Anna sulit sekali memejamkan mata malam itu. Matanya masih melihat ke langit-langit.
Meskipun temaram, dia masih bisa menyaksikan bagaimana dua ekor cicak saling berebut makanan; seekor nyamuk yang kebetulan menghampiri mulut mereka. Anna tersenyum sendiri ketika menyaksikan kelakuan cicak itu.
Truk ...
Tiba tiba saja samar-samar Anna mendengar suara benda terketuk. Mungkin itu hanya pintu yang dibuka oleh Ayah. Batin gadis itu berprasangka baik saja. Dia tidak mau memikirkan hal buruk, meskipun dia pun merasakan kegelisahan sehingga sulit memejamkan mata. Baginya, itu bukan hal aneh. Tikus pun suka membuat keributan kala malam.
Anna tidak mau memusingkan suara yang didengarnya. Dia kembali berusaha memejamkan mata. Gadis itu pun berharap pikirannya menjadi kosong agar bisa merasakan kantuk dan tidur terlelap.
"Arghhh!"
Sayang, usaha Anna untuk memejamkan mata kembali gagal. Dia mendengar suara orang berteriak. Itu suara ayahku.
Dengan bergegas, Anna menyingkapkan selimut yang membalut tubuhnya. Dia turun dari tempat tidurnya, memakai sandal kemudian berjalan dengan langkah cepat ke arah pintu.
Dukk!
Suara benturan itu terdengar dari luar kamarnya. Darimana suara itu? Setelah pintu terbuka, Anna melihat ke sekeliling. Dia memicingkan mata ke arah ruang tengah, berusaha memastikan sumber suara itu dengan memicingkan mata. Lampu gantung di ruangan itu tidak banyak membantu penglihatannya.
Hingga, akhirnya dia melihat pintu kamar ayahnya terbuka. Mungkinkah dari situ?
Anna berlari ke arah kamar ayahnya. Dia masuk tanpa harus mengetuk pintu, rasa kalut bisa melupakan tatakrama yang telah diajarkan orangtuanya. Kamar itu gelap, dia tidak bisa melihat karena lampu di kamar ayahnya padam.
"Ayah! Ada apa?"
"Anna, ayah tidak apa-apa."
Anna kembali berbalik arah. Dia membawa lampu yang terletak di meja makan. Menyalakannya, terasa sulit. Tangan gadis itu bergetar, gugup. Untuk melakukan hal sederhana pun dia kesulitan. Korek api berkali-kali memantikan api tetapi tidak bisa membuat lampu menyala.
"Ahh, Ya Tuhan."
Anna mencoba menenangkan diri, dia kembali mencoba menyalakan lampu. Ah, akhirnya berhasil. Lampu minyak itu dibawanya ke kamar sang ayah.
"Astaga, Ayah! Ayah kenapa?"
"Ayah, baik-baik saja."
Sulit rasanya untuk percaya jika orang di hadapannya baik-baik saja. Dia terluka. Darah mengalir membasahi baju, selimut hingga menetes ke sprei. Terlihat jelas jika pria itu dilukai. Dilukai siapa?
"Kejar, Anna ... kejar orang itu ...."
"Tidak, Ayah. Aku harus menolong Ayah."
"Ayah, bisa menahan lukanya. Sebaiknya kau kejar dia."
Anna menatap wajah Ayahnya. Meskipun samar, dia bisa melihat sorot mata pria itu. Ada sesuatu yang dipikirkan orang itu. Tapi, Anna tidak tahu sebelum dia tahu apa yang terjadi.
"Apa yang sebenarnya terjadi?"
"Nanti kita bicara, kejar dia Anna. Beritahu centeng-centeng ... dan polisi perkebunan ...."
"Ya ... baiklah."
Anna bergegas meninggalkan kamar orang tuanya. Dia berhenti ketika sampai di depan pintu. Gadis itu membalikan badan. Dia melihat senapan yang tergantung di dinding. Dengan gaun yang terciprat darah, Anna berusaha berjalan lebih cepat. Dia mengangkat gaun tidurnya hingga ke lutut. Senapan di dinding diambil kemudian dengan kedua tangannya.
Dengan senapan di tangan, Anna berlari keluar melalui pintu belakang. Astaga! Anna kaget ketika mendapati seorang penjaga sedang bergumul dengan pria berpakaian serba hitam.
Anna berdiri tegak, dia menarik nafas. Ahh ... Jemari lentik gadis itu menarik pelatuk lalu ..
Dor!
Sebutir peluru melesat membelah malam. Angin yang berhembus tidak sanggup menahan lajunya.
"Arghh!"
Suara teriakan terdengar. Sepertinya peluru itu mengenai tubuh orang yang dibidik.
Orang itu terjatuh, terhuyung. Tapi, dia kembali berlari ... hilang ditelan malam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan 3 Gadis Tangguh
ActionAnna menatap wajah Ayahnya. Meskipun samar, dia bisa melihat sorot mata pria itu. Ada sesuatu yang dipikirkan orang itu. Tapi, Anna tidak tahu sebelum dia tahu apa yang terjadi. "Apa yang sebenarnya terjadi?" "Nanti kita bicara, kejar dia Anna. Beri...