Hujan lebat sejak sore hari itu belum berhenti juga. Gadis kecil dengan jaketnya yang agak kebesaran itu sudah basah kuyup. Berteduh di salah satu emperan toko nyatanya tetap saja membuatnya basah karena angin membawa air hujan yang dingin itu tetap mengenainya.
"Ibu gak papa?" Wanita di sebelah Itsa, dengan pakaian yang sama basahnya menggeleng pelan dengan senyumnya yang tipis.
"Gak papa, kamu sabar ya bentar lagi kita sampai" Itsa mengangguk, anak kecil berusia sebelas tahun itu kemudian berjongkok karena lelah terlalu lama berdiri.
Itsa tidak tau mereka mau kemana, beberapa jam yang lalu tiga orang dengan badannya yang kekar mendatangi mereka. Berteriak membuat para tetangga ikut terganggu, meminta dia dan ibunya untuk segera keluar dari rumah mereka.
Sebenarnya itu bukan kali pertama orang-orang datang dan berteriak di rumahnya. Itsa sudah sering melihatnya, tapi ibunya selalu bilang kalau Itsa tidak berhak tau maksud semua itu apa.
Tapi ibunya tidak tau kalau Dea, tetangga sebelah rumahnya seusia dengannya sudah bilang kalau mereka datang untuk menagih hutang ibunya yang tidak sedikit. Dimana Informasi itu Dea dengar langsung dari kedua orang tuanya.
Hujan menyisakan rintik, Itsa menggenggam erat tangan ibunya yang kembali membawanya berjalan. Cukup jauh dan Itsa sangat asing dengan tempat ini. Rumah bertingkat dua dengan pagar hitam. Itsa berdiri berhadapan langsung dengan pintunya yang tertutup, di sebelahnya ada sebuah koper berisi beberapa baju yang sempat di bawa.
"Itsa dengerin ibu nak, kamu mau jadi anak yang baik kan?" Itsa menganggukkan kepalanya. Rambutnya yang basah di elus sayang oleh ibunya yang berjongkok. Itsa tidak mengerti, tapi ibunya menangis.
"Ibu harus pergi, tapi nanti balik lagi" katanya setelah tangisnya sedikit mereda.
"Mau kemana? Itsa mau ikut ibu" wanita itu makin mengeraskan tangis nya. Dimana tanpa bisa Itsa cegah ia ikut menangis.
"Anak kecil gak boleh ikut, kamu tunggu disini sebentar ya ibu beli minum dulu" Itsa belum sempat merespon saat ibunya itu berdiri. Ia memencet bel sekitar tiga kali lalu kemudian pergi dari hadapan Itsa.
Pintu terbuka, Itsa tidak tau laki-laki yang sedang memandangnya bingung itu siapa. Ia kemudian membawa Itsa itsa masuk beserta kopernya juga. Mendudukkan Itsa di kursi teras dalam keadaan kedinginan.
"Dia siapa? Bukan anak selingkuhan mu kan?" Wanita dengan gaun tidurnya itu memandang tajam pria yang kini berjongkok membuka dan mengeluarkan semua isi kopernya
"Gak usah bikin masalah" komentarnya, ia menemukan sebuah amplop yang ia baca bersama wanita tadi. Itsa lagi-lagi tidak mengerti saat wanita itu kemudian berseru dengan marah memaki-maki dan menyebut nama ibunya berulang kali.
Itsa hanya bisa menangis.
Ia lapar haus dan kedinginan, tapi entah kenapa itu semua tidak berarti apa-apa takkala Itsa menyadari. Ibunya pergi, kata sebentar darinya nyatanya tidak benar. Itsa di tinggalkan, di rumah yang tidak pernah menerimanya bahkan hingga Itsa dewasa.
Nafasnya memburu, Itsa menyingkap selimut yang menutupi tubuhnya ketika ia justru kepanasan. Ia bangun dari kasurnya, berjalan menuju dapur lalu meminum air putih banyak-banyak langsung dari botolnya.
Selalu seperti itu, tiap-tiap Itsa sampai pada hari ulangtahun nya. Mimpi tidak berdasar dan terus berulang yang entah apa maknanya terus saja menggangu tidurnya.
Itsa mengusap wajahnya, ia tidak ingin menangis. Ia tidak ingin mengenang apapun, ia tidak ingin mengingat wajah ibunya yang sudah dengan tega meninggalnya, ia tidak ingin mengingat masa lalunya yang kelam. Tapi sekuat apapun ia menahan, air mata itu terlanjur turun dengan deras. Di lantai dapurnya yang dingin, Itsa terduduk dengan tangisnya yang makin keras.