Bukankah orang-orang yang mengenali seluk-beluk perkebunan itu, lebih tahu kelemahannya. Hal itu itulah yang terngiang dalam pikirannya ketika dia duduk di beranda sambil menikmati secangkir teh yang tersedia di atas meja. Tuan Eickman masih belum bisa menerima kenyataan jika dirinya senantiasa berada dalam bahaya.
"Ayah tidak usah berpikir macam-macam terlebih dahulu. Biarlah polisi menyelidiki kejadian ini." Anna mencoba menghibur ayahnya yang sedang didera pilu.
"Entahlah, apakah Ayah juga harus mempercayai mereka."
"Kalau mereka tidak kita percayai, lalu siapa lagi yang akan kita percaya?'
Tuan Eickman tidak menjawab pertanyaan anak gadisnya. Atau, lebih tepatnya pertanyaan Anna itu sebagai pernyataan. Kalimat yang keluar dari mulut seorang gadis yang mulai tumbuh dewasa. Bukan hanya tubuhnya, pikiran anak sulung Tuan Eickman menjadi sejajar dengan orang-orang yang usianya jauh lebih tua.
Anna terpaksa, karena keadaan, untuk memikirkan banyak hal. Jika anak seusianya tidak dituntut untuk ikut campur terlalu dalam urusan orang tuanya, maka Anna malah sebaliknya. Dengan sengaja, Ayahnya selalu mengajak anak remaja itu untuk tahu apa yang dipikirkan orang tuanya. Mulai dari hal teknis mengenai bagaimana mengelola perkebunan hingga pada akhirnya dia pun harus turut serta memikirkan nasib usaha keluarga yang telah dibangun ayahnya; sebagaimana saat ini.
"Kalian ke mana saja ketika ada pencuri tadi malam?" Tuan Eickman bertanya dengan nada datar kepada 8 orang di hadapannya.
"Kami ada, Tuan. Berjaga" salah seorang yang ditanya menjawab sedangkan yang lainnya hanya tertunduk.
Ketika mendengar jawaban itu, Anna malah tersenyum. Dia merasa geli dengan jawaban seorang centeng yang terlihat gugup karena tidak bisa menjalankan tugasnya dengan baik.
"Kau, tahu ... aku hampir mati karena ditikam oleh pencuri itu. Dan ... tidak ada satu pun diantara kalian yang menolongku!"
Delapan pria yang berdiri di depan Anna dan Tuan Eickman hanya tertunduk malu. Tuannya pun sudah sulit menahan amarah padahal hari masih pagi.
"Siapa yang semalam bertugas menjaga menara?"
"Saya, Tuan" seorang pria berseragam polisi perkebunan menjawab dengan pelan.
"Kenapa lampu bisa mati?"
"Maaf, Tuan. Malam tadi, saya tidak bisa berhasil mengamankan pencuri itu. Dia ... tiba-tiba saja datang ... dan memukul saya dari belakang."
"Bagaimana bisa, apakah kau tidak mencium gelagat mencurigakan? Terus, langkah kaki dia ketika menaiki tangga menara, apakah tidak terdengar?"
"Tidak Tuan, saya tidak mendengar apa pun. Lagipula, dia naik bukan melalui tangga. Pintu masuk ke dalam menara terkunci dari dalam."
"Dia bisa ada di dekatmu, lewat mana?"
"Dia menaiki tali yang tergantung."
"Bagaimana bisa? Kapan tali itu ada di situ?"
"Entahlah, Tuan. Tapi, saya kira tali itu sudah ada di sana ketika terjadi pergantian tugas jaga. Menara kosong beberapa saat ....
"Sialan, berarti dia melempar tali berpengait ketika menara kosong!" Tuan Eickman marah sambil menahan rasa sakit di perutnya.
Suasana hening sejenak. Tidak ada kalimat yang terlontar dari mulut Tuan Eickman.
"Berarti ... dia ada di sekitar tempat ini hampir 4 jam sebelumnya. Karena, penjaga menara bergantian selang 4 jam." Anna memberikan perkiraan.
"Sepertinya begitu, Nona."
"Pantas saja pintu terbuka ketika aku bermaksud kembali menyalakan lampu menara."
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan 3 Gadis Tangguh
ActionAnna menatap wajah Ayahnya. Meskipun samar, dia bisa melihat sorot mata pria itu. Ada sesuatu yang dipikirkan orang itu. Tapi, Anna tidak tahu sebelum dia tahu apa yang terjadi. "Apa yang sebenarnya terjadi?" "Nanti kita bicara, kejar dia Anna. Beri...