Ujian tengah semester berjarak sekitar tiga hari lagi, sama halnya dengan kebanyakan siswa yang belajar mati-matian menjelang ujian, Itsa juga sama. Namun, berbeda dengan ujian di waktu-waktu sebelumnya, Itsa merasa kali ini jauh lebih sulit karena hari-harinya kini lebih banyak di habiskan di kafe dengan bekerja. Itsa selalu mencicil belajarnya setiap mendekati ujian demi mempertahankan nilai dan beasiswa nya. Kadang memang itu melelahkan, Itsa juga ingin santai, itsa ingin-jika pun nilainya hanya begitu, ya sudah maka begitu saja- tapi tidak bisa karena dengan cerdas dan bernilai unggul lah beasiswa ini bisa bertahan. Sedikit lagi dan sebentar lagi masih akan Itsa tahan, lalu setelah itu ia akan memasuki dunia universitas dengan uang yang ia tabung sedikit demi sedikit. Itsa memang merasa hidupnya semakin berat saja, tapi tidak ada pilihan untuk dirinya menyerah juga.
Siang ini kafe sedang tidak begitu ramai karena hujan yang mengguyur sejak subuh hari itu belum berhenti juga, tidak ada jeda ribuan bulir air itu menjatuhi bumi bahkan sejak matahari belum muncul. Itsa saja tetap basah meski mengenakan payung, untungnya Itsa bawa dua pakaian dari kost untuk kemudian menggantinya sesampainya di kafe.
Itsa sedang duduk di salah satu meja pengunjung, di sudut ruangan jauh dari jangkauan beberapa orang yang menempati meja lain dengan kesibukannya sendiri. Gadis itu membuka lembar demi lembar catatannya yang rapih dan tertata. Mengkaji ulang, membaca setiap baris demi baris, memaksa otaknya mencerna dan mengerti setiap tulisan disana. Tidak ada banyak pekerjaan, maka Itsa memutuskan untuk mencicil materi belajarnya seperti kebiasaannya sejak beberapa hari lalu.
Itsa sudah tenggelam dalam fokusnya saat kursi di depannya di tarik untuk kemudian di duduki oleh seseorang. Itsa memasang senyum profesional sembari menundukkan sedikit kepalanya sebagai sapaan.
"Belajar lagi Itsa?" Itsa mengangguk dengan senyum tipisnya, gadis yang saat ini sedang mengikat satu rambutnya itu memang tidak pernah tidak tegang jika berhadapan dengan Dewangga Bayuseno, sepupu Kalya sekaligus atasannya.
Pria itu ramah, sama seperti pertama kali Itsa temui. Untuk ukuran seorang bos. Angga memang baik. Karyawan lain juga sepakat dengan Itsa.
Itsa teringat, mengenai hari-hari ujiannya. Mungkin Itsa bisa meminta keringanan waktu seperti saran Kalya sejak beberapa hari yang lalu. Itsa sudah ingin membahas ini sejak lama tapi selalu tidak berani, Itsa masih terbilang baru, baru kemarin ia genap satu bulan bekerja pada Dewangga.
"Ehm..mas, aku boleh minta keringanan waktu selama aku ujian gak? Selama ujian aja" buka Itsa tanpa basa-basi. Dewangga menolak di panggil pak dengan alasan usianya belum setara bapak-bapak dan belum menjadi seorang bapak
Sebenarnya Angga memang sudah memikirkan itu, mengingat Kalya yang juga sedang gila belajar mendekati ujian. Seperti sama halnya Itsa, Angga memang sudah berencana memberi Itsa ruang hingga ujian nya selesai. Tapi, mari kita lihat bagaimana Itsa mengatasi ini.
Angga berdehem singkat, mengubah posisinya lebih tegak dan melipat kedua tangannya di dada.
"Berapa hari?" Pertanyaan retoris macam apa itu? Mengapa dia bicara seolah tidak pernah sekolah? tidak tau ujian?
Di tanya begitu, dengan raut wajah Angga yang terlihat sangat serius membuat nyali Itsa sedikit berkurang
"Mungkin sekitar, seminggu. Tapi bisa juga lebih" suara Itsa memelan, tidak sepercaya diri sebelumnya. Apalagi Angga kini terdiam menatapnya
"Tapi..tapi aku gak papa kok kalau gajinya di potong selama aku gak kerja" iya, tidak masalah. Asal Itsa masih bisa kembali. Setelah lulus, sembari menanti pendaftaran universitas terbuka dan menyapa hari-hari kuliah, Itsa bisa bekerja dan mengumpulkan uang. Berencana memang semudah itu.
Tawa Angga berderai, memandangi ekspresi Itsa yang semulanya bersemangat lalu berangsur menjadi tidak enak itu seolah menghibur dirinya yang memang kurang liburan ini.