43

69 22 0
                                    

"Panca, kenapa sih kamu selalu ....?"

"Hei, ini Batavia Nona. Kehidupanku di sini."

"Tapi kota ini luas! Kau bisa pergi ke tempat lain!"

"Ha, justru kalimat itu seharusnya ditujukan kepadamu, Nona. Kenapa kau datang ke sini?"

Anna memalingkan wajah, malu. Tangan kirinya memegang erat gagang senapan sedangkan tangan kanannya memegang erat tali kekang; gadis itu merasa gemas dengan situasi yang dihadapinya.

"Hei, aku tidak ke mana-mana. Pedati untuk mengangkut gerabah milikku dan pedagang lainnya ada di sana. Dekat dengan tempatmu berdiri, maksudku kudamu berdiri." Panca tersenyum geli dengan sikap yang diperlihatkan gadis berambut pirang itu.

"Heh," Anna membuang nafas, "baiklah ... aku pulang. Aku memang salah tempat, bukan tempatku untuk berada di sini."

"Hei hei, tunggu dulu. Jangan pergi dulu. Tolong katakan padaku ... apa yang membawamu datang ke mari ... dengan senapan di tangan?"

"Maaf, itu bukan urusanmu."

Anna menarik tali kekang. Si kuda melangkahkan kakinya, memutar arah untuk kembali berjalan menyusuri jalan sebelumnya.

"Tunggu Nona, kau mengejar pria yang membawa bilah bambu lagi?"

Panca berharap Anna menghentikan langkah kaki kuda tunggangannya. Tapi itu belum berhasil merayu Anna untuk bisa meladeni Panca bicara.

"Ah, kau hanya menerka."

"He, tapi benar kan?"

Anna terus menatap lurus ke depan. Tubuh gadis itu duduk tegap di atas pelana. Rambutnya yang terurai menghalangi punggungnya yang ramping. Sedangkan Panca berlari-lari kecil mengejar si kuda yang masih berjalan.

"Ayolah, aku mengenal orang dengan ciri-ciri seperti itu."

"Lalu?"

"Aku bisa mencari ...."

"Aku bisa menyelesaikan masalahku sendiri."

Panca diuntungkan oleh semburat cahaya yang tiba-tiba saja datang mendekat. Cahaya lampu petromak dari 2 orang polisi yang sedang berpatroli.

"Nona, bagaimana ... apakah dia bisa terkejar?" salah satu polisi menanyakan sesuatu dari atas kudanya.

"Tidak ada, nihil."

"Ah, ke mana sebenarnya dia? Apakah Nona yakin jika dia berlari ke arah sini?"

"Saya yakin dia berlari ke arah sini."

"Apa yang meyakinkan Nona?"

"Bukankah sarang mereka ada di wilayah ini?"

"Mereka? Bukankah jumlahnya ...?"

"Ya, memang hanya satu yang datang ke rumah Tuan Van De Meer. Tapi, saya yakin teman mereka sedang menunggu di sini."

Anna mengarahkan pandangan pada Panca yang berdiri di sebelah kanan si kuda. Nampak sekali wajah anak remaja itu belum menangkap maksud percakapan antara Anna dan kedua polisi itu. 

Dua orang polisi melemparkan senyuman pada Panca yang masih belum paham apa yang dibicarakan. Wajah polisi itu tampak tenang. Mereka bisa menyembunyikan isi pikirannya di balik seragam biru yang dikenakannya.

"Raden Panca, kau belum tidur?" seorang polisi lainnya bertanya sekedar berbasa-basi.

"Ya, saya sulit tidur ... karena memikirkan nasib teman saya yang tidak mau menganggap saya sebagai temannya lagi." Panca bisa menangkap keramahan polisi itu dibandingkan gadis di dekatnya. Hanya senapan dan pedang yang menjuntai pertanda ketegasan yang mereka pertontonkan.

"Baiklah, jikalau begitu ... saya do'akan semoga temanmu mau berbaik hati dan menerimamu kembali."

Kedua polisi itu pamit pergi. Mereka berkuda dengan laju sedang, bersiaga demi menjaga keamanan ibu kota. Dalam kegelapan, mereka masih berusaha mengarahkan lampu petromak ke berbagai arah. Mencari sesuatu.

Di sisi lain, Anna belum mau mengajak kudanya untuk kembali berjalan. Dia menunggu polisi itu benar-benar hilang dari pandangan.

"Jadi, kau ingin kita berbaikan?"

"Oh, tentu saja. Seperti sediakala."

"Maafkan aku jika ...."

"Tidak ada yang perlu dimaafkan. Aku mengerti jika kau penuh kecurigaan padaku karena aku dikenal banyak orang."

"Ternyata kau begitu terkenal di sini. Dua polisi tadi pun mengenalmu. Tadinya aku mengira hanya penjahat saja yang mengenalmu."

"Jadi ... bagaimana?"

"Bagaimana ... apanya?"

"Maksudku, apakah keberadaanku cukup dibutuhkan di sini? Kalau tidak, aku mau kembali ke pedati. Aku ingin tidur, karena besok harus pulang ke Desa Pujasari."

"Baiklah ... silakan saja. Lagipula aku harus kembali ke rumah Tuan Van De Meer."

"Jadi benar ada apa-apa dengan Tuan Van De Meer?"

"Ada orang yang mau mencuri di rumahnya."

"Dia tertembak olehmu?"

Anna menatap tajam Panca. Bagaimana dia tahu?

"Tangan kanannya?" Panca terus menerka.

Anna semakin heran dengan kalimat yang terlontar dari mulut orang di hadapannya. Anak ini ternyata punya informasi yang kubutuhkan.

Panca dan 3 Gadis TangguhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang