10

84 25 0
                                    

"Lalu, yang lainnya ... ke mana saja ketika aku dalam bahaya?"

"Maaf, Tuan. Kami ... pingsan."

Lagi-lagi Tuan Eickman dibuat kesal dengan orang-orang yang seharusnya bertugas menjaga keselamatan dia dan Anna. Anak gadisnya hanya tersenyum meledek karena melihat laki-laki yang gagah dalam penampilan tetapi tidak sanggup menjalankan tugasnya sebagai tenaga keamanan.

"Bagaimana bisa kalian pingsan?"

"Keadaan begitu gelap. Saat kejadian itu kami tidak bisa melihat jika ada penyusup masuk ke areal perkebunan."

"Aku sulit menerima alasanmu. Bukankah lampu tempel masih menyala?"

"Lampu tempel pun padam. Saya tidak tahu bagaimana bisa lampu menjadi padam. Kami pun berkelahi dalam gelap."

"Dan, kalian semua kalah."

"Maaf, Tuan. Kami tidak sempat ...."

"Lalu, kenapa tidak memukul kentongan?" Anna menyela pembicaraan ayahnya.

"Kami tidak sempat."

Anna menatap orang yang diajaknya bicara. Orang itu tertunduk.

"Kenapa tidak sempat? Bukankah kentongan dekat dengan penjaga? Dan, jumlah kentongan di sini bukan hanya satu. Setiap sudut rumah ini dipasangi kentongan, kita semua tahu itu."

Anna menatap 8 laki-laki berkulit gelap itu satu per satu. Lima orang berbaju dan bercelana hitam dengan ikat kepala motif batik. Tiga orang lainnya adalah polisi perkebunan yang ditugaskan untuk menjaga perkebunan. Hanya ada 1 orang yang menatap ke depan, selebihnya menunduk.

"Paman, apakah Paman juga tidak sempat memukul kentongan?" Anna menatap mata orang terakhir yang kebetulan dia menatap balik gadis itu.

"Maaf, Nona. Saya tidak sempat memukul kentongan karena berduel dengan orang itu ... walaupun saya kalah."

"Berduel bagaimana?"

"Maksudnya? Saya harus menceritakan lebih rinci?"

"Ya, tentu saja. Kami ingin mendengar."

"Eee ... saat itu ... saya sedang berjaga di sisi utara. Saya berdiri sambil memegang lampu badai. Tak dinyana, ada sosok serba hitam menghampiri. Saya mencabut pedang dan berusaha untuk memulai mengayunkan pedang ke arah kepalanya."

"Terus?"

"Dia mengelak, kemudian dia mencabut golok dari  sarungnya. Saya pun kembali mengayunkan pedang. Dia malah melompat ke arah kiri. Dia menendang ulu hati. Saya pun rubuh. Lampu yang dipegang terjatuh, kemudian padam."

"Setelah itu?"

"Saya tidak tahu lagi apa yang terjadi."

"Kenapa?"

"Dia memukul kepala saya hingga saya pingsan."

Anna dan Tuan Eickman saling tatap. Mereka merasa sudah cukup untuk mendengar kesaksian para petugas jaga yang seharusnya menjalankan tugasnya dengan baik. Sayang, mereka malah gagal.

"Yah sudahlah. Sekarang kalian pergi untuk istirahat. Jangan ke mana-mana, siapa tahu nanti polisi datang untuk memintai keterangan."

Tuan Eickman membubarkan orang-orang yang berdiri di depan beranda. Dia menghela nafas panjang. Kemudian, menggelengkan kepalanya. Seakan sulit mempercayai apa yang telah terjadi.

Anna mendekati ayahnya, dia memegang tangan orang di depannya. Kemudian menatap wajah berkulit terang milik pria Eropa itu. Anna bermaksud menguatkan mental orang yang dicintainya. Tenang, aku selalu mendukungmu. Kurang lebih begitu makna dari bahasa tubuh gadis berambut pirang itu.

"Ayah ...."

"Ya, sayang."

"Aku berdo'a semoga semua ini akan cepat selesai."

"Ayah juga berharap begitu, Nak."

Anna menghela nafas panjang. Dia tahu jika mereka berdua harus menyiapkan fisik dan mental demi menghadapi situasi ini.

"O ya, Ayah harus tahu ... jika pencuri itu ... tidak membawa golok."

Tuan Eickman kaget mendengar itu. "Berarti ...."

Panca dan 3 Gadis TangguhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang