsa janjikan bersama gara, hari ini pukul sembilan pagi gara sudah tiba di apartment nya dengan pakaian santai. Setelah itsa ingat-ingat, rasanya gara selalu muncul dengan setelan kerja. Karena memang faktanya gara selalu mendatangi itsa selesai kerja. Bisa di bayangkan betapa gara lelah tapi tetap nekat menyetir sendiri menemui itsa.
Itsa baru saja membuka pintunya saat gara tanpa kata memeluknya tiba-tiba. Pria itu menenggelamkan kepalanya pada bahu itsa yang selalu membuatnya tenang dan gara selalu merasa pulang.
Rasa bersalah yang menggerogoti hatinya sampai habis seakan dapat menghilang hanya ketika gara memeluk itsa. Semua beban dan pikirannya yang semrawut seolah bukan apa-apa ketika netra kelamnya menatap wajah itsa yang tak akan pernah bosan ia pandangi selamanya.
"Kamu baik-baik aja"? Itsa sudah merasa gara agak berbeda sejak beberapa hari belakangan. Bukannya itsa tidak peduli dengan tidak meminta pria itu bercerita atau memaksanya untuk jujur. Tapi gara selalu mengatakan ia belum siap bercerita. Gara mengaku ia punya masalah tapi belum berani menceritakan. Maka apa yang bisa itsa lakukan selain menunggu?
"Baik. Setelah ketemu kamu saya selalu baik-baik aja kara" yang itsa tidak tau, gara bahkan nyaris gila memikirkan bagaimana kelak ia hidup tanpa itsa di dalamnya?
"Kamu mau istirahat aja? Perginya bisa kapan-kapan aja" gara menggeleng, ia menjauhkan tubuhnya dari itsa
"Saya gak papa, kita pergi sekarang" itsa tidak membantah, ia membiarkan tangannya di genggam gara sepanjang perjalanan membiarkan dirinya menyetir dengan satu tangan walau sesekali melepaskannya.
Gara tidak pernah sediam ini ketika bersamanya, dan itsa makin khawatir karena itu. Ia mengangkat tangan mereka yang saling menggenggam. Mengelusnya di pipi itsa memancing gara untuk menoleh
"Kalau kamu ada masalah, kasi tau aku. Aku mungkin gak membantu tapi___
"Kehadiran kamu sudah lebih dari cukup kara. Kamu yang selalu mau menerima saya itu udah cukup" gara memotong cepat. Karena bagi gara, itsa adalah segalanya tentang cukup. Dengan itsa rasanya gara tidak perlu takut kehilangan apapun kecuali kepercayaan itsa padanya.
Berat sekali untuk mengakui kesalahannya di depan itsa, ia punya pilihan untuk menyembunyikannya saja dari itsa entah sampai kapan, biarkan itsa tidak tau apapun tentang jasmine dan segala yang terjadi namun siapa yang bisa menjamin javier akan diam saja? Setelah dua keluarganya membangkang, gara ragu pria tua itu tidak memiliki rencana.
Meski javier sudah berhenti sejak lama menyelidiki soal itsa, tetap saja gara khawatir.
"Sampai" ucapan gara membuat itsa turut melihat kearah luar. Sebuah rumah, jauh dari pemukiman. Jauh dari hiruk pikuk ibukota.
"Ini rumah siapa"? Tanya itsa setelah mereka berdua berdiri di hadapan bangunan bertingkat dua dengan cat berwarna putih. Rumah itu terkesan asri karena halamannya di hiasi banyak tanaman segar nan cantik
Gara meletakkan kedua tangannya di bahu itsa, menempelkan keningnya dan kening itsa sembari memejamkan mata selama beberapa detik. Itsa sabar menanti hingga pria itu sendiri yang menjauhkan wajahnya hanya beberapa centi.
"Ini tempat saya kamu dan keluarga kita kelak" itsa terdiam, cukup terkejut mengetahui gara sudah berfikir sampai sana.
"Kamu mau kan? Jadi bagian hidup saya? Selamanya? Dan enggak meninggalkan saya"? Mata gara berkaca-kaca itsa mengangkat kedua tangannya menyentuh kedua pipi gara yang memejamkan matanya menikmati sentuhan itsa di wajahnya.
"Aku mau, aku enggak akan kemana-mana kalau kamu juga gak ninggalin aku" ucapan itsa di akhiri dengan gara yang memeluknya terlalu erat menghujani kepalanya dengan kecupan-kecupan ringan yang membuat itsa luar biasa bahagia.
"Ayo masuk" mereka masuk kemudian, ruangan luas bersih dan dominan putih ini belum di isi oleh apapun. Hanya ruang kosong yang kelak akan menjadi tempat gara benar-benar pulang dan merasa aman.
"Nanti kita bisa belanja barang-barangnya berdua biar sesuaikan sama apa yang kamu mau" itsa mengangguk, berkeliling melihat beberapa ruangan membiarkan kepalanya membayangkan apa saja yang ingin ia beli dan ia letakkan dimana hingga terlihat seperti apa.
Itsa sedang menikmati pemandangan taman kecil lewat jendela kaca yang besar ketika gara memeluknya dari belakang. Mencium kepalanya lalu bahunya dan menetap disana.
"Makasih, aku gak nyangka kamu nyiapin ini" itsa jadi terharu. Belum pernah ada seseorang yang benar-benar memikirkannya sejauh yang ia tau.
"Sama-sama sayang" ucap gara rendah, kemudian mengecupi pipi itsa yang sangat mudah di gapai karena posisinya.
"Ghaitsa"? Itsa hanya berdehem tanpa menolehkan kepalanya, ia menikmati momennya dengan baik.
"Saya harus ketemu om dan tante kamu sebelum menikahi kamu" itsa agak terkejut. Namun memang benar, mau di pandang dari sisi mana pun mereka berdua adalah wali itsa satu-satunya. Itsa ingin pura-pura tidak mengenal dan melupakan mereka juga bukan soal mudah. Apalagi beberapa hari belakangan ini ia neysa dan tante siska lumayan dekat. Tidak terlalu dekat juga. Namun setidaknya seminggu sekali dua minggu sekali atau tidak sama sekali itsa berkunjung ke tempat tinggal mereka. Neysa yang telah berubah bersama dengan tante siska sedikit banyak membuat itsa mampu melupakan amarahnya pada mereka. Pelan-pelan itu terkikis karena simpatinya pada kedua orang itu
Dan itsa memang belum pernah membahas ini di depan gara.
"Aku gak tau om darma dimana" jawab itsa setelah beberapa saat diam
"Saya tau" itsa mendongakkan kepalanya, memandang gara dengan matanya yang menatap kaget pada gara
"Kok gak bilang"? Gara mengangkat bahunya cuek membiarkan itsa menjauh demi agar posisi mereka berhadapan
"Karena kamu juga gak bilang kalau belakangan ini kamu beberapa kali ketemu tante dan sepupu kamu" itsa terdiam, susah memang menyimpan rahasia jika orang itu adalah gara.
"Maaf, aku cuma belum cerita aja" gara tertawa kecil, mendekat untuk mencium bibir ghaitsa karunasankara sekali.
"Gak papa, saya tau niat kamu baik" ucapnya membuat itsa mengangguk
"Kamu tau om darma tinggal dimana"?
Beberapa waktu lalu selepas pulang dari apartment itsa, gara yang merasa familiar dengan seseorang di pinggir jalan memutuskan turun dari mobilnya. Dan benar, dia darma. Orang yang namanya tertulis sebagai wali itsa di data ataupun raport milik itsa sewaktu sekolah dulu.
Beberapa kali pertemuan membuat gara menjadi tau bahwa darma kini bekerja di salah satu perusahaan kecil dengan posisi sebagai staff dan sekarang sudah tinggal dengan keluarga barunya.
Mendengar cerita gara membuat itsa merasa sedikit kesal. Semudah itu dia meninggalkan neysa dan siska yang bahkan sedang sakit.
"Kamu gak akan gitu kan? Kalau aku sakit kamu masih mau sama aku gak"? Mendengar kalimat itsa dengan nadanya yang sedih malah membuat gara tertawa dan itsa memukul bahunya kesal
"Justru saya yang takut kara, apapun posisi saya apapun yang terjadi sama saya kedepannya, kamu gak akan ninggalin saya kan"? Gara berubah serius, membingkai wajah itsa dengan kedua tangannya
"Kamu kenapa sih"? Itsa menjadi makin merasa bahwa sedang ada sesuatu pada gara dan ia bingung harus bagaimana agar gara mau bercerita padanya.
"Takut kamu ninggalin saya, saya gak sempurna kara. Saya banyak kurangnya tapi dengan enggak tau dirinya saya gak mau kamu pergi dari saya" gara berucap jujur. Ia sudah lelah, bertanya pada langit di tiap malamnya, membiarkan air matanya jatuh sebanyak yang ia mampu namun penyesalan itu tidak pernah berhenti.
Tidak satu detik pun.
Tiap harinya sepulangnya ia dari mengunjungi itsa yang gara lakukan hanya mendatangi makam jasmine, duduk diam menangis disana hingga nafasnya tersenggal hingga menjelang pagi. Gara agaknya marah, kenapa harus dirinya yang di hukum atas kematian jasmine? Bukannya sabria yang bersalah karena telah menabraknya? Kenapa rasa bersalah itu hanya ingin membunuhnya seorang? Sagara, tentu jawabannya adalah karena ada itsa yang begitu menarik semua atensi hidupnya.
"Aku juga gak sempurna, gak ada yang sempurna di dunia mas sagara. Tapi kita bisa saling melengkapi. Mengisi apa yang kosong melengkapi apa yang kurang sampai sempurna. Sempurna bagi kita berdua" itsa tersenyum lebar, mencium pipi gara lalu memeluk pria yang entah memikirkan apa ini se-erat yang ia mampu.