Perseteruan berlanjut

11K 802 71
                                    

Putra tersenyum lega. Akhirnya, ia bisa menemukan Lauryn dengan mengikuti jejak darah dari gadis itu.

"Untung gue sekalian bawa P3K dari UKS," ucap Putra.

Saat Putra ingin mendekat kearah Lauryn yang kini duduk bersandar di salah satu tribun, sebuah tepukan ringan di bahu kanan menghentikan langkahnya.

"Biar gue aja," ucap Oriel mengambil alih kotak P3K dari tangan Putra.

Putra mengangguk mengerti. Ia kembali berkumpul dengan teman-teman yang lain.

Oriel perlahan melangkah menghampiri Lauryn. Mata gadis itu terpejam, dengan tangan kanan yang sama sekali tidak dihiraukan olehnya. Oriel duduk bersila dekat dengan tangan Lauryn yang terluka. Memindahkan tangan itu keatas pahanya dengan perlahan.

Lauryn tidak tidur, ia juga mendengar suara langkah kaki yang mendekat. Bibirnya tersenyum tipis saat menghirup aroma parfum yang sangat ia hapal dari Oriel. Ia membiarkan laki-laki itu mengobati tangannya.

Oriel meringis dalam hati saat melihat masih ada pecahan kaca kecil didalam tangan gadisnya. "Lau, kita ke rumah sakit," ajak Oriel.

"Luka kecil kayak gini gak akan bisa bikin gue mati, Oriel. Jadi, lo tenang aja," balas Lauryn dengan mata yang masih terpejam. Ia tidak mau Oriel melihat luka di hatinya lewat mata.

"Tapi gue khawatir, Lau," lirih Oriel. Ia perlahan fokus mengambil pecahan kaca yang ada, lalu menaruhnya di bungkusan tisu agar tidak terkena orang.

"Gue tau. Kita ke rumah sakit nanti kalau mau pulang. Sekarang pertolongan pertama aja dulu. Gue percaya lo bisa obatin," balas Lauryn. Ia menggertakkan giginya, saat Oriel perlahan membersihkan lukanya dengan kapas yang sudah diberi alkohol.

"Sakit bilang, jangan ditahan," ucap Oriel memperingatkan.

Lauryn terkekeh kecil. Mata yang sejak tadi tertutup, perlahan mulai terbuka untuk menatap wajah Oriel, pacarnya. "Omongan lo ambigu di telinga gu-Shh," ringis Lauryn kala Oriel baru saja mengolesi luka yang paling lebar.

"Sakit," cicit Lauryn.

Oriel menghela nafas kecil. "Tau sakit kenapa dilukain?" tanya Oriel sambil fokus kembali dengan luka Lauryn.

Lauryn kembali menyenderkan punggungnya ke tribun. Kepalanya mengadah menatap langit-langit. "Saat hati gue sakit dan lawan gue lemah kayak Anna, gue cuma bisa begini. Awalnya gue bisa tahan, tapi tiba-tiba amarah gue bertambah sama Anna. Gue juga gak suka dia ganggu gue, tapi tadi pas dia ngedorong Crista dan memojokkan sahabat gue yang lain, gue gak bisa tinggal diem."

"Apa yang Anna bilang juga ada benarnya. Gue emang gak bisa terbuka ke sahabat gue. Karena gue gak mau mereka tau siapa gue sebenernya. Gue juga gak mau kalau mereka kena bahaya sewaktu-waktu nanti."

Lauryn menoleh kearah Oriel. "Lo tau? Gue udah sering kehilangan orang yang dekat dengan gue di depan mata gue langsung. Mereka semua dianggap sandera dan akan mati kalau gue jadi pembangkang. Itu cara terampuh Mr. Neron buat memperalat gue."

"Dia licik. Dia sengaja bikin gue dekat dengan anak-anak angkatnya yang lain, biar dia bisa ngancem gue buat gak jadi pemberontak. Dia selalu punya cara, makanya gue takut. Kalau misalnya nanti Mr. Neron tau gue disini, dia pasti bakal ngancem gue lewat kalian. Gue sengaja bikin kalian gak tau apapun tentang gue. Gue sengaja, Oriel," lirih Lauryn diakhir kalimatnya.

Oriel yang sedang melilitkan perban ditangan Lauryn terhenti. Laki-laki itu membawa Lauryn dalam dekapannya. Tangannya mengusap-usap lembut belakang kepala Lauryn yang tertutup hoodienya.

"It's okay Lau. Ada gue disini. Lo gak perlu cerita apapun, kalau lo takut itu. Gak ada yang maksa lo, Lau. Crista, Prisil sama Clara pasti ngerti," ucap Oriel menenangkan di telinga Lauryn, sampai tidak sadar air matanya menetes.

FATE (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang