Panca menuntun tali kekang seekor kuda yang ditunggangi seorang gadis Eropa. Kuda itu berjalan pelan, melewati jalanan kota yang dihiasi lampu-lampu gas dengan cahayanya yang remang. Di jalan itu, tidak ada yang menyapa mereka meskipun satu sama lain saling berpapasan. Tidak ada yang mau menyapa orang yang tak dikenal, apalagi seorang penunggang dengan penuntunnya.
"Panca, apakah kau tidak merasa jika orang-orang mengiramu sebagai bujang?"
"Ya, aku juga merasa begitu. Mau bagaimana lagi, sungguh tidak sopan jika aku harus berkuda bersamamu."
"Hehe," Anna tersenyum mendengar Panca bicara masalah tatakrama.
"Anna, apakah di sepanjang jalan menuju ke sini ... tidak ada sesuatu yang mengganggumu, selain komplotan di pinggir kanal tadi?"
"Kenapa kau bertanya begitu?"
"Aku hanya penasaran saja, betapa beraninya kau datang ke Batavia sendirian, tanpa pengawalan."
"Hanya masalah kecil, tidak usah kau hiraukan."
Hanya butuh beberapa langkah lagi untuk sampai di tujuan. Dari kejauhan sudah terlihat bangunan khas Cina berjejer di kedua sisi jalan. Malam sudah larut, tapi tempat itu masih ramai oleh orang-orang yang lalu lalang.
"Ternyata di sini lebih ramai ya." Anna keheranan dengan keadaan yang berbeda dibanding tempat-tempat lain di Batavia.
"Orang-orang Cina suka berkumpul kalau malam tiba. Mereka biasa berkumpul di rumah makan. Nah, salah satunya di rumah makan ini."
Tampak di pandangan Anna dan Panca, sebuah bangunan berlantai dua. Lantai dasar, dipenuhi orang-orang yang sedang menyantap hidangan atau sekedar minum-minum. Sedangkan di lantai atas, tidak terlihat orang ataupun jendela yang terbuka.
"Di atasnya, penginapan. Kalau kau berminat, bisa menyewa semalam di sini."
"Sepertinya, aku akan bermalam di sini."
"Kau membawa uang kan?"
"Hehe, kau meledekku atau benar-benar bertanya?"
"Bukan maksudku begitu, pelayan dari rumah makan ini adalah temanku. Jika kau tidak membawa uang, aku bisa meminta dia untuk mengijinkanmu menginap. Tapi, kau bisa membayarnya dengan membantunya menjadi pelayan sebagai bayaran."
"Panca, kau jangan bercanda. Batavia bisa geger jika melihat seorang gadis Eropa menjadi pelayan di rumah makan Cina."
Panca hanya tertawa mendengar celotehan Anna. Dia melilitkan tali kekang si kuda di tiang tambatan yang sudah tersedia di depan rumah makan itu. Anna pun turun dari kudanya kemudian mengikuti langkah Panca untuk masuk ke dalam rumah makan itu. Mereka disambut oleh seorang gadis pelayan yang sudah mengenal Panca.
"Selamat datang, Panca ... dan ... Nona. Silakan duduk."
"Apa kabarmu, A Ling?"
"Baik, baik sekali."
"Sepertinya rumah makan ini selalu ramai, ya."
A Ling mengangkat bahu dan tersenyum pada kedua tamunya. Gadis itu langsung berjalan menuju lorong ke arah dapur. Dia bermaksud mengambil minuman pembuka bagi kedua tamunya.
Panca dan Anna duduk di bangku kosong. Tidak ada tamu lain di meja yang sama. Kecuali mereka yang sudah berada di meja lainnya, tamu itu asyik dengan hidangannya sendiri. Kebanyakan tamu yang datang adalah sesama orang Cina, ada juga beberapa orang Bugis, dicirikan dengan ikat kepalanya yang khas.
Anna senang ketika memperhatikan ornamen gaya Cina di rumah makan itu. Ada banyak lukisan mulai dari kerbau, bangau hingga naga. Di setiap dinding ada lukisan yang berbeda. Hingga, pandangan Anna tertuju pada sekumpulan tamu yang selesai makan dan menikmati minuman penutupnya.
"Hei, Nona. Apa kabarmu?"
Salah seorang tamu itu berjalan mendekati Anna. Sepertinya laki-laki itu bermaksud menggoda gadis remaja itu.
"Hei!"
"Jauhkan tanganmu!"
Seorang pria bermaksud mencubit pipi gadis Eropa itu. Tapi, Anna mengelak.
"Menjauh dariku, atau kutembak!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan 3 Gadis Tangguh
ActionAnna menatap wajah Ayahnya. Meskipun samar, dia bisa melihat sorot mata pria itu. Ada sesuatu yang dipikirkan orang itu. Tapi, Anna tidak tahu sebelum dia tahu apa yang terjadi. "Apa yang sebenarnya terjadi?" "Nanti kita bicara, kejar dia Anna. Beri...