"Nyonya Van De Meer sangat mengkhawatirkanmu," Panca membuka percakapan ketika 2 kuda berjalan beriringan.
"Tadi kau ke rumahnya?"
"Ya, sudah 2 kali. Pertama, kau masih tidur. Kedua, ternyata kau sudah berangkat lebih dulu. Makanya aku tahu kau diberi bekal makanan. Dia bercerita juga tentang kejadian semalam, itu juga yang membuatnya semakin khawatir."
Anna tersenyum demi menanggapi kalimat Panca yang panjang.
"Dia juga menitip pesan jika nanti pulang lagi ke rumahnya, sebelum makan malam."
"Ya, aku usahakan."
Anna memperhatikan banyak hal dari atas pelana. Dengan langkah kuda yang pelan, berharap dia bisa menemukan apa yang dicarinya.
"Eee ... ngomong-ngomong, apa nama kudamu ini?"
"Aku belum memberinya nama. Aku hanya memanggilnya Si Jantan."
"Kalau kuda ini ... aku juga tidak tahu namanya, ini kuda sewaan. Kami sudah saling kenal, makanya dia bisa mempercayaiku."
Anna tidak memberi tanggapan pada berita yang disampaikan. Bagi gadis itu, membicarakan kuda bukan hal yang penting. Dia tidak tertarik banyak bicara, seperti biasanya. Dibalik wajahnya yang anggun, sikapnya yang kaku justru lebih menonjol dan mengurangi keanggunan itu.
"Kepercayaan, itulah yang menjadi masalahmu kini, Nona."
"Ah, kau hanya menebak."
"Ya, tapi benar begitu kan?"
Anna tidak memberikan jawaban.
"Perhatikan Si Jantan, kudamu ini percaya padamu. Dia masih setia menemanimu padahal dia bisa saja pergi ke tempat lain dan meninggalkanmu selamanya."
"Si Jantan ini sudah kami pelihara sejak bayi."
"Ya, aku tahu. Kau pernah mengatakan itu."
"Wajarlah jika Si Jantan bisa mempercayaiku."
"Karena ... Si Jantan percaya jika majikannya tidak akan meninggalkannya begitu saja meskipun dia sudah tidak dibutuhkan."
"Apa maksudmu bicara begitu? Kau menyindirku?"
"Hahaha!" Panca tertawa lepas ketika jalan pikirannya bisa ditebak.
"Kau harus tahu juga cara berpikir kami, orang Eropa."
"Maksudmu?"
"Orang Eropa sangat mementingkan keunggulan pribadi. Berbeda dengan kalian, orang pribumi ... yang lebih mementingkan keunggulan kelompok."
"Benarkah?"
"Nanti juga kau akan mengerti sendiri, jika ikatan diantara kami bukan semata karena sama-sama berkulit putih."
"Lalu, apa?"
"Kesamaan tujuan."
"Lantas, apa tujuan itu?"
"Kau tahu sendiri jika orang Eropa datang ke sini untuk memperkaya diri. Dan, kami bekerja sama karena itu."
"Pantas saja, aku heran kenapa rasa persatuan diantara kalian begitu rapuh."
"Ya, setelah aku mulai beranjak dewasa dan banyak membaca buku ... mulai kusadari jika kami adalah bangsa serakah yang ingin menguasai bangsa lain demi kepentingan pribadi kami sendiri."
"Ah, itu mungkin hanya prasangkamu saja."
"Tidak, karena contohnya terlalu dekat. Coba perhatikan perbedaan antara usaha yang dilakukan oleh orang tua kita."
"Tuan Eickman dan ayahku, Raden Bakti?"
"Ya, ayahku mendirikan usaha perkebunan dengan mempekerjakan orang-orang bukan atas dasar ingin saling membantu. Tapi, kami memperlakukan mereka sebagaimana hewan peliharaan. Jika sudah dianggap tidak berguna, kami akan membuangnya. Atau, bila perlu ... kami akan membunuhnya."
"Ah, benarkah sekejam itu?"
"Kau benar-benar tidak merasakannya? Mungkin kau harus banyak belajar, Panca."
"Lalu, bedanya dengan ayahku?"
"Perhatikan ayahmu, Raden Bakti mempekerjakan orang-orang sekitar agar mereka bisa hidup dan berdaya. Bahkan setahuku, semua tetanggamu dipekerjakan agar mereka tidak kelaparan. Suatu hubungan yang harmonis antara pekerja dan majikannya."
"Ya ya ya ... aku mulai mengerti."
"Setahuku, tidak ada tetanggamu yang diusir begitu saja padahal dia tinggal di tanah milik keluargamu?"
"Di perkebunan keluargamu?"
"Tentu sering kami memecat orang karena ulahnya. Terus terang, kami tidak menganggap mereka keluarga."
"Itu juga alasan kau sulit mempercayai orang-orang yang dekat denganmu, termasuk para pekerja perkebunan ayahmu?"
"Ya, makanya kami mempekerjakan banyak centeng dan polisi perkebunan."
"Ya, di kampungku kami saling menjaga. Sukarela."
"Di perkebunanku, penjaga keamanan bukan hanya untuk menjaga dari pencuri yang berasal dari orang luar."
"Tapi, juga orang dalam?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan 3 Gadis Tangguh
ActionAnna menatap wajah Ayahnya. Meskipun samar, dia bisa melihat sorot mata pria itu. Ada sesuatu yang dipikirkan orang itu. Tapi, Anna tidak tahu sebelum dia tahu apa yang terjadi. "Apa yang sebenarnya terjadi?" "Nanti kita bicara, kejar dia Anna. Beri...