ONE STEP CLOSER

1.4K 112 0
                                    

Jouska punya kebiasaan membuat menu spesial di tiap hari sabtu. Kalya adalah gadis yang begitu suka membuat kue, berteman dengan Kalya selama bertahun-tahun ini membuat Itsa jadi terkena imbas atas hobi Kalya.

Perempuan yang kini sedang fokus pada adonan di depannya sedang mempraktikkan ulang apa yang sudah Kalya ajarkan padanya. Di hari sabtu, Jouska menyediakan menu spesial yang akan berubah tiap minggunya, pilihan Itsa kali ini jatuh pada blueberry cheese cake yang resepnya di dapat langsung dari mamanya Kalya yang juga punya toko kue di jakarta.

Kalya sendiri sedang menemani pacarnya entah kemana Itsa tidak ingat, alhasil ia dengan dua karyawan lainnya saja yang sekarang sedang sibuk di dapur.

"Emang enak banget kak, pantes banyak yang beli" kata Alma, yang melihat sendiri bagaimana blueberry cheese cake berulang kali di buat ulang karena banyak permintaan.

"Bagus lah kalau enak, resep mamanya Kalya emang gak pernah gagal" sahut Itsa turut merasa bangga karena berhasil menyajikan cheese cake itu dengan baik dan enak.

"Kak, ada yang cariin di depan" Itsa baru saja selesai melepas apronnya sehabis menyelesaikan kue terakhir- menoleh pada prita yang masih berdiri di ambang pintu dapur.

"Siapa?" Prita menggeleng, Itsa sebenarnya lebih suka berada di dapur ketika sedang disini. Ia malas beramah tamah di depan banyak orang di luar.

"Cowok kak, ganteng lagi" kalimat terakhir Prita yang tidak Itsa tanggapi.

Pukul tiga sore, kafe sudah tidak terlalu ramai. Hanya ada lima meja yang terisi termasuk pria dengan kemeja putih disana. Menatap Itsa dengan senyumnya yang tidak tertular pada Itsa.

Itsa tau ini akan terjadi, mengingat akhir-akhir ini pria itu rutin selalu mengirim makanan ke apartment nya, mengiriminya banyak pesan yang entah ia dapat dari mana nomornya, dimana Itsa juga memohon untuk pria itu tidak mewujudkan niatnya mengantar dan menjemputnya kuliah.

Dia, Sagara Janardana. Yang entah kenapa memiliki banyak waktu luang menganggu hidupnya yang sudah lumayan damai.

Kadang Itsa bertanya pada dirinya sendiri, apakah Gara tidak punya kesibukan di jakarta? Apakah sekarang dia pengangguran?

"Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?" Namun Itsa sebagai pemilik haruslah tetap ramah pada semua pelanggan nya tanpa terkecuali.

"Saya dengar ada menu spesial hari ini, boleh saya tau itu apa?" Gara menjawab tak kalah ramah, menahan diri untuk tidak mendatangi Itsa di apartment agaknya terbalas disini.

Itsa menoleh kebelakang, melihat Alma dan Prita juga sedang sibuk, melihat sang kasir Tia juga sedang izin ke toilet dan belum kembali. Terpaksa, Itsa harus turun tangan.

"Kita ada blueberry cheese cake mas, kalau mas tertarik saya bisa ambilkan sekarang" Itsa tersenyum lebar, sayangnya ia juga terpaksa menyebut kata mas karena merasa tidak sopan memanggil Gara pak disini.

"Itu enak?" Tanya Gara mencoba menjadi pembeli yang menyebalkan.

"Enak kok mas, buatan saya sendiri. Dari resep terpercaya yang saya buat dari bahan-bahan berkualitas" Gara menganggukkan kepalanya mendengar penjelasan Itsa. Mata pria itu menyusuri buku menu sok fokus dan serius.

"Boleh deh, sekalian saya juga pesan cappucino ya. Dengan sedikit gula, tolong." Jika mungkin sekarang di depan Gara adalah Prita, melihat senyum Gara yang menawan akan membuatnya melayang, tapi Itsa? Ia hanya membalasnya senyum tipis lalu pamit ke dapur. Namun, langkahnya yang baru tiga langkah itu harus terhenti karena Gara kembali memanggilnya.

"Saya mau kamu sendiri yang antar"

Itsa menghela nafas, Gara apakah sedang balas dendam padanya?

"Tapi saya bukan waiters" ucap Itsa tidak lagi dengan nada ramah dan senyumnya.

"Tapi saya pelanggan" ok, Itsa mengalah. Ia mengambil dua potong kue dan secangkir cappuccino yang tadi Alma buatkan ke meja Gara yang kini sudah membuka Ipad-nya diatas meja. Pandangannya beralih pada Itsa yang meletakan nampan berisi pesanannya

"Ini pesanannya mas, selamat menikmati" Gara menahan pergelangan tangan Itsa saat gadis itu sudah hendak pergi.

"Saya lebih suka di panggil mas, jangan panggil saya bapak lagi karena saya sudah bukan guru kamu" tentu agar segalanya menjadi mudah dan cepat selesai, apa yang bisa itsa lakukan selain setuju? Itsa menganggukkan kepalanya satu kali

"Ok, tolong lepas saya harus ke dapur" Gara melepaskannya, namun menyesal setelahnya karena Itsa justru menghampiri meja di sudut ruangan yang baru saja di duduki pria yang sama yang ia lihat di pameran mobil waktu itu.

Dimana mobil yang ia beli waktu itu tidak ia pakai sama sekali meski harganya sangatlah mahal.

Pria itu juga meliriknya sekilas lalu kembali mengobrol dengan Itsa. Gara memang tidak pernah mengakui betapa ia tidak suka Itsa seakrab itu dengan laki-laki lain apalagi hubungannya dengan Itsa sekarang sedang tidak baik-baik saja.

Gara tidak pergi dari kafe itu sampai dua kuenya habis, sampai gelasnya kosong, sampai pria itu pergi, sampai kafe hanya menyisakan dirinya sendiri.

Itsa yang melihat itu sudah mulai jengah, ia menghela nafasnya berat sebelum mendatangi meja Gara. Mengambil piring dan gelas kosong Gara menyusunnya diatas nampan dengan mata Gara yang mengikuti setiap pergerakannya.

"Ini udah lima jam kamu duduk disini, emang kamu gak ada kerjaan lain?" Sudah lama Gara tidak melihat Itsa mengomel ya?

"Saya disini kalau kamu disini, saya bisa dimana pun asal ada kamu" Itsa menatap Gara jengkel, kalimatnya barusan sangat tidak membuatnya tersanjung.

Meski mungkin Itsa sedang berusaha menghapus apapun tentang pria itu dalam hidupnya, Itsa benci ketika dirinya masih saja memerhatikan dengan baik seorang Gara. Itsa khawatir perasaan yang sudah lama ia paksa menghilang kembali terkenang.

"Kamu belum makan apapun lagi selain kopi dan kue tadi, mending cari restoran dan makan berat" ucap Itsa setelah lama terdiam, mempertimbangkan kalimatnya agar tidak di maknai salah oleh Gara yang kini menatapnya begitu lekat.

"Semuanya memang berantakan sejak saya kehilangan kamu" jawaban Gara membuat degup jantung Itsa menggila.

Ya, gara tidak bohong. Jangankan makan, istirahat saja Gara tidak jika bukan karena ketiduran. Karenina sampai memintanya mendatangi psikolog karena perubahan hidupnya yang begitu signifikan.

Gara adalah orang yang teratur meski sulit diatur, ia punya kegiatan yang tersusun, ia punya pola hidup yang sehat dimana semua itu hancur berantakan sejak Itsa tidak lagi ada di sekitarnya dan tidak dalam jangkauannya.

Mata Itsa memanas menatap Gara dan ia khawatir akan kembali tergelincir.

"Kami gak punya menu makanan berat" mengingat Jouska memang hanya fokus pada dessert dan makanan ringan, Itsa berharap Gara peka dan segera pergi

"Kita harus bicara Kara, harus"

Gara membutuhkan penjelasan dan alasan mengapa Itsa meninggalnya begitu tiba-tiba, meski sedikit banyak ia sudah tau dengan usahanya sendiri yang gila-gilaan mencari Itsa ke semua tempat yang ia tau.












WABI-SABI✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang