37

67 20 0
                                    

Menunggu petang menjelang, Anna malah dihampiri keresahan. Tubuhnya bisa beristirahat, duduk tenang memandangi hujan tapi pikiran gadis itu malah semakin tidak tenang.

Musim hujan sedang dalam puncaknya, kehadiran butiran air dari angkasa tidak bisa diprediksi kapan datangnya. Ketika hari sedang terang bermandikan cahaya, bisa tiba-tiba menjadi gelap kemudian hujan turun dengan derasnya. Sebaliknya, ketika malam telah gelap maka awan pergi dan membiarkan langit diterangi rembulan.

Cuaca yang kurang bersahabat, juga turut serta membuat bingung Anna. Ketika dirinya ingin sekali berkuda keliling kota, ternyata tersebar berita jika banjir melanda Batavia.

Anna duduk di kursi ruang makan. Gadis itu masih duduk bersama sekerat roti di meja. Tidak kunjung dihabiskan.

"Anna, habiskan dulu makananmu. Bukankah dari pagi kau belum makan?"

"Iya, Nyonya. Akan saya habiskan."

Nyonya Van De Meer memegang pundak gadis bermata cokelat itu dengan kedua tangannya. Mereka saling melempar senyuman.

"Kau tahu, Nak ... sudah lama sekali aku merindukan kehadiran seorang gadis di meja ini. Kami senang kau ada di sini, dan aku ingin malam ini kau menginap di sini."

Anna menganggukan kepala. Gadis itu merasakan sesuatu yang sudah lama tidak dirasakannya, kehadiran seorang ibu.

"Saya juga senang bisa menginap di sini."

Nyonya Van De Meer berjalan mondar-mandir dari ruang makan menuju ke dapur. Nyonya rumah sedang membuat sesuatu untuk membuat penyambutan kecil pada Anna.

"Sayang, sepertinya aku harus segera ke luar. Padahal, aku sedang malas ke luar rumah." Tuan Van De Meer berjalan menghampiri meja makan sambil mengenakan mantel.

"Bukankah di luar masih hujan? Katanya, banjir?" Nyonya Van De Meer mengingatkan suaminya.

"Ya, tapi kusir sudah menungguku di depan. Ada janji bertemu yang tidak bisa kubatalkan."

Sang suami mencium kening istrinya, mengambil topi yang tergantung kemudian berjalan tergesa menuju pintu utama. Anna menyaksikan keharmonisan khas keluarga Eropa yang sudah lama tidak tersaji di hadapannya. Selain karena ayahnya tidak mau beristri lagi, Anna pun lebih sering melihat orang pribumi yang memiliki cara berbeda dalam memperlakukan istri. Tanpa ciuman di depan orang lain.

"Anna, di rumahmu ... biasanya apa yang kau lakukan saat siang seperti sekarang? Memetik teh ... atau berburu?" Nyonya Van De Meer tersenyum lebar ketika melontarkan pertanyaan.

"Berburu, Nyonya. Memetik teh dilakukan pagi-pagi sekali."

"Oh, aku hanya bercanda, Sayang."

"Tapi itu betul, Nyonya."

"Gadis sepertimu ....?"

Pembantu yang sedang di dapur tersenyum ketika mendengar majikannya bertanya sambil bercanda pada tamunya. Mereka saling pandang.

"Ya, mungkin saya gadis yang ... entahlah ... bagaimana orang menyebutnya, mungkin ... aneh."

"Dengan senapan itu?"

"Ya, Ayah yang mengajarkan saya."

"O, ya kudengar Tuan Eickman pemburu yang hebat."

"Dulu, dulu sekali. Ketika saya masih kecil."

"Binatang apa saja yang kau buru?"

"Hanya burung, sesekali musang."

"Harimau?"

"Pernah, sekali."

Nyonya Van De Meer memasang wajah kaget. Seakan tidak percaya.

"Lebih tepatnya, harimau itu datang ke rumah."

"Wow, kau menembaknya?"

Anna tidak menjawab. Gadis itu hanya tersenyum.

"Jika melihatmu penampilanmu kini, aku tidak percaya kau bisa berburu hewan buas."

"Ayah sengaja mengajari saya. Nyonya tahu kan apa penyebabnya?"

Nyonya Van De Meer mengangkat alis mata dan menurunkan bibir di wajahnya. Dia mengangguk tanda paham apa yang dimaksud Anna. Apalagi saat Anna melirik ke arah dapur.

"Kalau begitu, aku tidak heran ketika kau mencuri perhatian. Padahal baru semalam tiba di Batavia. Aku yakin besok-lusa beritamu akan ada di koran. Kau akan cepat terkenal, seperti Panca."

Anna langsung terdiam mendengar nama itu. Panca.

"Sayangku, anak itu baik. Jika dia disegani banyak orang, wajar karena bagaimana pun dia seorang priyayi."

"Ya, saya tidak menyadari itu. Padahal, di kampungnya dia tidak ada bedanya dengan anak-anak yang lain. Dia mengembala domba, kuda, sapi bahkan berdagang gerabah menggunakan pedati. Dia anak pekerja keras."

"Kabarnya, ayahnya kepala desa yang mengayomi banyak orang sehingga dia dihormati di sana."

"Iya, betul. Bahkan, keluarga itu tidak mau terlihat berbeda dari yang lain. Rumah mereka pun sama dengan penduduk yang lain, beratap ijuk dan berdinding bambu. Rumah panggung. Hanya lebih luas."

"Kau sangat mengenalnya. Aku hanya kenal dia di pasar. Dan, kata orang-orang di sana ... anak itu dilindungi pamannya."

"Paman?"

"Ya, adik ayahnya. Makanya, jangan heran jika banyak orang yang segan pada anak itu."

"Paman? Saya belum pernah bertemu dengannya."

"Pamannya cukup berpengaruh di sini."

"Apa yang dikerjakan pamannya di Batavia?"

"Entahlah, orang itu cukup misterius. Aku sudah lama di kota ini, tapi belum betul-betul mengenal orang-orangnya."

 

Panca dan 3 Gadis TangguhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang