Seminggu belakangan, Gara sudah pulang balik Bandung-Jakarta dalam waktu yang terhitung sangat berdekatan.
Pagi di bandung, siang ke jakarta, malam sudah kembali lagi di bandung.
Namun Gara tidak akan pernah mengeluh lelah meski memang ia merasa begitu, semua cara bisa ia upayakan jika soal Itsa.
Bicara soal Itsa, kemarin-kemarin Itsa sempat memintanya untuk tidak sering menginap di apartment nya. Iya bisa dibilang, selama hubungan mereka membaik ia memang jadi lebih sering tidur di apartment Itsa daripada apartment nya sendiri. Yang baru ia beli ketika pertama kali melihat Itsa di kota ini.
Andai unit di sebelah kamar Itsa kosong, Gara pasti sudah menempatinya agar lebih dekat dengan Itsa. Sayangnya semua memang tidak semudah ia berkeinginan.
Sebenarnya pekerjaan Gara disini sudah tidak mengharuskannya menetap, tapi ia juga tidak bisa meminta Itsa ikut bersamanya kalau gadisnya itu masih kuliah.
Tapi memang, Gara tetaplah sibuk karena mengurusi pekerjaannya juga tidak seringan itu. Ia sekarang sedang di salah satu restoran yang lumayan mewah. Sesuai janji yang ia buat sendiri, Gara menginginkan sebuah makan malam romantis bersama Itsa. Agaknya ia datang terlalu cepat karena Itsa masih di jalan menolak di jemput karena berbeda arah dan akan memakan waktu yang lama. Padahal Itsa, Gara bahkan bisa bertahan dalam pencariannya selama hampir dua tahun, mana mungkin ia tidak sanggup cuma untuk bolak balik saja?
"Silahkan pak" Gara yang sedang fokus pada tabletnya mendongak sekilas. Seorang pelayan memberikan buku menu sekaligus air putih yang di letakan sopan diatas mejanya.
"Saya belum mau pesan, masih nunggu orang" perempuan yang kini mengikat rambutnya tinggi itu mengangguk dengan senyum
"Kalau begitu silahkan panggil saya kalau bapak sudah mau pesan, saya___
Kalimatnya tidak berlanjut, ia ikut menoleh karena seruan riang Gara pada seseorang yang baru saja datang.
"Sini sayang" katanya, pria itu berdiri mengulurkan tangan yang langsung di sambut Itsa.
"Kamu dari tadi?" Gara menggeleng, merapikan anak rambut Itsa yang bertebaran di sekitar dahinya.
"Belum terlalu lama" Gara kemudian menoleh kembali pada si pelayan yang kini fokus menatap Itsa. Itsa sendiri belum menyadari karena menunduk merapikan tasnya yang berat karena habis kuliah.
"Saya pesan sekarang aja mbak" mendengar suara Gara itulah Itsa baru ikut menatap pelayan di depan mereka. Itsa terdiam, ekspresinya berubah datar, menatap pelayan di depannya tanpa minat.
"Kamu mau pesen apa sayang?" Gara mendekatkan buku menu itu pada Itsa yang juga langsung mengalihkan pandangannya.
"Disini yang enak apa?" Itsa menoleh kembali pada si pelayan.
Dia Neysa, yang entah kenapa bisa menjadi pelayan. Maksud Itsa, mereka seumuran. Harusnya Neysa juga kuliah sama seperti dirinya. Ia agak kaget karena Neysa di masa lalu adalah sosok yang tidak ingin mengerjakan apapun.
"Mbak?" Tegur pelan Gara karena si pelayan hanya diam saja. Ia tidak tau betapa terkejutnya Neysa yang menatap itsa setelah apa yang pernah terjadi dulu.
Roda kehidupan itu nyata adanya. Dia yang dulu sering mengolok, memanfaatkan, mengejek, dan menyiksa Itsa kini sepertinya berbeda. Itsa dengan pakaiannya yang modis sedang duduk menatapnya datar yang adalah seorang pelayan sekarang.
Mencoba tetap profesional, Neysa menjabarkan dengan gugup menu-menu pilihan dan banyak di minati yang kiranya membuat mereka tertarik. Dalam hati Neysa penasaran, hubungan Itsa dan si pria adalah sepasang kekasih atau sepasang suami istri mengingat ia dan keluarganya benar-benar putus hubungan dengan Itsa. Meski andai jika Neysa di posisi Itsa ia pun akan memilih putus hubungan saja.
Gara memesan kemudian, menyuruh pelayang segera meninggalkan ruangan VIP yang ia pesan.
Itsa tidak sadar memandangi Neysa terlalu lekat hingga Gara membuatnya tersentak karena mencium pipinya tiba-tiba
"Kenapa sih di liat gitu banget?" Itsa menggeleng pelan. Seperti apa yang ia bilang pada Kalya, ia tidak mau peduli. Meski mungkin ia penasaran ia akan memendamnya sendiri. Untunglah karena Gara tidak tau Neysa.
"Kamu kenal?" Gara perhatikan, Itsa agak menatap pramusaji tadi agak berbeda dari tatapannya yang biasa
"Enggak" namun karena ia bilang begitu maka Gara akan setuju. Mereka kemudian makan dengan damai. Gara yang makin hari makin terbuka dengan kehidupannya menceritakan soal pekerjaannya pada Itsa.
"Terus kenapa masih bolak-balik?" Tanya Itsa ketika Gara selesai menceritakan kerjaanya yang sudah tidak mengharuskannya berada disini terus.
"Karena kamu disini" ia menunggu Itsa begitu lama lalu kemudian setelah penantiannya itu berakhir ia harus berjauhan dengannya lagi begitu?
"Tapi kerjaan kamu disana" Gara berhenti mengunyah, menatap Itsa dengan tatapannya yang serius
"Apa pentingnya itu kalau kamu jauh dari saya?" Itsa terdiam. Kadang ada rasa senang ketika Gara menjadikannya prioritas diatas segala urusannya bahkan mungkin keluarganya.
"Mama kamu apa kabar?" Giliran Gara yang terdiam, ada sedikit rasa kesal di hatinya mendengar pertanyaan itu.
Kenapa wanita senang sekali memicu keributan sih?
"Gak usah bahas hal-hal yang bisa bikin hubungan kita gak bagus. Saya gak mau jawab pertanyaan kamu" Itsa tertawa kecil, ekspresi kesal Gara di depannya membuat tangan Itsa reflek mencubit pipi pria itu. Dan tentu saja, Gara akan selalu bereaksi, ia mengambil tangan Itsa dari pipinya mencium tangannya hingga Itsa geli sendiri
_____________
Itsa sedang mencuci tangannya di toilet saat Neysa masuk dengan wajahnya yang gugup. Itsa awalnya tidak bereaksi, ia tetap mengelap tangannya dengan tisu kemudian hendak pergi.
"Sa, lo gak mungkin lupa sama gue kan?" Itsa menatap datar, memang apa yang membanggakan dari mengingat Neysa dengan kelakuannya yang selalu membuatnya sakit hati?
"Gak inget, permisi." Neysa menahan lengan Itsa yang hendak keluar. Apa yang di harapkan Neysa? Ia akan menyapanya bahagia karena telah lama tidak berjumpa begitu? Itsa sudah bilang, ia tidak sebaik itu untuk beramah-tamah pada mereka setelah semua sakit hatinya.
"Lo tinggal dimana sekarang, gue____
Itsa menyentak kasar tangan Neysa hingga terlepas dari lengannya. Membiarkan raut keterkejutan Neysa serta tatapannya yang tak menyangka itu ia nikmati.
"Jangan bersikap seolah kita akrab, gue gak kenal dan gak mau kenal sama lo" Itsa tidak membentak, namun rasanya Neysa merinding mendengar nada dinginnya.
Kemudian Itsa keluar dari sana, ia mungkin memang jahat. Tapi jika melihat kebelakang, apa yang Neysa lakukan dan juga keluarganya dan terutama adalah ibunya lebih dari apa yang Itsa lakukan. Jadi ia tidak akan merasa jahat, ia tidak akan kasihan, dan ia tidak akan berusaha mengubah itu.
"Kenapa kok lama?" Itsa justru terkejut mendapati Gara sudah berdiri di depan pintu toilet. Pria itu menyusul setelah melihat pelayan tadi turut memasuki toilet tepat setelah Itsa masuk.
"Gak papa" Itsa mengambil lengan Gara, membawanya keluar dari sana hingga akhirnya mereka duduk berdua di dalam mobil Gara yang bersiap mengantarnya pulang.
"Saya benar-benar gak boleh tau hubungan kamu dengan perempuan tadi?" Itsa tidak kaget, Gara sepertinya memang telah berdiri lama disana hingga mendengar interaksinya dengan Neysa.
"Kalau kamu masih ingat tante Siska atau om Darma, dia anaknya." Gara mengangguk, mendengar Itsa menolak mengenalnya sepertinya hubungan keduanya memang tidak baik.
Gara menolak membahas meski penasaran, lebih baik ia penasaran daripada Itsa tidak nyaman.
"Hari minggu, bisa ikut saya?" Itsa menoleh, menatap Gara yang sibuk menyetir
"Kemana?"
"Ke jakarta, jadi pasangan saya ke acara pernikahan temen saya" Itsa memang lahir dan menghabiskan banyak waktunya di sana, tapi mengingat kenangannya juga terlalu buruk dan terjadi disana adalah pertimbangan Itsa untuk tidak kembali. Tapi ia tidak sanggup menolak Gara setelah banyaknya penolakannya selama ini.
Maka atas persetujuan Itsa, Gara tidak bisa mengelak dari rasa bahagianya, ia mengambil tangan Itsa dan menciuminya berulang kali.