Ekhem
Oriel terus menahan batuknya. Gudang belakang ini memiliki banyak sekali barang dan debu yang menempel juga cukup banyak.
Lauryn memberikan sebuah saputangan yang cukup lebar berwarna hitam pada Oriel. Saputangan dengan ukuran yang hampir sama dengan sebuah slayer.
"Pake, tutupin hidung sama mulut lo," titah Lauryn, "Lo pasti jarang di tempat pengap kayak gini, kan?" tanya Lauryn.
Oriel menurut. Ia mengambil saputangan dari Lauryn. Melipatnya menjadi segitiga dan mengikatnya di belakang kepala. "Baru kali ini dihukum begini," jawab Oriel dengan wajah datarnya. Ia kembali memindahkan beberapa barang bekas ke luar gudang.
"Udah gue tebak sih." Lauryn menaruh sapu dan kemoceng yang ada di tempat semula. Ia meregangkan otot-otot tubuhnya. "Akhirnya kelar. Waktunya istirahat." Ia duduk di salah satu kursi kosong yang ada.
Oriel kembali ke dalam gudang. Ia tersenyum tipis saat melihat Lauryn yang memejamkan matanya tak jauh darinya. Satu tangan gadis itu gunakan untuk menopang kepalanya sendiri.
Ceklek
Satu bunyi yang membuat keduanya sontak menoleh ke arah pintu gudang.
Tertutup.
Oriel melangkah menuju pintu. Laki-laki itu beberapa kali memutar kenop pintu gudang, tapi tidak bisa. Pintu gudang tertutup dari depan.
"Lau, kita kekunci," ucap Oriel memberi tahu keadaan pada Lauryn.
"Wah beneran?!" tanya Lauryn tidak terdengar takut sedikitpun, malah terlihat seperti antusias.
"Iya."
"Bagus deh. Gak perlu masuk dua pelajaran hari ini," ucap Lauryn. Ia kembali duduk di tempat tadi.
"Lo gak takut?"
"Apa yang perlu gue takutin? Lo ada disini nemenin gue," balas Lauryn, "minta bantuan juga percuma, ponsel gue ditinggal di dalam tas. Gue yakin lo juga ga bawa ponsel lo, kan?" tebak Lauryn. Pasalnya Oriel memang jarang sekali memegang ponsel, laki-laki itu lebih senang memegang buku.
"Terus gimana?" Oriel melihat satu-satunya jendela kecil berbentuk persegi yang cukup tinggi.
Lauryn mengikuti arah pandang Oriel. "Percuma. Kita gak bisa keluar lewat situ," ucap Lauryn, "kabar baiknya, kita gak akan kehabisan oksigen karena jendelanya terbuka." Ia kembali memejamkan matanya seperti posisi awal.
Oriel menghela nafas berat. Kenapa gadis di depannya ini tidak takut. Jangankan takut, rasa khawatir sama sekali tidak terdengar darinya.
"Jangan kebanyakan mikir Oriel. Duduk sini diatas meja samping gue. Kita bolos dulu sebentar."
"Lo terlalu santai." Oriel menuruti perkataan Lauryn. Ia duduk di atas meja samping Lauryn yang duduk di bangku.
Lauryn membuka matanya. Ia terkekeh kecil. "Dibilang gak ada yang perlu gue takutin disini." Ia mendongak menatap wajah Oriel yang tengah menatapnya balik.
"Apa?" tanya Oriel.
"Boleh gue tanya sesuatu ke lo?" tanya Lauryn. Ia tidak akan melewatkan kesempatan berdua ini dengan Oriel.
Oriel mengangguk mengiyakan. "Asal jangan macam-macam," peringat Oriel. Ia juga menepuk puncak kepala Lauryn sebagai peringatan.
Lauryn kembali terkekeh kecil. "Iya engga. Gue cuma mau nanya tentang bokap lo," balas Lauryn, "apa dia masih marah soal yang terakhir?" tanya Lauryn.
"Maksudnya lo, soal berita itu?"
Lauryn mengangguk mengiyakan. "Bokap lo udah ditipu sama bawahannya. Proyek di Bali itu makan korban, tapi orang kepercayaan bokap lo malah tutup mata." Lauryn menghela nafas pelan. "Nyawa nyokap lo terancam karena preman yang kemarin minta keadilan atas korban itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
FATE (END)
Teen FictionCerita On Going ⚠️Dilarang Copas, Plagiat dan melakukan hal-hal seperti plagiarisme ⚠️ Argani Putra Oriel, lelaki yang selalu berani menghadapi bahaya dengan wajah bak malaikat. Persis sekali dengan namanya. Oriel akan menjadi orang pertama yang tur...