7

95 29 0
                                    

"Ayah, baik-baik saja. Sebentar lagi dokter akan datang. Ini hanya luka kecil."

"Dari semalam Ayah terus bicara seperti itu."

Anna mengelap luka di perut Tuan Eickman. Laki-laki di hadapan gadis remaja itu berbaring di ranjang sambil sesekali meringis kesakitan. Luka sabetan benda tajam akibat semalam ada orang asing yang masuk ke dalam kamarnya.

Gadis itu cukup telaten merawat ayahnya. Setelah ibunya  meninggal, Anna seakan merasa menerima tanggung jawab untuk merawat Tuan Eickman. Kini, sebagai anak satu-satunya Anna merasa bertambah dekat dengan ayahnya apalagi dalam keadaan sakit seperti saat ini.

Dari balik jendela, Anna bisa menyaksikan bagaimana para pekerja sudah kembali bekerja. Diantara mereka ada yang terus berkerumun. Pasti mereka membicarakan kejadian semalam. Gadis itu mengira-ngira tema obrolan laki-laki dan wanita yang membawa keranjang penuh berisi daun teh.

Di sisi lain, Anna menyaksikan para polisi perkebunan yang berseragam biru. Wajah mereka terlihat datar. Mungkin merasa malu dengan seragam mereka karena tidak sanggup mengamankan seorang penyusup. Anna yakin pekerja lain bakal mencemooh mereka, hanya saja cemoohan itu tidak dikatakan secara terang-terangan.

Cahaya mentari pagi belum menerangi bukit sepenuhnya. Ketika gorden jendela kamar disingkapkan, Anna bisa melihatnya. Awan kelabu masih menggelayut di langit. Kabut masih nampak di punggung bukit. Pagi yang muram, sebagaimana suasana hati penghuni perkebunan Tuan Eickman kala itu.

"Sebenarnya Ayah mau melawan dia, tapi lampu padam membuat penglihatan kabur."

"Penyusup itu pintar. Dia memadamkan lampu-lampu agar gerakannya tidak terpantau."

"Kau memuji orang yang telah melukai Ayahmu."

"Maksudku bukan itu, Ayah. Dia seakan tahu sisi lemah rumah ini. Lampu sorot di menara pun padam."

"Penjaganya? Ke mana dia?"

"Pingsan, semua centeng dan polisi perkebunan yang kita sewa ternyata tak berguna."

"Pingsan?"

"Ya, sebaiknya Ayah memecat mereka."

"Oh, Ayah juga mulai berpikir begitu. Padahal mereka minta kenaikan bayaran."

"Sepertinya penyusup itu orang terlatih, dia bukan maling kampung ... ketika dikepung oleh para pekerja bersamaku ... dia begitu tenang ... berkelahi dengan sedikit sekali gerakan ...."

"Mungkin sekali dia jawara ...."

"Jawara yang disewa untuk mencuri di rumah kita ...."

Tuan Eickman menganggukan kepala.

"Setelah percobaan pencurian terdahulu gagal, kini mereka mengirim pencuri yang lebih lihai."

"Ayah juga berpikir begitu."

"Tapi, Ayah belum bercerita ... sebenarnya apa yang dia curi?"

Tuan Eickman tidak langsung menjawab pertanyaan anak gadisnya. Pria berambut pirang itu menunjuk ke lemari yang berseberangan dengan tempat tidur. Di bagian bawah lemari, ada laci yang biasa digunakan untuk menyimpan dokumen-dokumen milik si empunya rumah.

Anna membuka laci itu, dia mendapati tempat itu kosong. Tidak ada apa pun di dalamnya.

"Di sini tidak ada apa-apa."

"Ya, sekarang kosong. Karena pencuri itu sudah mengambil isinya."

"Dokumen? Atau, surat-surat penting?"

"Ya, dia mencuri surat tanah ..."

"Surat tanah? Pantas saja ...."

"Kenapa?"

"Pantas saja dia menggulung surat itu ...."

"Kau melihat dia membawanya?"

"Tidak, aku tidak melihatnya."

"Lalu?"

"Aku tidak melihatnya karena dia menggulung surat itu dan memasukannya ke dalam sebilah bambu."

Panca dan 3 Gadis TangguhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang