Di pukul enam pagi, Galang yang menginap di apartemen Gara meski sudah di usir-menatap tidak percaya pada apa yang ia lihat kini. Ia sampai menepuk-nepuk pipinya berulang kali karena berfikir mungkin saja ia masih belum sadar dari tidur tidak berkualitasnya semalam.
Sagara Janardana. Pria yang jujur saja ia sayangi sebagai sahabatnya, pria yang beberapa tahun belakangan seperti mayat hidup, pria yang hidupnya berantakan dan amat sangat tidak teratur, pria yang seolah mengisolasi dirinya sendiri, kini sedang duduk di meja makan dengan secangkir kopi dan selembar roti tanpa selai.
Pemandangan yang sangat tidak istimewa. Namun Galang, dia terharu sampai nyaris meneteskan air mata mengingat betapa Gara giat sekali menghukum dirinya sendiri sejak beberapa tahun belakangan ini.
Jangankan sarapan, Gara bahkan enggan keluar kamarnya. Galang lah yang rela meninggalkan sebagian besar pekerjaannya agar dapat bersamanya dan memaksanya makan. Apalagi Galang dengar sendiri, dokter mengatakan Gara jadi terkena maag, lambungnya agak luka karena jarang di isi.
"Gara, lo..enggak papa kan?" Galang bertanya hati-hati. Biasanya di pagi hari, ia akan membuka kamar Gara dan menemukan pria itu sedang merenung menatap hamparan langit yang dapat dilihat dari jendela kamarnya. Dengan beberapa bungkus rokok dan beberapa botol minuman.
Gara mabuk tiap harinya, makan sedikit atas paksaan Galang. Dia juga tidak keluar rumah kecuali ke pemakaman. Kemarin, Gara bahkan hampir bersujud karena melihat Gara menyingkirkan botol-botol minuman yang ia simpan di kamarnya dan tidak merokok.
"Enggak" Gara menjawab singkat, menatap Galang sekilas dan kembali mengunyah rotinya pelan-pelan.
Semakin sedih saja Galang ketika melihat Gara akhirnya potong rambut. Galang sudah bilang, ia tidak terurus sejak cintanya hilang entah kemana.
"Habis ini lo boleh pulang, dan kembali kerja." Gara berucap lagi, dimana Galang mengangguki nya dengan semangat. Sebenarnya, tidak bekerja pun selama ini ia dapat uang dari Karenina yang memang adalah orang yang pada awalnya meminta Galang untuk tidak meninggalkan Gara. Karena Gara memang menolak orang lain, termasuk Karenina.
Tapi ini bukan soal uang, Galang disini murni karena Gara adalah sahabatnya. Ia sedih melihat bagaimana Gara belakangan ini.
Cinta itu mengerikan sekali sampai Sagara saja yang dulunya penguasa dapat diubah menjadi bukan siapa-siapa dan tidak bisa apa-apa.
"Lo gimana? Udah mau balik ke kantor?" Mengingat selama ini Gara sudah terlalu lama abai. Selama ini pula, jika bukan Galang dan beberapa orang kepercayaan lain yang banting tulang mempertahankan apa yang telah Gara bangun, Galang ragu perusahaan itu masih ada.
Meskipun, tanpa perusahaan itu, Gara tidak akan jadi miskin. Tolong jangan dilupakan, meski Gara sekarang enggan menemui keluarganya. Dia tetaplah Janardana. Eldie sendiri sudah mengatakan dengan lantang bahwa Gara tetap punya bagiannya sendiri, Karenina yang kebanyakan menangis akibat kondisi Gara pun tidak akan membiarkan Gara kesusahan materi. Hanya materi, karena nyatanya, Karenina tidak bisa melindungi Gara dari musibah patah hati.
Gara tidak menjawab pertanyaan Galang, ia menghabiskan kopinya lalu bergegas keluar. Galang biasanya mengikuti kemana pun Gara pergi karena khawatir, tapi kali ini, agaknya ia bisa tenang.
Galang menunduk, menghapus air matanya yang menetes. Dia bahagia. Sangat bahagia karena Gara telah pulih.
_________
Masih terlalu pagi untuk berziarah. Makam tentu saja sangat sepi. Udara sejuk karena semalam memang turun hujan.
Gara berjongkok, mengusap nisan di depannya. Menyingkirkan daun dan tetes-tetes air hujan sisa semalam.